Kita
lupakan adegan 18+ sebelumnya, kembali pada pembicaraan
antar lelaki, pembicaraanku dengan ayah tentang perjalanan hidupnya bersama
bunda. Perjalanan yang membuatku ada di dunia, perjalanan yang membuatku begitu
bersyukur berada di tengah-tengah mereka, dan perjalanan yang kata ayah;
walaupun beliau diberikan kesempatan untuk mengulang kembali perjalanan hidup
itu, dan diberikan kesempatan untuk memilih siapapun yang beliau inginkan untuk
membersamainya, ayah akan tetap memilih bunda. Bukan yang lainnya.
***
“Ayah, emang salah ya, kalau kita menginginkan
pasangan yang ideal?” Ayah
tersenyum mendengar pertanyaanku, bikin aku bingung sendiri.
“Kok, Ayah cuma senyum-senyum gitu. Ada yang salah ya dengan
pertanyaannya?”
“Enggak kok, pertanyaanmu itu mengingatkan Ayah pada sesuatu.”
“Sesuatu apa emang?”
“Dulu, sebelum menikah dengan bundamu, ayah bergonta-ganti pacar
untuk menemukan pasangan yang ideal buat ayah. Dan setelah menikah, hidup
bertahun-tahun dengan bunda, ayah baru mengerti kalau ideal itu adalah
proses. Kita enggak akan pernah tahu seseorang itu ideal atau enggak buat
kita, sebelum kita menjalani hidup bersama dengan orang tersebut. Jadi bohong
banget, kalau ada laki-laki yang bilang, kalau pacarnya adalah perempuan ideal
yang bisa mendampingi hidupnya kelak. Begitu juga sebaliknya. Cocok mungkin
iya, tapi ideal? Masih perlu bukti yang sangat banyak. Dan itu baru bisa
diketahui setelah pasangan itu menikah, setelah bertahun-tahun hidup bersama.”
“Bener juga ya, Yah. Kalau Bunda, sudah menjadi
pasangan yang ideal buat Ayah?”aku bertanya, menggoda ayah
“Isteri yang baik dan sholeh iya, tapi ideal? Sampai sekarang,
setiap hari kami berusaha untuk menciptakan kondisi itu. Setiap hari ayah
berusaha untuk Bunda, kamu dan kakakmu. Begitu juga bunda. Kami sendiri enggak
tahu sudah seberapa ideal atau bahkan mungkin jauh dari ideal. Buat Ayah dan
Bunda, komitmen untuk saling terbuka, saling menerima kekurangan masing-masing,
lalu bantu-membantu untuk memperbaikinya, ditambah komitmen untuk
memprioritaskan keluarga; sudah cukup untuk menjembatani perbedaan antara kami,
untuk menyikapi kekurangan dan kelemahan kami. Terserah mau ideal ataupun
enggak.”
“Lagipula, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Termasuk
Ayah dan Bunda. Buat ayah, pasangan yang ideal itu bukan pasangan yang
sama-sama memiliki banyak kelebihan. Bukan juga pasangan yang mendekati
sempurna. Tapi pasangan yang kelebihannya bisa melengkapi kekurangan yang lain.
Kalaupun keduanya sama-sama memiliki kelemahan yang sama, setidaknya bisa
saling memahami dan mempebaiki. Dibutuhkan kesabaran yang tidak sedikit untuk
itu, diperlukan waktu yang tidak sebentar untuk membiasakannya. Dibutuhkan
masalah yang tidak sedikit untuk membuktikannya. Itulah kenapa ideal itu butuh
proses. Tidak langsung terbentuk. Bahkan kondisi dua orang yang sama-sama baik,
sama-sama nampak cocok dengan kelebihannya masing-masing, lalu keduanya menikah,
tidak menjadi jaminan kalau mereka akan menjadi pasangan yang ideal.”
***
“Ehem.” tiba-tiba
bunda sudah ada di depan kami. Kamipun berhenti sejenak.
“Lagi seru ya ngobrolnya. Maaf bunda ganggu sebentar. Ayah,
katanya mau ada perlu ke rumah temen. Jadi? Ini udah jam berapa, nanti
kemalaman loh.”
“Oh iya, ya Bun. Hampir aja lupa. Makasih udah
diingetin.” Bunda
mengangguk sambil tersenyum.
“Putra, Ayah harus berangkat nih. Nanti aja ya dilanjutin lagi
ngobrolnya. Atau kalau mau dilanjutin sekarang sama bunda juga boleh. Bunda
bisa kan?” bunda mengangguk.
“Oke deh Ayah. Hati-hati ya.”
***
Lupakanlah tentang kenakalanku, tentang banyak hukuman yang aku
terima dari perempuan di hadapanku ini, tentang betapa cerewetnya bunda kalau
akunya lagi bandel. Enggak tahu kenapa seteleh mendenger kisah ayah dan bunda,
bunda menjadi sosok yang begitu berbeda di hadapanku. Tentu saja aku tidak bisa
langsung mengobrol dengan bunda, aku harus menunggu terlebih dahulu, sambil mau
enggak mau menyaksikan adegan ini; ayah yang duduk di hadapanku berdiri, lalu
berjalan menuju pintu depan, bunda langsung mensejajari ayah, mengantar ayah
sampai pintu depan, membukakan pintu untuk ayah, tangan ayah dicium, kepala
bunda juga sama. │Bunda, Ayah berangkat dulu ya│ Hati-hati ya│Iya.
Assalamualaikum│Waalaikumsalam│
Bunda menutup pintu, lalu menemuiku.
***
“Bunda, boleh aku tanya sesuatu?” aku langsung bertanya, bahkan
sebelum bunda duduk.
“Boleh, mau tanya apa emang?”
“Kenapa sih, dulu Bunda memutuskan untuk menikah dengan ayah?”
“Ih, suka-suka Bunda dong mau nikah sama siapa.” bunda bercanda menjawab pertanyaanku
“Aduh, Aku serius ini, Bunda. Kenapa harus Ayah, bukan
laki-laki yang lain?”
“Iya deh, segitu penasarannya anak Bunda. Begini ceritanya....”
***
bersambung...
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar