Jumat, Januari 15, 2016

Kriteria

Selalu saja begitu. Aku tak bisa menyembunyikan masalahku dari Ayah. Selalu ketahuan. Selalu ingin cerita. Termasuk dalam urusan yang satu ini.

***

“Ayah, kayaknya aku lagi jatuh cinta deh sama seorang cewek. Adik tingkat di fakultas. Sesuai banget dengan kriteria yang aku inginkan. Baik, sederhana, cantik juga sholehah.” Aku memulai pembicaraan dengan malu-malu

“So?” ayah menanggapi dengan mata penasaran sambil senyum-senyum gitu

“Akunya harus gimana dong Ayah? Di satu sisi aku tahu itu salah, belum saatnya. Pasti enggak boleh juga sama bunda kalau pacaran, bisa diceramahin tiga hari tiga malam lebih kalau ketahuan bunda. Di sisi lain, enggak tahu kenapa susah banget buat ngelupain dia. Apalagi sering ketemu kalau ada di kampus. Any idea?”

Ayah hanya tersenyum sebelum menjawab pertanyaanku.

“Coba tanya kepada orang yang sedang jatuh cinta, tentang apa yang membuatnya mencintai seseorang? Jawabannya boleh beraneka ragam, sesuai dengan selera, kriteria atau pengalaman masing-masing. Seperti yang kamu sampaikan tadi. Tapi segala jawaban selalu berujung pada kebaikan dan kelebihan orang yang dicintai. Tak pernah terdengar dalam kisah paling romantis sekalipun, kalau seseorang mencintai orang yang lainnya karena keburukan, kejelekan dan kekurangannya.”

“Lah iya lah, Ayah.” Aku tertawa mendengar penjelasan ayah.

“Artinya, cinta hanyalah ukuran suka kita terhadap seseorang. Cinta tidak mengukur tentang apa yang tidak kita suka. Padahal dalam diri seseorang, seberapa cintapun kita terhadapnya, pasti memiliki kekurangan selain kelebihan. Pasti memiliki sisi, yang kita enggak suka banget dengan sisi itu. Apakah cinta bisa mengatasinya?”

“Maksudnya, Yah?”

“Misalkan, kalau ada laki-laki yang mencintai perempuan karena kecantikannya. Apakah cinta itu masih ada jika kecantikannya sudah tiada? Apakah cinta itu akan membesar jika kecantikannya semakin berkurang?  Atau kalau kamu mencintai seseorang karena orang itu baik, apakah cinta itu akan tetap sama kalau kamu mengetahui keburukan dari orang tersebut, apalagi jika keburukannya jauh lebih banyak daripada kebaikannya. Bahkan, kalau kamu mencintai seseorang karena kesholehannya, apa iya, kamu sudah siap jika ternyata suatu hari dia berubah, kemudian perubahnnya malah membuat kamu semakin jauh dari kebaikan. Semakin jauh dari kesholehan itu sendiri?”

“Iya juga ya, Yah?”

“Itulah kenapa banyak orang yang mengaku cinta setengah mati, tapi rumah tangganya berantakan dan berujung perpisahan. Itulah kenapa banyak orang terdahulu, yang jarang banget mengungkapkan cinta, tapi rumahtangganya langgeng sampai mati. Karena sebenarnya, dalam perkara ini ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar cinta, yang bisa menyelesaikan masalah seperti yang ayah tanyakan tadi.”

Ayah berhenti sejenak, memberiku kesempatan untuk mencerna maksud perkataannya. Tapi aku tak sabar untuk mendengar kelanjutannya.  

“Terus, Yah?”

“Nah, karena cinta hanya berbicara tentang apa yang kita suka. Bisa jadi pada saat mencintai orang lain, sebenarnya kita hanya sedang mencintai sebagian diri kita yang hidup pada orang tersebut. Atau kita sedang menemukan sesuatu yang kita inginkan, tidak ada dalam diri kita dan ada dalam diri orang tersebut. Coba deh, kamu cek lagi perasaan kamu itu, bener nggak seperti itu. Kamu hanya melihat perempuan tadi, dari sisi kelebihannya saja. Dari sisi yang kebetulan, kelebihannya adalah apa yang kamu suka atau apa yang kamu inginkan tapi belum ada di diri kamu.”

“He,, he.. “ aku cuma tersenyum malu, sebagai bentuk pengakuan memang begitulah adanya. Ayah membalasnya dengan senyuman mengerti, lalu melanjutkan:

“Itulah kenapa sumber cinta yang utama adalah Allah, karena semua tentang Allah adalah kebaikan, kelebihan, keindahan, dan kesempurnaaan. Tak ada keburukan di dalamnya. Itulah kenapa yang harus diteladani adalah cintanya rasullah. Karena beliaulah manusia paling sempurna, yang walaupun tak luput dari kesalahan sebagai seorang manusia, setidaknya beliau selalu dijaga dari segala keburukan.”

“Terus, gimana dong caranya untuk melupakan perempuan tadi?”

“Nak, cinta itu perasaan. Dan perasaan selalu bersifat relatif.  Di setiap tempat, kamu akan menemukan siapa yang paling cantik, siapa yang paling baik, siapa yang paling sholehah, dan siapa yang paling-paling lainnya. Kamu memilih untuk mencintai perempuan tadi, itu karena secara tidak sadar, otak kamu membanding-bandingkan antara perempuan yang pernah kamu kenal, dekat dengan kamu, dan hasilnya perempuan tadilah yang paling sesuai dengan kriteria atau apa yang kamu inginkan.”

“Terus hubungannya apa ya, Ayah?”

“Karena sifatnya relatif, kalau tempatnya kamu perluas lagi, kalau kamu punya lingkungan baru, yang lebih banyak, kamu selalu bisa menemukan perempuan yang lebih baik darinya. Selalu saja begitu. Kalau kamu mau membuka hati dan tidak terjebak dalam perasaan yang sifatnya relatif tadi. Makanya, kalau mau berteman dengan perempuan, agar tidak terjebak pada perasaan-perasaan seperti itu, perasaan relatif yang belum pada tempat dan waktunya, kamu dari awal harus tegas membuat batasan dengan hati kamu. Bilang ke hati kamu, siapapun perempuan yang dekat sama kamu, yang sering betemu, berdiskusi dan sebagainya: hanya sebatas teman. Cukup. Tidak lebih. Kalaupun dia cantik, baik, juga sholehah. Pasti ada perempuan lain di tempat yang lain, yang jauh cantik, lebih baik dan juga lebih sholehah daripada dirinya. Kalaupun separah-parahnya, kamu berjodoh dengan perempuan yang standarnya jauh lebih rendah daripada perempuan tadi; itu karena perempuan yang kelak akan menjadi jodoh kamu itu adalah yang terbaik buat kamu.”

“Tapi, hati kita kan enggak bisa bohong Yah? Kalau kita suka, ya suka. Bukannya kita harus mengikuti kata hati ya?”

“Hati emang nggak bisa bohong. Tapi hati sangat bisa untuk salah. Jadi, sebelum kamu mengikuti kata hatimu, jaga dulu hati kamu, lalu periksa apakah suara hati kamu itu udah bener atau belum. Kalau udah bener, baru boleh diikuti.”

Aku cuma senyum cengengasan, sambil manggut-manggut.

***

“Oh iya, Ayah, kenapa dulu ayah memilih bunda sebagai pendamping hidup?”

Baru saja ayah mau menjawab, tapi keduluan sama teriakan keras seorang perempuan:
“Ayah, Putra, ayo makan malam dulu. Makanannya sudah siap. Sudah laper nih.”

Tentu saja itu suara kak Putri. Secerewet-cerewetnya bunda, enggak mungkin bunda teriak-teriak model begitu. Biasanya kalau bunda yang manggil, bunda akan langsung mendatangi kami, tersenyum lembut, basa-basi sebentar, baru mengajak makan. Tapi siapapun yang memanggil, kami harus segera menuju ruang makan. Pembicaraan pun harus ditunda sementara waktu.

bersambung...


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar