Jumat, Januari 15, 2016

Kriteria 3

“Dan setelah menikah, Ayah enggak pernah jatuh cinta lagi?”
“Pernah, sering malah.”
“Lah, Ayah tega mengkhianati Bunda?”
“Tentu saja enggak harus mengkhianati bunda, karena setelah menikah dengan bunda, Ayah selalu jatuh cinta pada perempuan yang sama. Ya bundamu itu.”

 “Aih, kok bisa gitu sih, Yah?”

“Komitmen selalu bisa menimbulkan cinta. Tapi tidak semua cinta bisa menghasilkan komitmen. Bahkan untuk beberapa kondisi, cinta yang ditimbulkan dari komitman, memberikan efek yang jauh lebih kuat dan lebih dalam.”

“Kenapa bisa begitu, Ayah?”

“Karena komitmen, mau enggak mau mengharuskan ayah dan bunda membangun cinta itu bersama-sama. Berproses. Tidak otomatis. Ada perjuangan disana. Berbeda ketika kita mencintai seseorang sebelum ada komitmen. Katakanlah kamu mencintai perempuan yang cantik, sederhana, dan sholehah tadi. Pertanyaannya adalah, seberapa layak kamu mencintai anak gadis orang dengan kriteria seperti itu, padahal tidak sedikitpun kamu berperan dalam prosesnya menjadi cantik, baik, ataupun sholehah. Kamu hanya melihat apa yang sudah jadi. Kamu hanya mencintai apa yang sudah ada. Seberapa besar kamu bisa mencintai seseorang yang belum menjadi milik kamu, padahal manusia hanya akan benar-benar mencintai sesuatu yang ia miliki.”

“Tapi komitmen memiliki cara kerja yang berbeda. Komitmen membuat aku dan kamu menjadi kita. Membuat ayah bertanggungjawab terhadap apa yang terjadi pada bunda, begitu juga sebaliknya. Ayah bertanggungjawab terhadap kekurangan bunda. Sehingga ayah juga akan membantu untuk memperbaiki bunda, jika kekurangan itu memang bisa diusahakan untuk diperbaiki. Proses  itulah yang membuat cinta itu kian tertanam. Apalagi jika diantara kami melihat perubahan yang lebih baik pada diri masing-masing, dan ternyata ada kontribusi atau peran masing-masing dalam perubahan itu. Tapi, jika kekurangan itu sesuatu yang memang tidak bisa diperbaiki, seperti yang bersifat fisik, komitmen juga akan membuat kami saling menerima. Dan penerimaan yang tulus, tentu saja merupakan bentuk cinta tersendiri.”

“Komitmen untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, warrohmah, yang membuat bunda tidak pernah berputus asa menghadapi ayah, bersabar membimbing ketertinggalan ayah dalam urusan agama, tanpa melupakan bakti dan kewajibannya sebagai seorang isteri. Komitmen itu juga yang membuat ayah tidak menyerah untuk terus belajar, untuk menjadi lebih bertanggungjawab lagi, untuk menjadi imam yang benar-benar layak untuk bunda, untuk menjadi ayah yang bisa diteladani anak-anaknya. Komitmen itu yang membuat ayah selalu merasa terlahir kembali menjadi manusia yang baru, manusia yang berusaha untuk jadi lebih baik dari hari ke hari.”

“Intinya, komitmen akan membuat siapapun melakukan apapun yang ia mau, pertanyaan yang tertinggal adalah untuk apa dan siapa ia melakukannya.”

“Dan ayah melakukan semuanya buat Bunda?”
Iya.” Jawab ayah sambil mengangguk

“Wow. Bunda beruntung banget ya, kalau gitu. Bangga deh jadi anaknya Ayah.” aku tersenyum menggoda ayah, sebelum akhirnya dibuat bingung dengan jawaban ayah selanjutnya.

“Sayangnya, Ayah salah. Ternyata, bunda tidak mengharapkan itu dari Ayah. Dan kamu tahu, gimana rasanya melakukan sesuatu untuk seseorang yang kamu cintai, tapi ternyata orang itu sama sekali tidak menginginkan kita melakukannya? Sangat tidak enak. Untung bunda menyampaikannya dengan baik, jadi tidak menyakiti hati ayah.”

“Loh, emang Bunda pengennya gimana? Kok enggak mau diperlakukan seperti itu? Bukankah setiap orang harusnya senang diperlakukan dengan sebaik itu?”

***

Anggaplah kalian sedang menonton film, lalu dengan sembarangan adegannya meloncat ke masa beberapa tahun silam. Flashback. Sebenernya sang sutradara bisa saja menggambarkan adegan itu dengan cerita masa lalu yang diceritakan oleh tokohnya. Misalkan dalam kisah ini, seperti sebelumnya, ayah menceritakan tentang masa lalunya. Tapi biar lebih dramatis, biar lebih dapet efek emosionalnya, untuk bagian ini aku akan menceritakan apa yang sudah disampaikan ayah melalui adegan langsungnya, antara ayah dan bunda, sekian puluh tahun silam, di ulang tahun pernikahnnya yang pertama. Btw, kalau adegan di bawah ini ditayangkan di tv-tv, di sudut kanan atas mungkin akan ada simbol 18+, artinya khusus untuk usia 18 tahun ke atas. :)


***

“Bunda, makasih ya atas semuanya. Atas kepercayaannya, atas kesabarannya, atas penerimaannya. Atas perlakuan yang begitu baik. Atas semua hal yang terjadi setahun ini. Makasih telah menyadarkan ayah, bahwa hanya laki-laki yang bertanggunjawablah yang benar-benar berhak untuk menjadi seorang suami.” Bunda yang mendengar hanya bisa tersenyum, menunduk malu-malu, lalu menatap ayah lagi.

“Ayah, boleh bunda minta sesuatu?”

“Boleh, bunda mau minta apa? Kalau Ayah bisa, pasti ayah penuhi.” ayah begitu antusias, soalnya jarang-jarang si bunda minta sesuatu.

“Ayah, bunda sangat berterimakasih atas semua kebaikan yang ayah lakukan kepada bunda. Bunda juga bersyukuuur banget,  Allah menitipkan bunda kepada laki-laki seperti Ayah. Tapi suatu hari nanti mungkin bunda enggak ada. Suatu hari akan ada yang lain selain bunda, ada anak-anak. Suatu hari nanti mungkin bunda bisa berubah. Dan bunda mau, ada atau enggak ada bunda, bersama atau enggak bersama bunda, ayah tetap melakukan kebaikan itu, tetap memiliki tanggungjawab itu. Bukan hanya kepada bunda, bukan juga karena bunda. Bunda juga akan mencoba berusaha untuk terus memperbaiki diri, menjadi isteri yang baik buat ayah, juga ibu yang baik buat anak-anak nantinya. Menjadi diri bunda yang lebih baik untuk sesama. Agar kebersamaan kita bisa berarti juga untuk orng lain. Dirasakan juga manfaatnya untuk orang lain. Bukan untuk diri kita sendiri saja. Bunda juga selalu minta kerelaan dan keridhoan ayah untuk setiap apa yang bunda lakukan. Ingetin kalo bundanya salah, bilang kalau ada tindakan bunda yang kurang berkenan di hati ayah, marahin aja kalau bundanya bandel.”

Keduanya menangis. Bukan karena sedih. Bukan juga karena bahagia. Mungkin karena cinta, salah satu buah komitmen yang sudah mereka dapatkan, dan akan terus mereka dapatkan. Sayangnya, adegan setelah itu enggak lulus sensor, jadi enggak bisa diceritakan. :)

***


bersambung ...


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar