16
Siapa
yang sudah menyadari; jika titik gelap adalah tempat terbaik untuk melihat
bintang? Aku sudah, walaupun amat sangat terlambat. Sebelumnya, gelap mendorongku menghasilkan keluh yang
berkali lipat, memberikan celah kepada iri untuk membajak sebagian perasaan,
ketika menyaksikan titik terang orang lain. Padahal, sebagaimana bintang,
manusia memiliki sinarnya masing-masing. Sebagaimana bintang yang hanya
bermunculan di malam hari, manusia juga tidak bisa bersinar setiap saat. Semua
ada waktunya, semua harus bersabar untuk menanti gilirannya.
Kegelapan
juga menghantarkan pikiranku ke beberapa tanya; kenapa hal ini menimpa aku,
kenapa penderitaan ini harus aku lalui, kenapa begini dan begitu yang lainnya.
Aku sempat mencari jawabannya kemana-mana, tanpa sadar bahwa sebagian jawaban
sudah aku punya di dalam hati, yang belum aku punya adalah keberanian untuk
meyakininya.
Dan
kamu, datang di saat yang tepat. Saat dimana gelap menyelimuti hidupku. Kamu
ada saat aku butuh, kamu mendekat saat yang lain menjauh. Kamu bertahan dengan
ketidaksabaranku, dikala yang lain berguguran satu-satu. Ah kamu, laki-laki
biasa yang tidak aku perhitungkan sebelumnya, pria sederhana yang menjelma
menjadi sahabat terbaikku, sampai akhirnya, aku masih ingat momen itu, pada
suatu magrib, saat kamu seperti anak SD yang minta izin kepada gurunya untuk
pergi ke belakang. Bukan untuk kepentingan membuang hajat, tapi untuk
sembahyang. Dan kebetulan, siklus perempuan sedang tidak memperbolehkanku untuk
sembahyang.
"Kapan
ya, aku bisa sholat berdua-duan dengan seorang imam? Hanya berdua saja."tanyaku
iseng, setelah kamu kembali
"Kalau
kamu tidak keberatan, aku bersedia jadi imam kamu." aku cuma bisa bengong, tak mengira kamu menanggapinya
dengan sungguh-sungguh. Beberapa detik kita saling diam. Kamu mengangguk
meyakinkanku sekali lagi. Aku ikut mengangguk. Lalu, kita saling melempar
senyum. Entah untuk siapa, karena seketika rasa malu melemparkan pandangan kita
ke sudut lain.
Dan
di titik itulah, ada yang menyentak kesadaranku, bahwa kamu adalah bintang yang
dikirim Tuhan, yang baru aku sadari sinarnya ketika aku berada di dalam gelap.
Dan setelah itu yang kuingat ketika gelap; saat ujian datang beruntun, ketika
sesekali musibah menghampiri, bukan lagi keluh kesah, bukan juga
ketidakberdayaan yang melumpuhkan. Tapi kasih sayang dari orang-orang di sekitar,
dan betapa beruntungnya aku memiliki mereka; bintang yang menyinari aku, serta
meyakinkan bahwa segelap dan sepekat apapun malam, akan datang matahari yang
menjemput pagi.
***
Dan
kebersamaan kitapun dimulai. Sepasang manusia yang dengan keterbatasannya telah
menyepakati untuk tidak menjadi pasangan yang sempurna, untuk saling mengerti
walaupun sedang tak sehati. Kamu pernah bilang, kalau tidak ada pasangan yang
sempurna, yang ada hanyalah sepasang manusia yang berusaha untuk menerima
kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Dan betapa terharunya aku, ketika
kamu memintaku untuk menerima kekuranganmu, sebagaimana kamu juga telah
menerima kekuranganku. Sedikit kujelaskan kenapa aku amat terharu. Aku mengerti
itu bukan sesuatu yang mudah untukmu, karena pada dasarnya, laki-laki punya ego
yang tinggi, dan jarang sekali mau mengakui kekurangannya, cenderung lebih
ingin terlihat dominan, terlihat lebih baik, apalagi di hadapan perempuan.
Sedang aku, bersama kaum hawa yang lainnya, punya perasaan yang jauh lebih
dominan.
Aku
tuh sebenernya keras kepala. Susah buat menerima sesuatu yang baru. Walaupun
itu sebuah kebenaran. Tapi lagi-lagi kamu sudah mengerti itu. Juga mengerti
kalau manusia lebih mudah menerima kebaikan daripada kebenaran. Dan kamu banyak
memberikan aku kebaikan, sehingga manusia keras kepala ini bisa lebih mudah
menerima kebenaran. Juga bisa memahami, kalau sebuah kebenaran akan lebih mudah
diterima jika dibungkus dengan banyak kebaikan.
Hari
ini, aku kembali menyadari, bahwa titik gelap, adalah tempat terbaik untuk
melihat bintang. Setelah cukup lama aku berdiri disini, di samping sepetak
tanah yang bernama pusara, beserta namamu yang tercetak pada nisannya.
bersambung...
17
Aku
baru mengerti betapa sukarnya ini. Betapa sesaknya rasa bahagia yang diambil
dengan tiba-tiba. Aku, belum siap untuk kehilangan kamu. Dan kesalahan
terbesarku adalah terlalu mencintai kamu. Harusnya sedari dulu aku memahami
kalimat ini dengan baik; Siapa yang berani memiliki, harus siap untuk
kehilangan. Tiga tahun berlalu setelah kepergianmu, tapi perasaanku masih
direpotkan oleh segala kenangan tentangmu.
"Kalau
nanti semua ini berlalu, aku akan temani kamu selalu. Pagi, siang, sore,
kapanpun kamu mau."*
ucapmu
waktu itu, menghiburku yang masih murung karena harus kamu tinggalkan beberapa
lama ke pulau seberang, padahal usia pernikahan kita masih belum genap empat
bulan. Dan siapa yang menyangka jika itu adalah perjalanan terakhir kamu.
Kecelakaan itu merenggut nyawamu. Sekaligus, menghabisi kebahagiaanku.
Perasaanku
lebih sesak jika mengingat harusnya aku yang melakukan perjalanan itu, bukannya
kamu. Mereka yang sedang bermasalah adalah keluargaku, bukan keluargamu. Sehari
sebelum keberangkatanku, aku jatuh sakit. Dokter melarangku untuk berpergian jauh,
dengan ringan kamu bilang biar kamu yang berangkat menggantikan aku. Sementara
aku yang sedang sakit, kamu titipkan pada keluargamu yang satu kota.
Aku
yang seharusnya pergi dan mungkin aku yang seharusnya mati. Ah, kalau kamu
masih ada, pasti kamu akan marah karena aku berfikir demikian. Apa yang pernah
kamu bilang dulu? Tak ada yang bisa menghindari kehendak Allah, sejauh apapun
kita berlari darinya, itu akan tetap terjadi. Cara terbaik untuk menghadapi
kehendakNya adalah dengan berprasangka baik kalau Allah selalu lebih tahu apa
yang terbaik buat kita. Kalau Allah sayang sama kita lebih dari apa yang kita
butuh, jauh lebih besar dari kita menyayangiNya. Dan apa yang terbaik itu akan
terasa sangat buruk, kalau kita tidak menerimanya. Masalahnya, menerima sesuatu
yang menyakitkan itu, bukan perkara yang sederhana. Termasuk, menerima
kepergianmu.
***
Bersusah
payah aku melupakanmu, dan betapa susahnya lupa yang dilakukan secara paksa.
Entah bagaimana mengungkapkannya. Kombinasi dari rasa sesal, rasa salah, rasa
kehilangan dan juga rindu. Dan ‘lupa’ kalah telak untuk bertarung dengan
perasaan itu. Apalagi, kenyataannya, aku tak punya kesempatan untuk
memperbaikinya, utuk bertemu denganmu lagi.
Beberapa
bulan setelah kepergianmu, orang-orang terdekatku menyarankanku untuk mencari
penggantimu. Aku katakan pada mereka bahwa kamu bukanlah barang yang bisa
diganti. Beberapa laki-laki juga mulai mendekatiku, membawa harapan masa depan
untuk hidup bersama mereka. Dan semuanya aku tolak. Perempuan itu cenderung
lebih setia daripada laki-laki. Banyak para isteri yang memilih hidup sendiri
setelah ditinggal suami pergi. Sebaliknya, suami yang ditinggal pergi isterinya
cenderung lebih bisa untuk mencari penggantinya, lebih mudah berpindah hati.
Dan kesetiaan ini, menyengsarakan aku.
Kemarin,
dia, teman lamaku, laki-laki kesekian yang mencoba mendekati aku, juga
mengalami nasib yang sama seperti yang lainnya. Aku masih tak berminat untuk
hidup dengan orang lain. Aku masih memilih untuk setia padamu, walaupun kita
sudah ada pada dimensi yang berbeda. Entah sampai kapan, entah bagaimana nanti
setelah baru saja, aku membaca sms yang ia kirimkan kepadaku:
Aku
terbiasa dengan setiap huruf-huruf yang menyusun sedemikian rapi kata ‘tunggu’,
kemudian melanjutkannya menjadi satu frasa pendek kata ‘menunggumu’, dan
menjadi kalimat sederhana yang sedemikian tenangnya tereja, yaitu; ‘aku,
masih tetap menunggumu’.**
juga
sms keduanya:
Aku
percaya jika saatnya tiba, kamu bisa melupakannya. Sampai saat itu tiba,
biarlah aku tetap menunggumu.
bersambung...
-----------------------------------------
*quote
by: dee
**quote
by: karina pradita
18
Saat
kalian telah dipertemukan Allah dengan jodohnya masing-masing, urusan tak
lantas menjadi selesai. Kalian harus saling setia untuk berjuang menjadi
pasangan akhirat kelak. Tak mudah menjadi pasangan dunia-akhirat. Karena semua
harus dijalani dengan kesamaan frekuensi dalam keimanan, kesabaran, ketaatan
pada Allah selama di dunia. Jika salah satu saja berbelok, maka bisa jadi dua
orang pasangan dunia tak menjadi pasangan akhirat.*
Masih
kuingat salah satu bait khutbah di hari bahagia kita, dan betapa kita sudah
saling janji untuk melakukannya. Aku ingin setia kepadamu, walaupun kamu sudah
tiada. Biarlah nanti kita dipertemukan lagi di akhirat, karena disana aku tak
ingin berpasangan dengan siapapun, kecuali kamu. Dan sampai saat itu tiba,
biarlah aku yang bersabar.
Beberapa
bulan terakhir, ada yang mulai berontak di hati kecilku, terutama setelah ada
sosok dia, laki-laki kesekian yang berusaha mendekatiku. Bedanya, dia tak mau
menyerah. Berkali-kali aku bilang tidak, tapi dia terus mencoba. Aku cukup
nyambung dengannya, kecuali kalau sudah berbicara tentang hubungan yang lebih
lanjut. Entahlah siapa yang akan menang, kesetiaan ataukah kesungguhan. Yang
jelas, aku belum bisa melupakan kamu, dan aku tak mau mengkhianati kamu.
“Sorry
ya, tapi yang mbak lihat, perempuan yang ada di hadapan mbak sekarang itu
bukan perempuan yang setia, tapi perempuan yang sedang menyakiti dirinya
sendiri.”aku kaget tersentak, tak terima dibilang seperti itu
oleh sepupuku. Sudah lama aku tak bertemu dengannya. Dia bekerja di negeri
seberang, sudah lama tak pulang. Seminggu yang lalu pulang ke Indonesia, dan
hari ini menyempatkan untuk bertemu denganku. Usia kami cukup jauh terpaut.
Suaminya juga sudah meninggal delapan tahun yang lalu, meninggalkan dua anak
bersamanya. Dan seperti aku, dia memilih untuk setia. Tidak menikah lagi,
mengurus kedua anaknya seorang diri.
“Maksud,
Mbak?”
“Come on, Dear. Setia itu harusnya pilihan yang
membuat orang yang memilihnya bahagia, bisa menikmati hidup yang dijalaninya.
Bukan seperti yang sedang kamu alami sekarang. Kamu hanya merasa bersalah
dengan almarhum suamimu, dan mencoba menebus kesalahan kamu dengan setia.
Padahal, hati kamu sendiri tidak nyaman dengan kondisi itu. Dan sampai
kapanpun, setia itu tidak akan menyembuhkanmu. Yang perlu kamu lakukan sekarang
adalah memaafkan diri sendiri, bukan setia. Lagipula, kamu salah besar jika
mengikat kesetianmu pada seseorang.”
“Selayaknya,
kesetiaan hanya kita peruntukan untuk Allah. Jikapun kita sebegitu setianya
dengan pasangan kita, itu karena Allah memang menyuruh kita untuk setia
padanya, untuk memperlakukan mereka dengan baik juga tidak menyakitinya. Sebagaimana
kita juga harus setia pada perintah dan larangan-Nya. Jadi kalaupun kamu
memutuskan untuk menikah lagi, bukan berarti kamu tidak setia. Kamu tetap setia
kepada Allah, karena menjalankan perintahNya bukan? Lagipula siapa yang bisa
memastikan di akhirat itu kamu bisa berpasangan dengan suamimu lagi. Jadi
daripada kamu menderita dengan kesetiaan kamu, lebih baik kamu memulai lembaran
hidup yang baru. Tidak mudah memang. Kita tidak tahu apakah kamu nanti bisa
bahagia dengan pasangan yang baru. Tidak ada yang tahu. Tapi terkadang, hidup
mengharuskan kita untuk berani mencoba.”
Dan
aku memutuskan untuk berani mencoba. Dengannya, laki-laki yang belum menyerah
terhadapku. Ada perasaan tertentu yang tak biasa ketika aku menerima suarat
merah jambu darinya. Surat, yang benar-benar akan mengubah kehidupanku.
***
Maaf
ya, pake surat, ditulis tangan lagi, biar kesannya agak romantis gitu. Moga
tulisannya bisa kebaca ya. Hehe. Jadi cerita sebenernya tuh gini. Aku tuh deket
sama adik kamu. Tahu sendiri kan, dia juniorku di jurusan dulu. Nah dia cerita
kalau pasca musibah meninggalnya suamimu itu, hidup kamu jadi agak-agak suram
gitu deh (eh, sorry ya keceplosan, enggak punya tipe-ex lagi, jadi enggak bisa
dihapus :D). Terus dia jodohin aku sama kamu, tapi dengan cara yang alami, biar
enggak keliatan didesign gitu. Aku sih mau-mau aja, kebetulan aku juga belum
punya calon. Dari dulu juga sudah ada perasaan sama kamu. Udah tahu banyak juga
versi lengkap kehidupanmu dari adikmu. Eh, kamunya yang enggak mau. Bayangpun,
sepuluh kali lebih aku mencoba, sebanyak itu juga aku ditolak. Sama perempuan
yang sama lagi. Ya, kamu. Bisa kali ya, aku dapat penghargaan dari MURI,
sebagai pria paling sungguh-sungguh mendapatkan perempuan, dengan rekor
terbanyak ditolak oleh perempuan yang sama. Sudah janda pula (ups, keceplosan
lagi :D).
Haha.
Untuk pertama kalinya aku bisa tertawa lepas. Itu salah satu hal yang aku suka
dari dia. Untuk beberapa hal, harus aku akui kalau dia jauh lebih ‘asik’
daripada kamu.
Aku
kira semua perempuan itu sama, kayak kemerdekaan, butuh diperjuangkan. Tinggal
usaha sungguh-sungguh, terus sabar, dikasih perhatian juga pengertian,
lama-lama juga luluh. Ternyata kamu itu beda. Enggak bisa pake cara begituan.
Enggak tahu deh harus pake cara apa. Dirayu enggak mempan, dikasih perhatian
dicuekin. Hargain dikit kenapa. Aku tuh muter-muter seharian di gramedia tahu,
buat nyari kata-kata mutiara nan bijaksana yang terakhir kali aku kirim lewat
sms itu. Astaga, apa balesan kamu tuh? Besok-besok
enggak usah sms kayak beginian lagi ya, aku enggak suka!!! (hiks.. hiks.. *tisu mana tisu*). Ya
udah deh, gpp. Mungkin kamu bukan jodohku. Cukup dulu ya kata pengantar,
basa-basi, sekaligus curhatnya. Mohon dimaklumi ya, karena perasaanku sekarang
itu kayak rasa bubur ayam dicampur es cendol: aneh.
Aku
masih mengulum senyum. Teringat betapa gigih perjuangannya. Dia benar adanya,
semua perempuan ingin diperjuangkan. Yang belum ia tahu, sekali hati perempuan
tertutup, rapatnya bagai tak akan terbuka lagi. Susah. Tapi kesungguhannya,
perlahan bisa membuka hatiku.
Sekarang
aku mau masuk ke bagian inti dari surat ini. Surat ini aku tujukan kepadamu
sebagai permohonan maafku karena selama ini suka mengganggu dan merepotkan
kamu, sekaligus kabar bahagia untukmu, karena besok-besok aku tak akan
menggangumu lagi (*ttsah*). Catet ya, bukannya aku nyerah. Enggak ada kata
nyerah dalam kamus hidupku. Tapi aku baru
sadar, tentunya setelah dapat hidayah dari Tuhan Yang Maha Esa, kalau ternyata
kebahagiaan itu emang bisa dicari, tapi enggak bisa dipaksa. Awalnya aku mau dijodohin sama kamu
karena selain aku suka, aku juga bisa nolongin hidup kamu. Melepaskan kamu dari
masa lalu. Bisa buat kamu bahagia. Kalau kata guru ngajiku waktu SD, bikin
bahagia orang ituh dapet pahala gede, bakalan masuk syurga. Nah, semakin kesini
aku semakin sadar kalau bukan rasa bahagia yang kamu dapat. Tapi.... ILL-FEEL... (sengaja
pake huruf gede semua biar lebih dramatis). Jadi daripada kita nanti saling
menyakiti, tepatnya aku yang menyakiti kamu, lebih baik kita bahagia dengan
jalan kita masing-masing. Masih banyak kali perempuan lain yang mau hidup
bahagia sama aku. Semoga kamu juga bahagia dengan pilihan kamu untuk hidup
sendiri.
Sebagai
penutup surat ini, kalau kamu berubah pikiran, ingatlah nasihat bijaksana dari
nenekku untuk perempuan di seluruh dunia: Kalo cari
suami, jangan liat gantengnya, karena pada prinsipnya ganteng itu bukan
prestasi. Tidak layak dibanggakan karena bukan hasil perjuangan. Hanya belas
kasihan Tuhan semata. Tapi lihatlah dia bisa diandalkan atau tidak,
bertanggungjawab apa tidak, dan akan sangat lebih baik jika dia itu humoris,
agar tidak bosan menghabiskan sisa hidup bersamanya.** Ya, mirip-mirip aku gini lah ya.
(tetep usaha :D). Sekian dan terimakasih (sambil ngelap air mata).
***
Haha.
Untuk kesekeian kalinya aku bisa tertawa lepas membaca suratnya. Kamu benar,
Allah lebih tahu mana yang terbaik buat kita. Dan kita akan merasakan kalau itu
yang terbaik buat kita, kalau berprasangka baik dengan apa yang menimpa kita.
Barangkali dia, laki-laki lucu yang dikirimkan Allah buatku, untuk menyembuhkan
kesedihanku setelah kamu tinggal pergi. Apa yang pernah kamu bilang dulu?
Allah, tidak akan mengambil sesuatu, kecuali dengan menggantinya dengan sesuatu
yang lain, yang lebih dari sekedar baik.
Aku
ingin segera membalas surat itu. Ah tidak, lebih baik langsung bertemu saja
dengannya. Bilang kalau aku sudah bisa membuka hati, sudah siap untuk membuka
lembar hidup baru, bersamanya. Sesorang yang baru aku tahu ketulusunnya.
Seseorang yang baru aku sadari sengaja dikirimkan Allah untuk menggantikanmu.
Seseorang yang dengan kejujuran dan ke-apa-adaan-nya mengajariku untuk bahagia.
Seorang yang bisa membuatku tertawa dan menangis bergantian, bahkan bersamaan.
Akupun tak sabar untuk segera membuka lembar kedua suratnya itu, semacam
lampiran kecil.
NB:
Anyway,
bulan depan tuh aku ada acara keluarga. Aku pengen banget kamu dateng. Kenalan
sama keluarga besarku. Just silaturrahim kok. Enggak ada niatan macem-macem. Eh
enggak deh, sekalian temenin aku lamaran ya. And you suggest what? Surprise!!!
Calonku itu adik kamu. Pasti dia belum cerita. Kita pengen buat kejutan
soalnya. Pokoknya kamu harus dateng ya, calon kakak-iparku. Siapa tahu
ketularan bahagia. :D
bersambung...
----------------------------------------
*quote
by: Melly Raharjo – dengan penyesuaian
**quote
by: Nayasa – dengan penyesuaian
19
Ruang
itu bernama hati, yang selama ini tertutup setelah kepergianmu, lantas ada
seseorang yang perlahan membukanya kembali. Dia mengetuknya dengan penuh
kesabaran dan kesungguhan. Sayangnya, ketika hati itu mulai terbuka, kesempatan
yang tidak berpihak. Dia, laki-laki itu, memutuskan untuk berpindah ke hati
yang lain, tanpa tahu kalau hatiku sudah terbuka untuknya. Dan yang lebih menyakitkan,
pemilik hati yang lain itu adalah adikku sendiri.
Sempat
terpikirkan olehku untuk mengatakan yang sebenarnya pada adikku. Adik yang juga
begitu menyayangi aku, yang membantuku untuk keluar dari masa lalu dengan
menjodohkanku dengannya, laki-laki yang berkali-kali aku tolak itu. Tanganku
juga hampir tergoda untuk membalas suratnya, dengan mengatakan pada lelaki itu
kalau hatiku sudah terbuka dan mau menerimanya, mau melanjutkan hidup
bersamanya.
Tapi
aku sadar, hati itu bukan mainan yang bisa dipermainkan dengan seenaknya.
Lagi-lagi kamu menyelamatkan aku dari pikiran bodoh itu. Jasadmu memang tak
lagi menyerta, ada pada dimensi lain yang aku sendiri tak begitu mengerti
bentuknya seperti apa. Tapi pemahaman yang kamu tanamkan, masih melekat erat di
sini, di hati ini.
“Sesulit
apapun itu, menyembuhkan luka di hati sendiri, jauh lebih mudah daripada
menyembuhkan luka di hati orang lain. Apalagi jika kitalah yang menyebabkan
luka itu. Jadi daripada mereka yang tersakiti karena perlakuan kita,
biarlah kita yang mengalah untuk mencoba memahami mereka, walaupun mungkin itu
akan sedikit menyakiti kita. Tapi setidaknya, kita punya kuasa atas hati kita
sendiri. Kita bisa menata hati kita, menyembuhkannya perlahan-lahan, sampai di
titik tertentu, hati kita tidak sakit lagi oleh luka yang sama. Sampai hati
kita lebih kuat dan lebih tulus lagi dalam menyikapi hidup. Dan semua itu tak
bisa kita lakukan pada hatinya orang lain.”
Bisikmu
waktu itu, sambil mendekapku lembut dari belakang, menenangkanku yang sedang
emosi karena kesal dengan sikap orangtuaku yang terlalu mencampuri urusan
rumahtangga kita. Dan kata-katamu memang benar, perlahan aku bisa menyesuaikan
harapan orangtua terhadap keluarga kecil kita, memahami keinginan mereka
walaupun di awal-awal harus mengorbankan perasaan. Dan betapa terkejutnya aku
ketika perlahan-lahan mereka juga mulai mengerti kondisi kita, tidak menuntut
malah berbalik mendukung kita. Barangkali, Allah sedang mengajari kita kalau
kebaikan sekecil apapun itu, akan kembali kepada yang melakukannya. Bahwa untuk
bisa dipahami orang lain, kita harus memahami orang lain terlebih dahulu. Bahwa
hati kita perlu berlatih untuk menjadi lebih kuat, lebih bersih dan lebih
lurus. Itu memang bukan proses yang mudah, tapi akan selalu indah.
Dan
itu juga yang aku lakukan kepada adikku, juga kepada laki-laki itu. Biarlah
hatiku yang merasakan sakit, biarlah aku yang menyembuhkan lukaku sendiri.
Biarlah mereka yang berbahagia. Mungkin memang jalannya harus seperti itu,
mungkin Allah sedang mempersiapkan skenario lain yang lebih baik untukku. Aku
tak begitu tahu pilihanku ini baik atau tidak. Aku juga tidak tahu apakah
pilihan mereka benar apa tidak. Tapi aku percaya, kalau pilihan Allah Yang Maha
Tahu, selalu yang terbaik. Seperti dulu Dia memilihkan kamu untukku. Jadi kalau
Allah tidak memilihkan laki-laki itu untukku, berarti dia bukan yang terbaik
untukku bukan? Tapi aku tetap berterimakasih padanya karena telah bersusah
payah membuka hatiku, walaupun akhirnya bukan dia yang memasukinya. Entah siapa
yang akan memasukinya nanti, setidaknya hati ini sudah terbuka, sudah siap
untuk membuka lembaran hidup baru, walaupun bukan bersamanya. Ah, sudahlah.
Minggu depan laki-laki itu akan datang beserta keluarganya untuk melamar
adikku. Aduh, kok nangisku susah berhenti gini sih.
***
Aku
memang bisa menyembunyikan perasaanku dari adikku, tapi tidak dari sepupuku.
Sepupuku mencium gelagat aneh dari perilakuku. Akupun menceritakan semuanya.
Dan betapa ia bangga dan sangat menghargai apa yang aku lakukan. Tanpa
sepengetahuan kami, adikku ternyata mendengar pembicaraan kami. Dan tambah
runyamlahlah semua urusan ini. Adikku ngotot untuk membatalkan rencana
lamarannya, meminta biar aku saja yang dilamar oleh laki-laki itu. Aku bilang
padanya, kalau kami tidak boleh mempermainkan hatinya, dan aku juga tak ingin
hidup bersama seseorang hanya karena belas kasihan. Biarkan semuanya berjalan
sesuai dengan rencana sebelumnya. Tak perlu mengkhawatirkan aku. Kami saling
ngotot, aku bahkan sempat meneriakinya, antara sakit dan kesal betapa keras
kepalanya adikku itu. Dan akhirnya kami saling menangis dalam pelukan.
“Biarkan
laki-laki itu yang memilih.” Kata
sepepuku menengahi kami, dan kami saling sepakat dengan sarannya. Mungkin
itulah jalan yang terbaik bagi kami. Dan siapaapun diantara kami yang dipilih,
harus saling ikhlas dan menerima.
Hari
ini, aku ingin berbicara dengan adikku, dicari di kamarnya tapi sepertinya
adikku itu sedang ke luar rumah. Mataku melihat secarik kertas yang tergeletak
di tempat tidur, kertas yang sama yang aku terima beberapa waktu yang lalu,
juga dengan tulisan tangan yang sama. Tentu saja isinya berbeda. Sepertinya itu
surat dari laki-laki itu.
***
Sebelumnya,
tanpa mengurangi rasa hormat dan dengan penuh kerendahan hati, ehm, sebenernya
sih aku sudah biasa berada dalam kondisi sesulit ini; diperebutkan oleh kaum
hawa (minta ditimpukin :D). Dan yang harus kamu ketahui, ganteng-ganteng begini
aku juga termasuk dalam deretan laki-laki yang punya prinsip (uhuk-uhuk, kaca
mana kaca?). Aku tuh seneng sama kalian berdua, jadi kalau disuruh milih
diantara kalian, aku sih pengen milih keduanya. Tapi enggak boleh ya? Karena
harus salah satu, ya udah deh, aku pilih kamu aja. Semoga saudarimu itu bisa
menerima ya, dan tidak ada yang tersakiti diantara kita (bentar deh, enam kata
terakhir kayaknya oke juga tuh buat judul sinetron :D).
Aku
cuma tersenyum baca paragraf pertama, agak sedih sih, ini senyumnya sambil
ngeluarin air mata. Sedih-sedih gimana gitu, tapi di satu sisi ikut lega dan
berbahagia juga untuk adikku. Akhirnya dia memilih adikku. Dan dia selalu bisa
menyederhanakan dan membuat masalah menjadi ringan. Easy going. Di situasi yang
serumit ini bisa-bisanya bikin orang menangis sambil tertawa.
Sebenernya
aku tuh sempet bingung, siapa diantara kalian yang harus aku pilih. Untungnya,
nenekku, yang merangkap sebagai penasehat asmaraku memberikan pencerahan yang
gilang-gemilang mengenai hal ini. Berdasarkan pengalamannya yang sudah
berpuluh-puluh tahun mengarungi bahtera rumah tangga, dia bilang; jodoh itu
bukan mengenai siapa atau bagaimana pasangan kita kelak. Tapi tentang bagaimana
kitanya. Artinya, siapapun nanti yang akan menjadi pasangan kita, tergantung
bagaimana kita memperlakukannya, bagaimana kita menjalaninya. Atau kalau dalam
bahasa yang lebih canggih lagi, waktu kuliah aku pernah diajarin tentang teori
input-proses-output. Input dan proses sama-sama mempengaruhi output. Tapi jika
ditanya mana yang lebih penting, ternyata prosesnya bukan inputnya (demikian
kuliah kita hari ini, sampai ketemu di pertemuan selanjutnya :D).
Intinya
sih aku enggak meragukan kalian berdua sebagai input, dua-duanya oke kok,
tinggal prosesnya aja nanti kita jalani sebaik mungkin. Artinya, siapapun nanti
yang akan aku pilih diantara kalian, sebenernya sih enggak terlalu bermasalah,
orang- inputnya sudah sama-sama bagus kok. Aku lega banget dong denger
penjelasan nenekku itu. Akhirnya aku balik lagi ke hati aku, dan inget
kata-kata bijaksana ini: Hati tak perlu memilih, hati selalu tahu apa yang
harus dirasa. Dan setelah berfikir lagi, meraba perasaan yang ada di hati,
ditambah minta petunjuk dari Allah Subhanallahu Wataala, ternyata perasaanku
itu lebih cenderung ke kamu. Aih, jadi gombal begini. Maaf, enggak sengaja.
(Jadi kamu udah tahu kan, kenapa lelaki ‘sekeren’ aku baru laku belakangan ini?
Tepat. Karena penasehatnya sudah nenek-nenek. Ah, maafkan cucu kesayanganmu
ini, Nek!)
Haha.
Ah, dia benar adanya. Sederhana sekali penjelasannya, sementara untuk memahami
hal itu, aku membutuhkan waktu bertahun-tahun. Harus kehilangan kamu,
terkungkung oleh kenangan masa lalu, tersiksa oleh perasaan bersalah. Dia benar, pasanganku
tidak harus kamu, tidak harus dia juga, karena sebenernya semuanya tergantung
bagaimana aku menjalaninya. Hatiku jadi lebih lega, sudah lebih bisa melepaskan
dia, juga kamu yang sudah tenang di alam sana. Biarlah nanti doaku yang
bertindak, sebagai cara terbaik untuk menyampaikan pesan yang tak bisa
tersampaikan. Untuk kalian.
Nah,
kita lebih serius dikit ya. Sebenernya ada lagi yang ingin aku sampaikan
sebelum lusa aku dan keluargaku datang ke rumah untuk melamar kamu. Ini prinsip
penting buat aku, kalau nanti kita berkeluarga. Tolong diperhatikan baik-baik
ya. Karena manusia itu enggak ada yang sempurna aku sungguh menerima kamu apa adanya.
Aku harap kamupun demikian.* Terus pernikahan itu adalah saatnya untuk berhenti
membanding-bandingkan. ** Jadi aku harap, kalau kita sudah menikah nanti,
jangan banding-bandingkan aku dengan orang lain, jangan juga
membanding-bandingkan kondisi keluarga kita dengan kondisi yang lainnya. Akupun
akan berusaha untuk demikian. Kita fokus saja pada kebahagiaan kita, pada apa
yang bisa kita lakukan, pada apa yang sudah kita terima. Karena setiap orang
sudah ada rezekinya masing-masing, sudah ada jatahnya masing-masing.
Jangan
terlalu maksa juga untuk menuntut perubahan dari diri kita masing-masing.
Karena cinta itu,
tidak seharusnya dimulai dari keinginan untuk mengubah seseorang demi mencapai
kebahagiaan, tetapi keinginan untuk tetap bahagia walau dia nggak bisa berubah.
Cinta juga tidak harus mengorbankan diri menjadi pihak yang lebih rendah. Cinta
tidak harus selalu menang atau selalu mengalah. Cinta berarti kompromi. Cinta
berarti meleburkan dua hati tanpa mematikan jati diri masing-masing.*** Kalau disimpulkan, aku sih pengennya dapat pasangan yang mempermudah urusan dunia dan
akhiratku kelak.**** Itu
aja. Tumben ya aku bisa bijak. Bentar deh, liat referensi dulu, ada yang
kelupaan enggak ya kutipan tadi (sambil lihat buku :D).
Betapa
aku harus banyak belajar dari laki-laki ini. Seolah-olah dia meluruskan
kesalahan yang aku lakukan. Memberiku banyak bekal dan pemahaman baru untuk
membuka lembaran hidup yang juga baru. Dan betapa beruntung adikku mendapatkan
pasangan seperti dirinya. Sedangkan aku? Juga tak sabar untuk membuka lembaran
hidup yang baru, walaupun belum tahu bersama siapa. Tak ada yang bisa mengulang
kembali kehidupan, tapi semua orang dapat memulainya sekarang dan membuat akhir
yang baru. Akhir yang lebih indah, tak peduli bersama siapapun kita
menjalaninya.
Terakhir,
sebenernya aku tuh orangnya pemalu (bohong banget ya), tapi untuk menguatkan
sebelum lamaran lusa, aku pengen banget bilang ini; I don't want say anything, but I love you.***** (ngumpet di kolong jembatan). Salam ya
buat adik kamu. Pasti dia bakalan dapet pasangan yang lebih keren daripada aku.
Hah?
Aku baru mengerti apa maksud kalimat terakhirnya, setelah melihat amplop yang
ada di meja kamar adikku. Namaku yang tertera di sana, bukan nama adikku. Surat
itu ternyata untukku, dititipkan melalui adikku.
-selesai-
-----------------------------------
*
quote by: Tia Setiawati Priatna, dengan penyesuaian
**
quote by: Amien Rais
***
quote by: Rina Surya Kusuma, dengan penyesuaian
****
diambil dari penggalan doa nabi Yusuf: Ya Allah, berikanlah aku pasangan yang
mempermudah urusan dunia dan akhiratku.
*****
quote by: Melly Goeslaw
20
warning:
cerita fiksi kali ini khusus dewasa, 20 tahun ke atas, yang belum cukup umur
sebaiknya jangan baca ya :D.
____________________________
Hubungan
kita merambat layaknya mollusca*.
Tenang, namun teramat lambat. Salah seorang sahabatku pernah mengatakan bahwa sesungguhnya, Tuhan
telah menurunkan tiga jenis orang untuk menemani kita dalam menjalani hidup.
Pertama, orang yang kita temui hanya untuk sesaat. Kedua, orang yang kita temui
karena suatu sebab. Ketiga, orang yang kita temui untuk sepanjang hayat.** Aku pikir bagiku, kamu masuk dalam
katagori ketiga. Tapi sekarang, hatiku mulai ragu.
Aku
bukan remaja lagi yang bisa kamu buat berbunga-bunga dengan kata cinta.
Aku butuh kepastian untuk dimiliki dan diakui. Bukan hanya sekedar
dicintai, tanpa status yang tidak pasti. Kamu minta aku menunggu. Sudah hampir
dua tahun aku menunggu kepastianmu. Kamu bilang kamu belum siap, tunggulah
sampai kondisimu di titik mapan. Sudah Kutegaskan kepadamu, aku lebih suka
berjuang bersamamu menuju titik itu, daripada menunggumu sampai padanya. Dan
terakhir kamu bilang, ada masalah yang harus kamu selesaikan di keluargamu.
***
Dulu,
keluargaku sempat menjodohkanku dengan laki-laki yang sudah mapan dan siap
menikahi aku. Aku menolaknya mentah-mentah karena kamu. Padahal proposal hidup
berumahtangga yag ditawarkannya sudah sangat jelas.
“Pernikahan
bukan hanya menggabungkan dua pribadi yang berbeda. Tapi juga dua keluarga,
kondisi dan latarbelakang yang berbeda. Jadi aku berharap, kita bisa saling
menerima kondisi masing-masing. Tidak melupakan keluarga besar masing-masing
walaupun kita sudah punya keluarga sendiri. Aku akan berusaha juga untuk
menyayangi keluargamu, sebagaimana aku menyayangi keluargaku sendiri atau
sebagaimana kamu menyayangi mereka. Semoga kamu juga bisa demikian.”
“Kalau
nanti kita menikah, jangan lupa tanggungjawab utamamu sebagai isteri adalah
menjadi ibu yang baik buat anak-anak kita kelak, memastikaan mereka mendapatkan
kasih sayang yang cukup, memastikan mereka dapat pendidikan yang baik, akhlak
yang mulia, pemahaman yang lurus juga pengetahuan agama yang bagus. Tentu saja
dalam pelaksanaannya kita akan banyak bekerjasama. Anak itu investasi
dunia-akhirat kita, yang akan mendoakan kita ketika kita masih ada atau sudah
tiada. Jadi harus benar-benar diutamakan.”
“Tapi
bukan berarti kamu tidak boleh kerja. Boleh, silahkan saja. Tapi jangan jadikan
motivasi utamanya adalah gaji atau pertimbangan finansial lainnya. Karena itu
adalah tanggungjawab utamaku. Mungkin aku belum bisa memberikan kehidupan yang
mewah, tapi semoga tidak jauh berbeda dengan standar hidup kamu ketika masih
hidup bersama orangtua. Syukur-syukur bisa lebih baik. Kalaupun harus bekerja,
jadikan itu sebagai tempat aktualisasi untuk mengembangkan diri, agar kamu bisa
menikmati dan tak terbebani. Atau hitung-hitung hiburan agar tidak bosan
mengurusi keluarga saja. Dan yang terpenting, tidak melalaikan hak dan
kewajiban rumah tangga.”
Itu
sekelumit potongan proposal yang dia sampaikan kepadaku melalui orangtuaku, bab
keluarga dan pekerjaan. Masih banyak bab-bab lainnya yang intinya tentang
gambaran kehidupan yang akan kami jalani jika aku bersedia menjadi isterinya.
Ada bab kehidupan sosial kemasyarakatan tentang hubungan bertetangga, tentang
nanti setiap bulan keluarga kecil kami harus menyempatkan buat program sosial
walaupun sesederhana makan bersama peminta-minta, dan seterusnya dan
selanjutnya.
Orangtuaku
sangat berharap agar aku menikah saja dengannya. Sayangnya, perasaan itu tak
bisa dipaksa. Dan hatiku memilih kamu. Untungnya orangtuaku memaklumi
keputusanku, walaupun agak sedikit kecewa. Sekarang, aku hanya bisa gigit jari
melihat laki-laki itu berbahagia dengan pasangannya yang juga sahabatku
sendiri, beserta babymereka
yang lucunya sungguh amat keterlaluan. Kebahagiaan yang cukup sempurna.
Sedangkan nasib kebahagiaanku? Masih menggantung di langit-langit.
***
Aku
bosan dengan semua ini, sudah lelah menjawab pertanyaan yang sungguh tak
berperasaan dari sahabat juga kerabat; kapan
undangannya? Jangan lama-lama. Ditunggu ya. Jangan lupa. Kalau bisa
aku ingin memilih mnghilang ditelan bumi untuk sesaat daripada menjawab
pertanyaan sejenis ini. Ketidakpastian yang membuat serba salah. Sayangnya, aku
tak berdaya untuk menghilang ataupun menjawabnya. Dan yang bisa kuberikan
hanyalah senyuman yang dipaksakan.
“Menikah
itu bukan balap mobil atau balap karung. Jadi bukan tentang siapa yang lebih
cepat daripada siapa atau siapa yang mendahului siapa. Tapi tentang suatu fase
hidup, yang setiap orang punya kebijaksanaan dan kondisi masing-masing untuk
memasukinya. Kalau sudah siap dan kondisinya memungkinkan baiknya memang
disegerakan. Kondisi kita berbeda dengan kondisi mereka. Seperti yang kamu
tahu, ada masalah yang harus aku selesaikan dengan keluargaku. Aku mohon kamu
mau bersabar sedikit lagi. Nanti kalau saatnya sudah tiba, aku dan keluargaku
akan datang ke rumahmu. Sampai saat itu tiba, biarlah kita tetap saling
percaya.”
Katamu
menghiburku waktu itu, setelah aku menanyakan untuk kesekian kalinya tentang
kepastian hubungan kita, sekaligus mengeluhkan kalau aku sudah bosan menjawab
pertanyaan teman-teman bahkan juniorku yang lebih dulu berkeluarga. Akupun
mencoba untuk memahami, memaksa diriku bersabar sebentar lagi. Semoga Tuhan
berbaik hati untuk memudahkan dan melancarkan semua urusan.
Dan
akhirnya, Tuhan berbaik hati. Hari ini, seminggu setelah pembicaraan terakhir
kita, setelah sekian lama aku menunggu, kamu akan memberikan keputusanmu.
Kepastian untukku. Betapa lega dan bahagia aku mendengarnya. Betapa aku tak
sabar menunggu kabar darimu. Betapa aku ingin segera menjawab pertanyaan yang
tak berperasaan itu. Tentang hari, tempat dan waktu pernikahan kita. Sayangnya,
keputusanmu adalah menyudahi hubungan diantara kita.
...
bersambung ...
___________________________
*mollusca:
kelompok hewan bertubuh lunak, dalam tulisan ini especially merujuk pada siput
**quote
by: Lula Kamal
21
Betapa
teganya kamu siksa aku dengan penantian, dan tanpa perasaan kamu menyudahinya
dengan perpisahan. Hatiku bukan benda yang bisa kamu permainkan dengan
seenaknya. Waktuku juga bukan sampah yang bisa kamu sia-siakan dengan
sembarangan. Aku ini perempuan. Dan tak ada yang lebih meresahkan bagi
hati perempuan selain menunggu kepastian. Salahnya, aku terlalu berharap akan
kepastianmu. Lupa bahwa kepastian tidak selalu melegakan. Terkadang kepastian
malah menyesakkan. Aku coba baca kembali email singkat penjelasanmu. Dan aku masih
tetap belum bisa menerimanya.
***
Awalnya,
Aku pikir aku bisa mengkondisikan ibuku. Makanya, aku mengulur waktu untuk
mencari celah mengkondisikan beliau agar bisa menerima kamu, agar ridho tentang
keputusanku untuk memilih kamu. Tapi ternyata ibuku tetap berkeras untuk
menjodohkanku dengan anak sahabatnya. Aku ingin hidup berbahagia bersama kamu.
Tapi aku juga tak mau kebahagiaan kita menyusahkan orang lain, apalagi orang
itu adalah ibuku sendiri. Tak mungkin kita kawin lari, bukan? Tak mungkin kita
menikah tanpa restu orangtua. Tanggungjawab dan kondisi kita berbeda. Setelah
menikah nanti, surga seorang suami masih ada di telapak kaki ibunya. Berbeda
dengan seorang isteri yang sudah pindah ke telapak tangan suaminya.
Aku
tak bermaksud untuk menyakiti kamu. Aku harap kamu mengerti. Aku tak punya
pilihan. Dan menyakiti keluarga adalah bukan pilihan untukku. Aku harap kamu
bisa merelakan aku, sebagaimana aku yang juga sedang bersusah payah untuk
melepaskanmu. Maaf sudah membuatmu menunggu. Maaf sudah banyak menyakiti.
***
Kamu
membuat hatiku begitu sakit. Sayangnya, kata maafmu tak bisa menyembuhkannya.
Maaf bukan hanya sekedar kata penghibur lara. Maaf berarti konsekuensi untuk
memperbaiki. Dan kamu tak melakukan apa-apa untuk memperbaikinya, malah menikah
dengan perempuan pilihan ibumu itu. Sementara aku, masih terjebak dalam rasa
sakit yang menyesakkan. Berbulan-bulan.
***
Perlahan,
aku mulai bangkit walaupun merangkak. Mulai menyadari bahwa hidup adalah
pertanggungjawaban. Dan kita bertanggung jawab atas kehidupan kita sendiri.
Jadi percuma menyalahakan siapa-siapa. Termasuk menyalahkan kamu. Sahabatku
banyak membantu untuk menyembuhkan luka itu. Sahabat yang paling mengerti aku,
sahabat yang selalu bisa membuatku tertawa sekaligus iri dengan kesederhanaan
dan ke-apa-adaan-nya.
***
"Halo,
Sorry ya, gangguin lagi, telepon malem-malem. Kamu lagi ngapain?"
"Gpp
kok. Nyantai aja. Aku lagi lucu-lucunya nih."
"Haha,
dasar ya, dari dulu sampe sekarang udah jadi emak-emak gilanya enggak
ilang-ilang."
“Iya
nih, udah bawaan, gimana dong? Tapi gpp juga sih, tiap orang kan punya
keunyuaannya masing-masing, aku hanya mensyukuri diriku yang begini adanya.
Tssaah.”
“Jiaaah,
nambah gilaa nih anak. Haha.”
“Gpp
deh dibilang gilaa, aku mah ikhlas, yang penting bahagia. Daripada normal tapi
sedih melulu.”
“Nyindir
terus...”
“Enggak
kok, cuma jujur aja. Aku kan orangnya emang apa adanya. Haha..”
“Tapi
kamu ada benernya sih, aku kok sedih melulu ya. Susah banget buat ngelupain dia.
Susah banget buat move-on. Any
advice?”
“Waw,
demi apa coba, ada orang waras minta nasihat ke orang gilaa. Haha.”
“Serius
nih aku...”
“Iya
deh, iya. Aku serius nih ya. Kalau yang aku tahu nih ya, move-on itu
bukan tentang melupakan, tapi tentang merelakan. Jadi kamu enggak usah
capek-capek buat lupain dia. Lupa tak bisa dipaksa. Bahkan kamu tak bisa
menyuruh diri kamu sendiri untuk melupakannya. Lupa itu otomatis. Kalau saatnya
sudah tiba, perlahan waktu akan membantumu untuk melupakannya. Tapi sebelum saat
itu tiba, lebih baik kondisikan hati kamu untuk merelakannya. Dengan begitu
hidup kamu bisa lebih tenang, walaupun kamu masih belum bisa melupakannya. Dan
kalaupun kamu mengingatnya, kenangan yang akan kamu jumpai adalah hikmah yang
bertaburan, bukan rasa yang menyesakkan. Lagian, yang namanya rezeki,
kemuliaan, apalagi jodoh itu enggak akan pernah tertukar. Jadi tenang saja, stay cool, enggak
usah terlalu khawatir lah.”
"Kalau
ngomong doang sih enak ya. Tapi enggak gampang tahu, nyari yang cocok, kayak
aku sama dia."
"Hahah. Oh, Dear, kalau
kamu menganggap kamu itu cocok banget sama dia, terus kecocokan itu akan
membawa kalian menjadi keluarga yang bahagia, Hmmm... Kamu boleh lebih pinter
daripada aku, kamu juga boleh lebih manis daripada aku. But, sorry, buat kali ini, you are totally wrong.”
“Maksud
kamu?”
“Di
kolong langit ini, enggak ada sepasang manusia, entah itu partner kerja,
apalagi partner hidup, yang benar-benar cocok. Karena setiap orang punya
karakter, kebiasaan, kelemahan, kekurangan, kelebihan, kesukaan juga
ketidaksukaannya masing-masing. Dan yang bikin rumit, semua itu bisa berubah.
Karena manusia sudah diciptakan unik adanya, tentu saja perbedaan antara
sepasang manusia selalu lebih banyak daripada persamaannya. Jadi kalau kamu
sudah merasa cocok dengannya, masih banyak ketidakcocokan yang belum kamu tahu,
yang belum kalian hadapi. Kalau selama ini kamu merasa cocok dengannya, bukan
berarti selamanya kamu akan cocok dengannya. Bisa jadi dianya berubah, atau
diri kamunya yang berubah. Kita enggak pernah tahu. Atau barangkali, kecocokan
itu hanyalah perasaan sesaat, karena selama ini kalian sama–sama memakai topeng
untuk terlihat baik di mata yang lainnya, dan menyembunyikan banyak hal dibalik
topeng itu. Who knows? Intinya, bukan tentang
kecocokan. Karena sekali lagi, semuanya bisa berubah.”
“So,
what?”
“Kemampuan
untuk bisa saling mengerti, memahami juga menerima. Kalau kamu sudah bisa
memiliki itu, siapapun yang kelak akan menjadi pasangan hidupmu, selama dia
juga memiliki hal yang sama, kalian akan selalu merasa cocok. Seberapa
banyakpun perubahan dan perbedaan yang akan kalian hadapi.”
“Kayaknya,
aku masih belum bisa buat nerima orang lain. Masih sakit hati, tahu enggak sih?"
"Namanya
juga luka, ya sakit. Kalau aku, baru manis. Hahaa..."
"Idih...."
“Penerimaan
itu sifatnya alami. Enggak bisa dipaksa. Emang butuh proses sih. Kalau hati
kamu hanya baru bisa menerima dia, tapi belum bisa menerima yang lainnya,
artinya kamu masih belum bisa menerima kehidupan. Seburuk apapun kejadian yang
menimpa kita, Allah selalu punya maksud, dan itu pasti baik. Pikiran kitanya
saja yang suka berburuk sangka. Perasaan kitanya saja yang suka lebay. Padahal
yang harus kita lakukan hanyalah percaya, kalau Allah selalu memberikan yang
terbaik buat kita, lalu menerima Ketetapan-Nya dengan sepenuh hati. Kalau mau
sederhana, sebenernya hidup kita itu hanyalah perpindahan dari satu takdir ke
takdir yang lainnya. Kalau kamu belum ditakdirkan hidup bersamanya. Sudah pasti
dia bukan yang terbaik buat kamu. Tidak semua takdir bisa diubah, dan ada
takdir yang hanya harus kita hadapi dengan sebuah penerimaan. Tssaah. Haha.”
“Haha.
Masih belum bisa terima kenyataan ih.”
“Kalau
kamu sudah ditinggal nikah sama dia?”
“Bukan.
Kalau kamu ternyata sebijak itu. Haha.”
“Kurangajar.
Tapi kenyataan itu terkadang emang pahit adanya kok. Terima aja. Haha.”
“Btw,
kamu kesambet malaikat darimana sih? Tumben omongannya banyak benernya. Haha.”
“Sialan.
Jadi selama ini omongan aku menyesatkan gitu ya? Tega kamuh ya, menuduhku
sekeji itu. Padahal sudah bertahun-tahun kita saling kenal. Haha..”
“Ya,
kumat deh gilaanya nih anak. But, thanks
anyway ya,
buat hiburannya. Udahan dulu ya, takut ketularan gila nih kelamaan teleponan
sama kamu.”
“Hahaha, never mind, Dear. Goodluck buat move-on nya.
***
Satu
tahun kemudian...
Bersusah
payah aku sampai di titik ini. Titik dimana, aku merasakan kebahagian yang jauh
berkali-kali lipat dibandingkan kebersamaan kita dulu. Di rumah mungil ini,
bersama laki-laki lain yang sebentar lagi menjadi ayah dari anak nakal yang
sedang menendang-nendang perutku dari dalam. Ternyata benar, Allah akan selalu
mengganti apa atau siapa yang diambilNya dari kehidupan kita, dengan sesuatu
yang jauh dari sekedar baik. Syaratnya, kita merelakan apa yang diambilnya itu
dengan sepenuh hati. Sebagaimana dulu aku merelakanmu.
[selesai]
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar