Jumat, Januari 15, 2016

Kriteria 5

“Ceritanya, bunda pacaran sama ayah, terus ngajak nikah deh.”

“Ih, Bunda nyebelin deh. Kalau itu aku juga udah tahu. Yang belum aku tahu, kenapa bunda mau pacaran sama ayah dan ngajak nikah?”

“Kan Bunda belum selesai ngomong, dengerin dulu dong, Bundanya. Enggak sabaran gitu.” nada bicara bunda tegas, tapi lembut, kesel ceritanya dipotong. Enggak tahu kenapa aku suka kalau liat ekspresi dan nada bicara bunda yang kayak gitu. Ayah juga kadang suka digituin sama bunda. Kata ayah, itu gaya bunda kalau lagi kesel atau marah. Marah sih, tapi lebih banyak sayangnya. Kebalikan banget dari ekspresi kalau bunda lagi cerewet karena kenakalanku, sayang sih tapi lagi banyak keselnya. Pokoknya lucu deh.

“Iya deh, maaf.” aku cengengesan, bunda udah tersenyum lagi melanjutkan ceritanya.

“Perempuan itu paling suka diberikan perhatian. Karena dari perhatian itu kita merasa dimengerti, merasa dipahami, merasa dilindungi dan merasa ada orang yang bertanggungjawab terhadap kita. Selama perempuannya normal, enggak macem-macem, enggak punya prinsip-prinsip tertentu yang anti laki-laki atau menjaga diri dari laki-laki, enggak aneh-aneh, enggak komersil dan sejenisnya, perempuan sangat mudah untuk merasa kagum. Walaupun dia punya lelaki idaman misalkan, tapi kalau laki-laki itu enggak terjangkau, cuek, hanya tinggal menunggu waktu saja, perhatian akan segera mengganti nama laki-laki idaman tadi dengan nama yang lain. Nama yang paling banyak memberikan perhatian. Kebetulan, bunda termasuk dalam golongan perempuan normal, dan waktu itu ayah memberikan perhatian itu kepada bunda. Jadi waktu ayah nembak bunda dan minta jadi pacarnya, bunda langsung bilang iya deh.”  bunda bercerita sambil senyum-senyum, mengenang masa lalunya bersama ayah.

“Terus, terus?”

“Kebetulan, di hari yang sama bunda jadian sama ayah, bunda mulai ikut pengajian rutin gitu deh. Itu juga baru ikut-ikutan doang. Enggak enak aja diajakin temen. Eh, keterusan. Sampe berbulan-bulan kemudian, bunda banyak mendapatkan pemahaman baru tentang kehidupan, salah satunya tentang pacaran, hidup berumah tangga dan seterusnya. Intinya, bunda banyak merenung dan memutuskan untuk tidak pacaran. Memutuskan juga buat putus sama Ayah, karena ingin mendapatkan suami yang lebih baik daripada Ayah pada saat itu.”

“Lah, kok akhirnya bisa nikah?”

“Mungkin sudah jalannya seperti itu kali ya, sudah skenarionya Allah. Awalnya kan bunda ingin menyampaikan dengan cara yang baik ke Ayah, biar enggak nyakitin hatinya Ayah. Bunda ngerti banget kondisi Ayah waktu itu, Ayah orangnya enggak mau terikat, masih lama rencana untuk menikah dan berumah tangganya. Makanya bunda tawarin deh, mau nikahin bunda atau putusin bunda. Tawaran yang sebenarnya, bunda tahu banget jawaban ayah akan seperti apa. Ayah pasti akan mutusin bunda, apalagi usia pacaran bunda sama Ayah jauh lebih singkat daripada Ayah dengan pacar-pacar terdahulunya. Setidaknya, kalau Ayah memilih putus kan, berarti Ayah yang mutusin bunda. Jadi bunda enggak merasa terbebani. Ceritanya semacam jebakan gitu buat Ayah.”

“Waduh, dan akhirnya bunda sendiri yang terjebak?”

“Iya. Jadinya senjata makan tuan. Waktu itu  Ayah minta waktu seminggu ke Bunda buat berpikir sebelum mengambil keputusan. Kalau Bunda sih tenang-tenang aja. Bahkan sudah menganggap masalah Bunda dan Ayah selesai. Eh, tiba-tiba Ayah nanya ini itu ke Bunda tentang kenapa Bunda memberikan pilihan itu ke Ayah, enggak mungkin kan bunda jawab yang sebenernya. Akhirnya, bunda jelasin, lebih tepatnya menakut-nakuti ayah tentang komitmen, tanggungjawab keluarga, dan hal lain yang berat-berat. Eh, si Ayah bukannya mundur dan mutusin Bunda, malah mengambil pilihan buat nikahin Bunda. Bunda jadi kaget dan bingung sendiri kan?”

“Haha.. seru ya, Terus Bunda enggak punya pilihan lain pastinya selain menikah dengan Ayah. Masa yang ngajak yang menolak”

“Waktu itu Bunda yang gantian minta waktu ke Ayah buat meyakinkan orangtua dulu, baru nanti Bunda kasihtau keputusannya gimana. Padahal, bunda perlu waktu untuk meyakinkan diri bunda sendiri. Untuk urusan menikah, orangtua menyerahkan semuanya ke Bunda.”

“Terus, pertimbangan apa yang akhirnya membuat Bunda mengambil keputusan untuk menikah dengan Ayah?”

“Awalnya, Bunda nyesel banget. Kenapa memberikan pilihan itu kepada Ayah. Kenapa Bunda enggak berfikir lebih dalam lagi konsekuensi dari kemungkinan yang lain, kalau Ayah ternyata memilih untuk menikahi Bunda. Padahal, Bunda menginginkan suami yang baik, suami yang bisa menjadi imam dan teladan buat Bunda. Dan kondisi Ayah waktu itu, belum seperti sekarang, belum masuk dalam kriteria suami yang Bunda inginkan. Tapi ada senior Bunda yang nasihatin Bunda kayak gini:

“Menikah itu bukan hanya perkara menemukan siapa pasangan yang paling baik buat kita, tapi jauh lebih penting daripada itu, menjadikan diri kita sebaik mungkin. Sebaik apapun pasangan kita, kalau kitanya enggak mau memperbaiki diri, enggak menjamin rumah tangga kita baik dan bahagia. Bahkan siapa tahu malah keburukan kita yang mendominasi dan mempengaruhi pasangan kita. Sebaliknya, kalau kitanya selalu berusaha memperbaiki diri, walaupun pasangan kita itu mempunyai banyak kekurangan, selama kita mau sama-sama berproses untuk saling memperbaiki, nanti akan ketemu pada titik kebaikan dan kebahagiaan tersendiri. Walaupun kita harus lebih sedikit bersabar untuk sampai di titik itu. Tapi bukankah sabar adalah kebaikan, dan kebaikan akan selalu menghasilkan kebaikan yang lainnya. Itulah salah satu proses dan penjelasan, bahwa laki-laki yang baik, diciptakan untuk perempuan yang baik. Begitu juga sebaliknya. Laki-laki dan perempuan yang baik itu tidak semuanya bertemu pada kondisi yang sama baiknya. Ada juga diantara mereka yang dipertemukan dan berjodoh, pada kondisi yang salah satunya belum baik. Kemudian proses yang baik, yang menjadikan mereka saling baik-membaikkan.”

“Akhirnya, setelah banyak berfikir dan merenung, Bunda memutuskan untuk menikah dengan Ayah. Mungkin inilah jalannya. Dan sampai sekarang, salah satu hal yang paling Bunda syukuri adalah dititipkan Allah kepada laki-laki seperti Ayah. Dan ternyata benar, dalam prosesnya yang jatuh-bangun dan bertahun-tahun itu, ayah berkembang lebih baik daripada Bunda. Ayah bisa menjadi imam yang sangat baik buat bunda.”

“Kok bisa ya Bun, gimana caranya?”

“Komitmen. Itu yang dari awal Ayah dan Bunda bangun. Bahkan sampai sekarang, kami selalu memperbaharui komitmen itu. Waktu Bunda bilang ke Ayah tentang keputusan Bunda dan keluarga, bunda menekankan point komitmen itu ke Ayah. Membahas apa saja dan bagaimana nantinya, terutama untuk masalah perbedaan, kekuarangan dan perbaikan diantara kami. Komitmen itu yang sampai sekarang membuat kami bertahan, membuat kami enggak menyerah untuk membangun keluarga, untuk berbagi ketika bahagia, untuk kuat-menguatkan ketika sedih, untuk membesarkan kamu dan kakak kamu.”

“Lagipula, yang harus dilakukan seorang isteri untuk suaminya, agar suaminya mencintai dan mau melakukan apapun untuknya; seorang isteri hanya harus mencintai dengan cinta yang sama, harus berbakti dengan bakti yang sama, harus menghormati dengan hormat yang sama, seperti ia ingin diperlakukan oleh suaminya.”

“Dan Bunda melakukan itu dengan baik kepada Ayah kan?”

“Semoga begitu.” jawab bunda sambi tersenyum

"Oh ya, Bunda. Gimana pendapat bunda tentang poligami?" muka bunda langsung berubah, agak-agak gimana gitu.


*** 


bersambung...


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar