“Dan
setelah menikah, Ayah enggak pernah jatuh cinta lagi?”
“Pernah, sering malah.”
“Lah, Ayah tega mengkhianati Bunda?”
“Tentu saja enggak harus mengkhianati bunda, karena setelah
menikah dengan bunda, Ayah selalu jatuh cinta pada perempuan yang sama. Ya
bundamu itu.”
“Aih, kok bisa gitu sih, Yah?”
“Komitmen selalu bisa menimbulkan cinta. Tapi tidak semua cinta
bisa menghasilkan komitmen. Bahkan untuk beberapa kondisi, cinta yang
ditimbulkan dari komitman, memberikan efek yang jauh lebih kuat dan lebih
dalam.”
“Kenapa bisa begitu, Ayah?”
“Karena komitmen, mau enggak mau mengharuskan ayah dan bunda
membangun cinta itu bersama-sama. Berproses. Tidak otomatis. Ada perjuangan
disana. Berbeda ketika kita mencintai seseorang sebelum ada komitmen.
Katakanlah kamu mencintai perempuan yang cantik, sederhana, dan sholehah tadi.
Pertanyaannya adalah, seberapa layak kamu mencintai anak gadis orang dengan
kriteria seperti itu, padahal tidak sedikitpun kamu berperan dalam prosesnya
menjadi cantik, baik, ataupun sholehah. Kamu hanya melihat apa yang sudah jadi.
Kamu hanya mencintai apa yang sudah ada. Seberapa besar kamu bisa mencintai
seseorang yang belum menjadi milik kamu, padahal manusia hanya akan benar-benar
mencintai sesuatu yang ia miliki.”
“Tapi komitmen memiliki cara kerja yang berbeda. Komitmen
membuat aku dan kamu menjadi kita. Membuat ayah bertanggungjawab terhadap apa
yang terjadi pada bunda, begitu juga sebaliknya. Ayah bertanggungjawab terhadap
kekurangan bunda. Sehingga ayah juga akan membantu untuk memperbaiki bunda,
jika kekurangan itu memang bisa diusahakan untuk diperbaiki. Proses
itulah yang membuat cinta itu kian tertanam. Apalagi jika diantara kami melihat
perubahan yang lebih baik pada diri masing-masing, dan ternyata ada kontribusi
atau peran masing-masing dalam perubahan itu. Tapi, jika kekurangan itu sesuatu
yang memang tidak bisa diperbaiki, seperti yang bersifat fisik, komitmen juga
akan membuat kami saling menerima. Dan penerimaan yang tulus, tentu saja
merupakan bentuk cinta tersendiri.”
“Komitmen untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, warrohmah, yang membuat bunda tidak pernah
berputus asa menghadapi ayah, bersabar membimbing ketertinggalan ayah dalam
urusan agama, tanpa melupakan bakti dan kewajibannya sebagai seorang isteri.
Komitmen itu juga yang membuat ayah tidak menyerah untuk terus belajar, untuk
menjadi lebih bertanggungjawab lagi, untuk menjadi imam yang benar-benar layak
untuk bunda, untuk menjadi ayah yang bisa diteladani anak-anaknya. Komitmen itu
yang membuat ayah selalu merasa terlahir kembali menjadi manusia yang baru,
manusia yang berusaha untuk jadi lebih baik dari hari ke hari.”
“Intinya, komitmen akan membuat siapapun melakukan apapun yang
ia mau, pertanyaan yang tertinggal adalah untuk apa dan siapa ia melakukannya.”
“Dan ayah melakukan semuanya buat Bunda?”
“Iya.” Jawab
ayah sambil mengangguk
“Wow. Bunda beruntung banget ya, kalau gitu. Bangga
deh jadi anaknya Ayah.” aku
tersenyum menggoda ayah, sebelum akhirnya dibuat bingung dengan jawaban ayah
selanjutnya.
“Sayangnya, Ayah salah. Ternyata, bunda tidak mengharapkan itu dari
Ayah. Dan kamu tahu, gimana rasanya melakukan sesuatu untuk seseorang yang kamu
cintai, tapi ternyata orang itu sama sekali tidak menginginkan kita
melakukannya? Sangat tidak enak. Untung bunda menyampaikannya dengan baik, jadi
tidak menyakiti hati ayah.”
“Loh, emang Bunda pengennya gimana? Kok enggak mau
diperlakukan seperti itu? Bukankah setiap orang harusnya senang diperlakukan
dengan sebaik itu?”
***
Anggaplah kalian sedang menonton film, lalu dengan sembarangan
adegannya meloncat ke masa beberapa tahun silam. Flashback. Sebenernya
sang sutradara bisa saja menggambarkan adegan itu dengan cerita masa lalu yang
diceritakan oleh tokohnya. Misalkan dalam kisah ini, seperti sebelumnya, ayah
menceritakan tentang masa lalunya. Tapi biar lebih dramatis, biar lebih dapet
efek emosionalnya, untuk bagian ini aku akan menceritakan apa yang sudah
disampaikan ayah melalui adegan langsungnya, antara ayah dan bunda, sekian
puluh tahun silam, di ulang tahun pernikahnnya yang pertama. Btw, kalau adegan
di bawah ini ditayangkan di tv-tv, di sudut kanan atas mungkin akan ada simbol 18+, artinya khusus untuk usia 18 tahun ke atas. :)
***
“Bunda, makasih ya atas semuanya. Atas kepercayaannya,
atas kesabarannya, atas penerimaannya. Atas perlakuan yang begitu baik. Atas
semua hal yang terjadi setahun ini. Makasih telah menyadarkan ayah, bahwa hanya
laki-laki yang bertanggunjawablah yang benar-benar berhak untuk menjadi seorang
suami.” Bunda
yang mendengar hanya bisa tersenyum, menunduk malu-malu, lalu menatap ayah
lagi.
“Ayah, boleh bunda minta sesuatu?”
“Boleh, bunda mau minta apa? Kalau Ayah bisa, pasti
ayah penuhi.” ayah
begitu antusias, soalnya jarang-jarang si bunda minta sesuatu.
“Ayah, bunda sangat berterimakasih atas semua kebaikan yang ayah
lakukan kepada bunda. Bunda juga bersyukuuur banget, Allah menitipkan
bunda kepada laki-laki seperti Ayah. Tapi suatu hari nanti mungkin bunda enggak
ada. Suatu hari akan ada yang lain selain bunda, ada anak-anak. Suatu hari
nanti mungkin bunda bisa berubah. Dan bunda mau, ada atau enggak ada bunda,
bersama atau enggak bersama bunda, ayah tetap melakukan kebaikan itu, tetap
memiliki tanggungjawab itu. Bukan hanya kepada bunda, bukan juga karena bunda.
Bunda juga akan mencoba berusaha untuk terus memperbaiki diri, menjadi isteri
yang baik buat ayah, juga ibu yang baik buat anak-anak nantinya. Menjadi diri
bunda yang lebih baik untuk sesama. Agar kebersamaan kita bisa berarti juga
untuk orng lain. Dirasakan juga manfaatnya untuk orang lain. Bukan untuk diri
kita sendiri saja. Bunda juga selalu minta kerelaan dan keridhoan ayah untuk
setiap apa yang bunda lakukan. Ingetin kalo bundanya salah, bilang kalau ada
tindakan bunda yang kurang berkenan di hati ayah, marahin aja kalau bundanya
bandel.”
Keduanya menangis. Bukan karena sedih. Bukan juga karena
bahagia. Mungkin karena cinta, salah satu buah komitmen yang sudah mereka
dapatkan, dan akan terus mereka dapatkan. Sayangnya, adegan setelah itu enggak
lulus sensor, jadi enggak bisa diceritakan. :)
***
bersambung ...
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar