Selesai
makan malam. Aku langsung menculik ayah dari ruang makan. Enggak sabar
melanjutkan pembicaraan yang tertunda.
***
“Ayah, ayo ceritain lagi, apa yang membuat Ayah dulu memilih
bunda sebagai pendamping hidup?”
“Komitmen.”
“Hah, cuma itu, Ayah? Emang Ayah enggak cinta gitu
sama bunda?” aku
kaget denger jawaban ayah yang simple banget
“Ehm, gimana ya?” Ayah sok mikir, sengaja bener ingin buat penasaran
“Cinta sih, tapi bukan itu alasan utamanya. Kalau alasan
utamanya cinta, bukan bunda yang Ayah nikahi. Tapi perempuan yang lainnya.
Perempuan yang benar-benar sesuai dengan kriteria Ayah.”
“Nah loh, maksudnya gimana?”
“Kan dulu Ayah pernah cerita, kalau sebelum menikah dengan
bunda, Ayah sempat berganti pacar beberapa kali. Dan jujur ya, kalau ngomongin
cinta, cintanya Ayah ke bunda waktu itu tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan
cintanya Ayah ke pacar-pacar sebelumnya. Artinya, kalau pertimbangan utamanya
cinta, Ayah pasti akan mencari perempuan lain yang lebih Ayah cintai, bukan
bunda yang awalnya hanya pelarian saja setelah Ayah putus dari pacar yang
sebelumnya.”
“Waduh, jadi bunda pelarian aja buat Ayah, perempuan
cadangan gitu?” enggak
tahu kenapa, tiba-tiba aku jadi emosi.
“Iya. Tapi itu kan dulu, waktu Ayah masih belum ngerti.”
“Terus gimana ceritanya Ayah bisa memutuskan untuk
menikah dengan bunda?”
“Ceritanya, memasuki bulan ketiga Ayah pacaran sama bunda,
enggak tahu kesambet malaikat dari mana, tiba-tiba bunda ngajakin nikah.
Katanya, bunda enggak mau pacaran lagi. Kalau mau, nikahi bunda secepatnya,
atau bunda minta putus aja. Terus bakalan cari laki-laki lain yang mau jadi
suaminya bunda. Waktu itu Ayah bingung banget kan. Enggak ada rencana sama
sekali untuk menikah cepat. Bahkan enggak ada rencana buat nikahin bunda. Orang
tujuannya mau pacaran doang kok.”
“Terus kalau gitu, kenapa enggak diputusin aja
bundanya. Kok malah dinikahin sih?”
“Sebenarnya waktu itu Ayah mau langsung putusin bunda. Nothing to loose lah
ya. Lagian kan Ayah enggak cinta-cinta banget sama bunda. Tapi gengsi
dong, kesannya kalau langsung bilang putus gitu, kayaknya enggak gentle banget.
Enggak bertanggungjawab. Akhirnya, Ayah basa-basi minta waktu seminggu buat
memikirkan. Baru ngasih keputusan ke bunda. Padahal waktu itu, Ayah udah punya
jawabannya.”
“Terus, terus?”
“Nah, waktu seminggu itu, iseng-iseng Ayah mikirin bunda. Terus
Ayah merenung gitu deh. Sebenernya mau apa sih? Mau cari perempuan yang kayak
gimana lagi? Udah nemu sama yang sesuai dengan kriteria banget, ideal menurut
Ayah, udah dipacarin juga, tapi putus juga tuh, masih banyak kurangnya juga,
masih banyak yang enggak cocoknya juga. Padahal belum apa-apa. Apalagi kalau
nanti menjalani kehidupan keluarga yang lebih rumit. Enggak ada yang bisa
menjamin. Termasuk cinta. Terus kenapa dipacarin kalau enggak mau dinikahin.
Kenapa harus mempermainkan perasaan sendiri dan orang lain kalau nantinya
enggak hidup bareng. Dan kenapa-kenapa yang lainnya, yang Ayah sendiri enggak
bisa jawab.”
“Ceritanya Ayah tobat gitu ya?” tanyaku sambi tersenyum
“Belum sih. Masih bingung. Masih belum tahu kenapa dan harus
apa. Terus Ayah sampai pada kesimpulan; kalau dipikir-pikir, sebenarnya
siapapun yang jadi pendamping hidup Ayah, pasti punya kelemahan. Seideal apapun
perempuan itu. Jadi masalahnya bukan tentang seberapa ideal atau seberapa
sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Tapi tentang bagaimana kita menyikapi
kelemahan masing-masing. Kalau kitanya egois, mau menang sendiri, ya pasti
ujung-ujungnya banyak ributnya, terus putus kayak pacar-pacar yang sebelumnya.”
“Tapi kalau sama-sama memiliki komitmen untuk saling menerima,
untuk saling memperbaiki, untuk saling mengisi, memahami juga menghargai,
sekurang ideal apapun pasangan kita, sekurang sesuai apapun dengan kriteria
yang kita inginkan, harusnya tidak akan terlalu bermasalah, kalau kita punya
niat yang benar untuk membangun keluarga yang baik, juga punya komitmen yang
kuat untuk mewujudkannya. Bersama siapapun yang menjadi pasangan hidup kita.”
“Dan bunda punya itu?”
“Iya. Bundamu punya komitmen itu. Seminggu kemudian sebelum Ayah
memberikan jawaban ke bunda, Ayah bertanya tentang kenapa bunda memberikan
pilihan itu kepada Ayah, dan apa rencana bunda kalau kami menikah kelak.”
“Terus jawaban bunda apa, Ayah?”
“Jawaban lengkapnya, nanti kamu tanya saja ke bundanya langsung
aja. Intinya bunda menawarkan komitmen itu kepada Ayah dan meminta Ayah juga
memberikan komitmen yang sama. Enggak menuntut apa-apa dan enggak aneh-aneh.
Karena Ayah sepemikiran dengan bunda, dan Ayah juga tahu kalau bunda itu selalu
menepati janji, enggak pernah macem-macem juga, Ayah bilang ke bunda jawabannya
iya. Ayah mau nikahin bunda.”
“Berarti cinta itu enggak penting dong ayah?”
“Penting. Tetap penting. Siapa yang mau hidup bersama tanpa
perasaan cinta. Hanya saja itu bukan yang paling utama. Dalam diri manusia,
komitmen berada pada area yang jauh lebih rasional daripada cinta. Cinta lebih
banyak didominasi oleh perasaan, yang kadang enggak masuk akal. Bahkan bagi
orang-orang yang enggak bisa mengendalikannya, perasaan itu jadi enggak
seimbang. Karena cinta mendominasi sebagian besar perasaan yang diisi dengan
harapan selalu dipenuhi kebahagiaan. Padahal, Allah itu menciptakan begitu
banyak rasa, bukan hanya bahagia saja. Padahal sejatinya, sumber kebahagiaan
itu bukan cinta. Tapi pada bagaimana kita menerima dan mensyukuri apa yang
sudah Allah berikan kepada kita. Cinta hanyalah salah satunya. Bukan
satu-satunya.”
“Berbeda dengan cinta, komitmen memberikan kesiapan tersendiri
untuk menghadapi hal yang tidak disukai oleh masing-masing. Komitmen
menyadarkan bahwa sebagaimana kehidupan lainnya, akan banyak masalah dan ujian
yang harus dihadapi bersama. Dan seberat apapun ujian itu, komitmen akan
memberikan kepercayaan dan keyakinan tersendiri, kalau kita bisa mengatasinya.
Sedangkan, rasa cinta biasanya enggak akan berfikir sejauh itu."
“Lagian, rumah tangga tidak otomatis memberikan kebahagiaan pada
yang menjalaninya. Kalau otomatis begitu, pastinya enggak ada pasangan yang
bercerai. Tapi rumahtangga memberikan kesempatan untuk menghadapi semuanya
bersama-sama. Untuk sama-sama mencari kebahagian, untuk sama-sama mengatasi
kesedihan. Mengenai bagaimana hasilnya, ditentukan dari seberapa besar komitmen
masing-masing dalam menjalankannya. Bukan sekedar pada perasaan cinta yang
dimilikinya.”
“Dan setelah menikah, Ayah enggak pernah jatuh cinta
lagi?”
“Pernah, sering malah.”
“Lah, Ayah tega mengkhianati Bunda?” aku kaget dengan jawaban Ayah
“Tentu saja enggak harus mengkhianati bunda, karena setelah
menikah dengan bunda, Ayah selalu jatuh cinta pada perempuan yang sama. Ya
bundamu itu.”
“Aih, kok bisa gitu sih, Yah?”
***
bersambung ...
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar