Jumat, Januari 15, 2016

Kriteria 4

Kita lupakan adegan 18+ sebelumnya, kembali pada pembicaraan antar lelaki, pembicaraanku dengan ayah tentang perjalanan hidupnya bersama bunda. Perjalanan yang membuatku ada di dunia, perjalanan yang membuatku begitu bersyukur berada di tengah-tengah mereka, dan perjalanan yang kata ayah; walaupun beliau diberikan kesempatan untuk mengulang kembali perjalanan hidup itu, dan diberikan kesempatan untuk memilih siapapun yang beliau inginkan untuk membersamainya, ayah akan tetap memilih bunda. Bukan yang lainnya.

***

“Ayah, emang salah ya, kalau kita menginginkan pasangan yang ideal?” Ayah tersenyum mendengar pertanyaanku, bikin aku bingung sendiri.

Kok, Ayah cuma senyum-senyum gitu. Ada yang salah ya dengan pertanyaannya?”

“Enggak kok, pertanyaanmu itu mengingatkan Ayah pada sesuatu.”
“Sesuatu apa emang?”

“Dulu, sebelum menikah dengan bundamu, ayah bergonta-ganti pacar untuk menemukan pasangan yang ideal buat ayah. Dan setelah menikah, hidup bertahun-tahun dengan bunda, ayah baru mengerti kalau ideal itu adalah proses.  Kita enggak akan pernah tahu seseorang itu ideal atau enggak buat kita, sebelum kita menjalani hidup bersama dengan orang tersebut. Jadi bohong banget, kalau ada laki-laki yang bilang, kalau pacarnya adalah perempuan ideal yang bisa mendampingi hidupnya kelak. Begitu juga sebaliknya. Cocok mungkin iya, tapi ideal? Masih perlu bukti yang sangat banyak. Dan itu baru bisa diketahui setelah pasangan itu menikah, setelah bertahun-tahun hidup bersama.”

“Bener juga ya, Yah. Kalau Bunda, sudah menjadi pasangan yang ideal buat Ayah?”aku bertanya, menggoda ayah

“Isteri yang baik dan sholeh iya, tapi ideal? Sampai sekarang, setiap hari kami  berusaha untuk menciptakan kondisi itu. Setiap hari ayah berusaha untuk Bunda, kamu dan kakakmu. Begitu juga bunda. Kami sendiri enggak tahu sudah seberapa ideal atau bahkan mungkin jauh dari ideal. Buat Ayah dan Bunda, komitmen untuk saling terbuka, saling menerima kekurangan masing-masing, lalu bantu-membantu untuk memperbaikinya, ditambah komitmen untuk memprioritaskan keluarga; sudah cukup untuk menjembatani perbedaan antara kami, untuk menyikapi kekurangan dan kelemahan kami. Terserah mau ideal ataupun enggak.”

“Lagipula, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Termasuk Ayah dan Bunda. Buat ayah, pasangan yang ideal itu bukan pasangan yang sama-sama memiliki banyak kelebihan. Bukan juga pasangan yang mendekati sempurna. Tapi pasangan yang kelebihannya bisa melengkapi kekurangan yang lain. Kalaupun keduanya sama-sama memiliki kelemahan yang sama, setidaknya bisa saling memahami dan mempebaiki. Dibutuhkan kesabaran yang tidak sedikit untuk itu, diperlukan waktu yang tidak sebentar untuk membiasakannya. Dibutuhkan masalah yang tidak sedikit untuk membuktikannya. Itulah kenapa ideal itu butuh proses. Tidak langsung terbentuk. Bahkan kondisi dua orang yang sama-sama baik, sama-sama nampak cocok dengan kelebihannya masing-masing, lalu keduanya menikah, tidak menjadi jaminan kalau mereka akan menjadi pasangan yang ideal.”


***

Ehem.” tiba-tiba bunda sudah ada di depan kami. Kamipun berhenti sejenak.

“Lagi seru ya ngobrolnya. Maaf bunda ganggu sebentar. Ayah, katanya mau ada perlu ke rumah temen. Jadi? Ini udah jam berapa, nanti kemalaman loh.”

“Oh iya, ya Bun. Hampir aja lupa. Makasih udah diingetin.” Bunda mengangguk sambil tersenyum.

“Putra, Ayah harus berangkat nih. Nanti aja ya dilanjutin lagi ngobrolnya. Atau kalau mau dilanjutin sekarang sama bunda juga boleh. Bunda bisa kan?” bunda mengangguk.

“Oke deh Ayah. Hati-hati ya.”


***

Lupakanlah tentang kenakalanku, tentang banyak hukuman yang aku terima dari perempuan di hadapanku ini, tentang betapa cerewetnya bunda kalau akunya lagi bandel. Enggak tahu kenapa seteleh mendenger kisah ayah dan bunda, bunda menjadi sosok yang begitu berbeda di hadapanku. Tentu saja aku tidak bisa langsung mengobrol dengan bunda, aku harus menunggu terlebih dahulu, sambil mau enggak mau menyaksikan adegan ini; ayah yang duduk di hadapanku berdiri, lalu berjalan menuju pintu depan, bunda langsung mensejajari ayah, mengantar ayah sampai pintu depan, membukakan pintu untuk ayah, tangan ayah dicium, kepala bunda juga sama. │Bunda, Ayah berangkat dulu ya│ Hati-hati ya│Iya. Assalamualaikum│Waalaikumsalam│

Bunda menutup pintu, lalu menemuiku.

***

“Bunda, boleh aku tanya sesuatu?” aku langsung bertanya, bahkan sebelum bunda duduk.
“Boleh, mau tanya apa emang?”
“Kenapa sih, dulu Bunda memutuskan untuk menikah dengan ayah?”
“Ih, suka-suka Bunda dong mau nikah sama siapa.”  bunda bercanda menjawab pertanyaanku
“Aduh, Aku serius ini, Bunda. Kenapa harus  Ayah, bukan laki-laki yang lain?”
“Iya deh, segitu penasarannya anak Bunda. Begini ceritanya....”

***


bersambung...


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar