Jumat, Januari 15, 2016

Kriteria 2

Selesai makan malam. Aku langsung menculik ayah dari ruang makan. Enggak sabar melanjutkan pembicaraan yang tertunda.

***

“Ayah, ayo ceritain lagi, apa yang membuat Ayah dulu memilih bunda sebagai pendamping hidup?”

“Komitmen.”

“Hah, cuma itu, Ayah? Emang Ayah enggak cinta gitu sama bunda?” aku kaget denger jawaban ayah yang simple banget

“Ehm, gimana ya?” Ayah sok mikir, sengaja bener ingin buat penasaran

“Cinta sih, tapi bukan itu alasan utamanya. Kalau alasan utamanya cinta, bukan bunda yang Ayah nikahi. Tapi perempuan yang lainnya. Perempuan yang benar-benar sesuai dengan kriteria  Ayah.”

“Nah loh, maksudnya gimana?”

“Kan dulu Ayah pernah cerita, kalau sebelum menikah dengan bunda, Ayah sempat berganti pacar beberapa kali. Dan jujur ya, kalau ngomongin cinta, cintanya Ayah ke bunda waktu itu tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan cintanya Ayah ke pacar-pacar sebelumnya. Artinya, kalau pertimbangan utamanya cinta, Ayah pasti akan mencari perempuan lain yang lebih Ayah cintai, bukan bunda yang awalnya hanya pelarian saja setelah Ayah putus dari pacar yang sebelumnya.”

“Waduh, jadi bunda pelarian aja buat Ayah, perempuan cadangan gitu?” enggak tahu kenapa, tiba-tiba aku jadi emosi.

“Iya. Tapi itu kan dulu, waktu Ayah masih belum ngerti.”

“Terus gimana ceritanya Ayah bisa memutuskan untuk menikah dengan bunda?”

“Ceritanya, memasuki bulan ketiga Ayah pacaran sama bunda, enggak tahu kesambet malaikat dari mana, tiba-tiba bunda ngajakin nikah. Katanya, bunda enggak mau pacaran lagi. Kalau mau, nikahi bunda secepatnya, atau bunda minta putus aja. Terus bakalan cari laki-laki lain yang mau jadi suaminya bunda. Waktu itu Ayah bingung banget kan. Enggak ada rencana sama sekali untuk menikah cepat. Bahkan enggak ada rencana buat nikahin bunda. Orang tujuannya mau pacaran doang kok.”

“Terus kalau gitu, kenapa enggak diputusin aja bundanya. Kok malah dinikahin sih?”

“Sebenarnya waktu itu Ayah mau langsung putusin bunda. Nothing to loose lah ya. Lagian  kan Ayah enggak cinta-cinta banget sama bunda. Tapi gengsi dong, kesannya kalau langsung bilang putus gitu, kayaknya enggak gentle banget. Enggak bertanggungjawab. Akhirnya, Ayah basa-basi minta waktu seminggu buat memikirkan. Baru ngasih keputusan ke bunda. Padahal waktu itu, Ayah udah punya jawabannya.”

“Terus, terus?”

“Nah, waktu seminggu itu, iseng-iseng Ayah mikirin bunda. Terus Ayah merenung gitu deh. Sebenernya mau apa sih? Mau cari perempuan yang kayak gimana lagi? Udah nemu sama yang sesuai dengan kriteria banget, ideal menurut Ayah, udah dipacarin juga, tapi putus juga tuh, masih banyak kurangnya juga, masih banyak yang enggak cocoknya juga. Padahal belum apa-apa. Apalagi kalau nanti menjalani kehidupan keluarga yang lebih rumit. Enggak ada yang bisa menjamin. Termasuk cinta. Terus kenapa dipacarin kalau enggak mau dinikahin. Kenapa harus mempermainkan perasaan sendiri dan orang lain kalau nantinya enggak hidup bareng. Dan kenapa-kenapa yang lainnya, yang Ayah sendiri enggak bisa jawab.”

“Ceritanya Ayah tobat gitu ya?” tanyaku sambi tersenyum

“Belum sih. Masih bingung. Masih belum tahu kenapa dan harus apa. Terus Ayah sampai pada kesimpulan; kalau dipikir-pikir, sebenarnya siapapun yang jadi pendamping hidup Ayah, pasti punya kelemahan. Seideal apapun perempuan itu. Jadi masalahnya bukan tentang seberapa ideal atau seberapa sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Tapi tentang bagaimana kita menyikapi kelemahan masing-masing. Kalau kitanya egois, mau menang sendiri, ya pasti ujung-ujungnya banyak ributnya, terus putus kayak pacar-pacar yang sebelumnya.”

“Tapi kalau sama-sama memiliki komitmen untuk saling menerima, untuk saling memperbaiki, untuk saling mengisi, memahami juga menghargai, sekurang ideal apapun pasangan kita, sekurang sesuai apapun dengan kriteria yang kita inginkan, harusnya tidak akan terlalu bermasalah, kalau kita punya niat yang benar untuk membangun keluarga yang baik, juga punya komitmen yang kuat untuk mewujudkannya. Bersama siapapun yang menjadi pasangan hidup kita.”

“Dan bunda punya itu?”

“Iya. Bundamu punya komitmen itu. Seminggu kemudian sebelum Ayah memberikan jawaban ke bunda, Ayah bertanya tentang kenapa bunda memberikan pilihan itu kepada Ayah, dan apa rencana bunda kalau kami menikah kelak.”

“Terus jawaban bunda apa, Ayah?”

“Jawaban lengkapnya, nanti kamu tanya saja ke bundanya langsung aja. Intinya bunda menawarkan komitmen itu kepada Ayah dan meminta Ayah juga memberikan komitmen yang sama. Enggak menuntut apa-apa dan enggak aneh-aneh. Karena Ayah sepemikiran dengan bunda, dan Ayah juga tahu kalau bunda itu selalu menepati janji, enggak pernah macem-macem juga, Ayah bilang ke bunda jawabannya iya. Ayah mau nikahin bunda.”

“Berarti cinta itu enggak penting dong ayah?”

“Penting. Tetap penting. Siapa yang mau hidup bersama tanpa perasaan cinta. Hanya saja itu bukan yang paling utama. Dalam diri manusia, komitmen berada pada area yang jauh lebih rasional daripada cinta. Cinta lebih banyak didominasi oleh perasaan, yang kadang enggak masuk akal. Bahkan bagi orang-orang yang enggak bisa mengendalikannya, perasaan itu jadi enggak seimbang. Karena cinta mendominasi sebagian besar perasaan yang diisi dengan harapan selalu dipenuhi kebahagiaan. Padahal, Allah itu menciptakan begitu banyak rasa, bukan hanya bahagia saja. Padahal sejatinya, sumber kebahagiaan itu bukan cinta. Tapi pada bagaimana kita menerima dan mensyukuri apa yang sudah Allah berikan kepada kita. Cinta hanyalah salah satunya. Bukan satu-satunya.”

“Berbeda dengan cinta, komitmen memberikan kesiapan tersendiri untuk menghadapi hal yang tidak disukai oleh masing-masing. Komitmen menyadarkan bahwa sebagaimana kehidupan lainnya, akan banyak masalah dan ujian yang harus dihadapi bersama. Dan seberat apapun ujian itu, komitmen akan memberikan kepercayaan dan keyakinan tersendiri, kalau kita bisa mengatasinya. Sedangkan, rasa cinta biasanya enggak akan berfikir sejauh itu."

“Lagian, rumah tangga tidak otomatis memberikan kebahagiaan pada yang menjalaninya. Kalau otomatis begitu, pastinya enggak ada pasangan yang bercerai. Tapi rumahtangga memberikan kesempatan untuk menghadapi semuanya bersama-sama. Untuk sama-sama mencari kebahagian, untuk sama-sama mengatasi kesedihan. Mengenai bagaimana hasilnya, ditentukan dari seberapa besar komitmen masing-masing dalam menjalankannya. Bukan sekedar pada perasaan cinta yang dimilikinya.”

“Dan setelah menikah, Ayah enggak pernah jatuh cinta lagi?”
“Pernah, sering malah.”
“Lah, Ayah tega mengkhianati Bunda?” aku kaget dengan jawaban Ayah

“Tentu saja enggak harus mengkhianati bunda, karena setelah menikah dengan bunda, Ayah selalu jatuh cinta pada perempuan yang sama. Ya bundamu itu.”

“Aih, kok bisa gitu sih, Yah?”

***                              



bersambung ...

#diorama


Tidak ada komentar:

Posting Komentar