Jumat, Januari 15, 2016

Menata Hati III

16

Siapa yang sudah menyadari; jika titik gelap adalah tempat terbaik untuk melihat bintang? Aku sudah, walaupun amat sangat terlambat. Sebelumnya, gelap mendorongku menghasilkan keluh yang berkali lipat, memberikan celah kepada iri untuk membajak sebagian perasaan, ketika menyaksikan titik terang orang lain. Padahal, sebagaimana bintang, manusia memiliki sinarnya masing-masing. Sebagaimana bintang yang hanya bermunculan di malam hari, manusia juga tidak bisa bersinar setiap saat. Semua ada waktunya, semua harus bersabar untuk menanti gilirannya.

Kegelapan juga menghantarkan pikiranku ke beberapa tanya; kenapa hal ini menimpa aku, kenapa penderitaan ini harus aku lalui, kenapa begini dan begitu yang lainnya. Aku sempat mencari jawabannya kemana-mana, tanpa sadar bahwa sebagian jawaban sudah aku punya di dalam hati, yang belum aku punya adalah keberanian untuk meyakininya.

Dan kamu, datang di saat yang tepat. Saat dimana gelap menyelimuti hidupku. Kamu ada saat aku butuh, kamu mendekat saat yang lain menjauh. Kamu bertahan dengan ketidaksabaranku, dikala yang lain berguguran satu-satu. Ah kamu, laki-laki biasa yang tidak aku perhitungkan sebelumnya, pria sederhana yang menjelma menjadi sahabat terbaikku, sampai akhirnya, aku masih ingat momen itu, pada suatu magrib, saat kamu seperti anak SD yang minta izin kepada gurunya untuk pergi ke belakang. Bukan untuk kepentingan membuang hajat, tapi untuk sembahyang. Dan kebetulan, siklus perempuan sedang tidak memperbolehkanku untuk sembahyang.

"Kapan ya, aku bisa sholat berdua-duan dengan seorang imam? Hanya berdua saja."tanyaku iseng, setelah kamu kembali

"Kalau kamu tidak keberatan, aku bersedia jadi imam kamu." aku cuma bisa bengong, tak mengira kamu menanggapinya dengan sungguh-sungguh. Beberapa detik kita saling diam. Kamu mengangguk meyakinkanku sekali lagi. Aku ikut mengangguk. Lalu, kita saling melempar senyum. Entah untuk siapa, karena seketika rasa malu melemparkan pandangan kita ke sudut lain.

Dan di titik itulah, ada yang menyentak kesadaranku, bahwa kamu adalah bintang yang dikirim Tuhan, yang baru aku sadari sinarnya ketika aku berada di dalam gelap. Dan setelah itu yang kuingat ketika gelap; saat ujian datang beruntun, ketika sesekali musibah menghampiri, bukan lagi keluh kesah, bukan juga ketidakberdayaan yang melumpuhkan. Tapi kasih sayang dari orang-orang di sekitar, dan betapa beruntungnya aku memiliki mereka; bintang yang menyinari aku, serta meyakinkan bahwa segelap dan sepekat apapun malam, akan datang matahari yang menjemput pagi.  

***

Dan kebersamaan kitapun dimulai. Sepasang manusia yang dengan keterbatasannya telah menyepakati untuk tidak menjadi pasangan yang sempurna, untuk saling mengerti walaupun sedang tak sehati. Kamu pernah bilang, kalau tidak ada pasangan yang sempurna, yang ada hanyalah sepasang manusia yang berusaha untuk menerima kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Dan betapa terharunya aku, ketika kamu memintaku untuk menerima kekuranganmu, sebagaimana kamu juga telah menerima kekuranganku. Sedikit kujelaskan kenapa aku amat terharu. Aku mengerti itu bukan sesuatu yang mudah untukmu, karena pada dasarnya, laki-laki punya ego yang tinggi, dan jarang sekali mau mengakui kekurangannya, cenderung lebih ingin terlihat dominan, terlihat lebih baik, apalagi di hadapan perempuan. Sedang aku, bersama kaum hawa yang lainnya, punya perasaan yang jauh lebih dominan.

Aku tuh sebenernya keras kepala. Susah buat menerima sesuatu yang baru. Walaupun itu sebuah kebenaran. Tapi lagi-lagi kamu sudah mengerti itu. Juga mengerti kalau manusia lebih mudah menerima kebaikan daripada kebenaran. Dan kamu banyak memberikan aku kebaikan, sehingga manusia keras kepala ini bisa lebih mudah menerima kebenaran. Juga bisa memahami, kalau sebuah kebenaran akan lebih mudah diterima jika dibungkus dengan banyak kebaikan.

Hari ini, aku kembali menyadari, bahwa titik gelap, adalah tempat terbaik untuk melihat bintang. Setelah cukup lama aku berdiri disini, di samping sepetak tanah yang bernama pusara, beserta namamu yang tercetak pada nisannya.



bersambung...

17

Aku baru mengerti betapa sukarnya ini. Betapa sesaknya rasa bahagia yang diambil dengan tiba-tiba. Aku, belum siap untuk kehilangan kamu. Dan kesalahan terbesarku adalah terlalu mencintai kamu. Harusnya sedari dulu aku memahami kalimat ini dengan baik; Siapa yang berani memiliki, harus siap untuk kehilangan. Tiga tahun berlalu setelah kepergianmu, tapi perasaanku masih direpotkan oleh segala kenangan tentangmu.

"Kalau nanti semua ini berlalu, aku akan temani kamu selalu. Pagi, siang, sore, kapanpun kamu mau."*

ucapmu waktu itu, menghiburku yang masih murung karena harus kamu tinggalkan beberapa lama ke pulau seberang, padahal usia pernikahan kita masih belum genap empat bulan. Dan siapa yang menyangka jika itu adalah perjalanan terakhir kamu. Kecelakaan itu merenggut nyawamu. Sekaligus, menghabisi kebahagiaanku.

Perasaanku lebih sesak jika mengingat harusnya aku yang melakukan perjalanan itu, bukannya kamu. Mereka yang sedang bermasalah adalah keluargaku, bukan keluargamu. Sehari sebelum keberangkatanku, aku jatuh sakit. Dokter melarangku untuk berpergian jauh, dengan ringan kamu bilang biar kamu yang berangkat menggantikan aku. Sementara aku yang sedang sakit, kamu titipkan pada keluargamu yang satu kota.

Aku yang seharusnya pergi dan mungkin aku yang seharusnya mati. Ah, kalau kamu masih ada, pasti kamu akan marah karena aku berfikir demikian. Apa yang pernah kamu bilang dulu? Tak ada yang bisa menghindari kehendak Allah, sejauh apapun kita berlari darinya, itu akan tetap terjadi. Cara terbaik untuk menghadapi kehendakNya adalah dengan berprasangka baik kalau Allah selalu lebih tahu apa yang terbaik buat kita. Kalau Allah sayang sama kita lebih dari apa yang kita butuh, jauh lebih besar dari kita menyayangiNya. Dan apa yang terbaik itu akan terasa sangat buruk, kalau kita tidak menerimanya. Masalahnya, menerima sesuatu yang menyakitkan itu, bukan perkara yang sederhana. Termasuk, menerima kepergianmu.

***

Bersusah payah aku melupakanmu, dan betapa susahnya lupa yang dilakukan secara paksa. Entah bagaimana mengungkapkannya. Kombinasi dari rasa sesal, rasa salah, rasa kehilangan dan juga rindu. Dan ‘lupa’ kalah telak untuk bertarung dengan perasaan itu. Apalagi, kenyataannya, aku tak punya kesempatan untuk memperbaikinya, utuk bertemu denganmu lagi.

Beberapa bulan setelah kepergianmu, orang-orang terdekatku menyarankanku untuk mencari penggantimu. Aku katakan pada mereka bahwa kamu bukanlah barang yang bisa diganti. Beberapa laki-laki juga mulai mendekatiku, membawa harapan masa depan untuk hidup bersama mereka. Dan semuanya aku tolak. Perempuan itu cenderung lebih setia daripada laki-laki. Banyak para isteri yang memilih hidup sendiri setelah ditinggal suami pergi. Sebaliknya, suami yang ditinggal pergi isterinya cenderung lebih bisa untuk mencari penggantinya, lebih mudah berpindah hati. Dan kesetiaan ini, menyengsarakan aku.

Kemarin, dia, teman lamaku, laki-laki kesekian yang mencoba mendekati aku, juga mengalami nasib yang sama seperti yang lainnya. Aku masih tak berminat untuk hidup dengan orang lain. Aku masih memilih untuk setia padamu, walaupun kita sudah ada pada dimensi yang berbeda. Entah sampai kapan, entah bagaimana nanti setelah baru saja, aku membaca sms yang ia kirimkan kepadaku:

Aku terbiasa dengan setiap huruf-huruf yang menyusun sedemikian rapi kata ‘tunggu’, kemudian melanjutkannya menjadi satu frasa pendek kata ‘menunggumu’, dan menjadi kalimat sederhana yang sedemikian tenangnya tereja, yaitu;  ‘aku, masih tetap menunggumu’.**

juga sms keduanya:
Aku percaya jika saatnya tiba, kamu bisa melupakannya. Sampai saat itu tiba, biarlah aku tetap menunggumu.


 bersambung...


-----------------------------------------
*quote by: dee
**quote by: karina pradita

18

Saat kalian telah dipertemukan Allah dengan jodohnya masing-masing, urusan tak lantas menjadi selesai. Kalian harus saling setia untuk berjuang menjadi pasangan akhirat kelak. Tak mudah menjadi pasangan dunia-akhirat. Karena semua harus dijalani dengan kesamaan frekuensi dalam keimanan, kesabaran, ketaatan pada Allah selama di dunia. Jika salah satu saja berbelok, maka bisa jadi dua orang pasangan dunia tak menjadi pasangan akhirat.*

Masih kuingat salah satu bait khutbah di hari bahagia kita, dan betapa kita sudah saling janji untuk melakukannya. Aku ingin setia kepadamu, walaupun kamu sudah tiada. Biarlah nanti kita dipertemukan lagi di akhirat, karena disana aku tak ingin berpasangan dengan siapapun, kecuali kamu. Dan sampai saat itu tiba, biarlah aku yang bersabar.

Beberapa bulan terakhir, ada yang mulai berontak di hati kecilku, terutama setelah ada sosok dia, laki-laki kesekian yang berusaha mendekatiku. Bedanya, dia tak mau menyerah. Berkali-kali aku bilang tidak, tapi dia terus mencoba. Aku cukup nyambung dengannya, kecuali kalau sudah berbicara tentang hubungan yang lebih lanjut. Entahlah siapa yang akan menang, kesetiaan ataukah kesungguhan. Yang jelas, aku belum bisa melupakan kamu, dan aku tak mau mengkhianati kamu.

“Sorry  ya, tapi yang mbak lihat, perempuan yang ada di hadapan mbak sekarang itu bukan perempuan yang setia, tapi perempuan yang sedang menyakiti dirinya sendiri.”aku kaget tersentak, tak terima dibilang seperti itu oleh sepupuku. Sudah lama aku tak bertemu dengannya. Dia bekerja di negeri seberang, sudah lama tak pulang. Seminggu yang lalu pulang ke Indonesia, dan hari ini menyempatkan untuk bertemu denganku. Usia kami cukup jauh terpaut. Suaminya juga sudah meninggal delapan tahun yang lalu, meninggalkan dua anak bersamanya. Dan seperti aku, dia memilih untuk setia. Tidak menikah lagi, mengurus kedua anaknya seorang diri.

“Maksud, Mbak?”

Come on, Dear. Setia itu harusnya pilihan yang membuat orang yang memilihnya bahagia, bisa menikmati hidup yang dijalaninya. Bukan seperti yang sedang kamu alami sekarang. Kamu hanya merasa bersalah dengan almarhum suamimu, dan mencoba menebus kesalahan kamu dengan setia. Padahal, hati kamu sendiri tidak nyaman dengan kondisi itu. Dan sampai kapanpun, setia itu tidak akan menyembuhkanmu. Yang perlu kamu lakukan sekarang adalah memaafkan diri sendiri, bukan setia. Lagipula, kamu salah besar jika mengikat kesetianmu pada seseorang.”

“Selayaknya, kesetiaan hanya kita peruntukan untuk Allah. Jikapun kita sebegitu setianya dengan pasangan kita, itu karena Allah memang menyuruh kita untuk setia padanya, untuk memperlakukan mereka dengan baik juga tidak menyakitinya. Sebagaimana kita juga harus setia pada perintah dan larangan-Nya. Jadi kalaupun kamu memutuskan untuk menikah lagi, bukan berarti kamu tidak setia. Kamu tetap setia kepada Allah, karena menjalankan perintahNya bukan? Lagipula siapa yang bisa memastikan di akhirat itu kamu bisa berpasangan dengan suamimu lagi. Jadi daripada kamu menderita dengan kesetiaan kamu, lebih baik kamu memulai lembaran hidup yang baru. Tidak mudah memang. Kita tidak tahu apakah kamu nanti bisa bahagia dengan pasangan yang baru. Tidak ada yang tahu. Tapi terkadang, hidup mengharuskan kita untuk berani mencoba.”

Dan aku memutuskan untuk berani mencoba. Dengannya, laki-laki yang belum menyerah terhadapku. Ada perasaan tertentu yang tak biasa ketika aku menerima suarat merah jambu darinya. Surat, yang benar-benar akan mengubah kehidupanku.

 ***

Maaf ya, pake surat, ditulis tangan lagi, biar kesannya agak romantis gitu. Moga tulisannya bisa kebaca ya. Hehe. Jadi cerita sebenernya tuh gini. Aku tuh deket sama adik kamu. Tahu sendiri kan, dia juniorku di jurusan dulu. Nah dia cerita kalau pasca musibah meninggalnya suamimu itu, hidup kamu jadi agak-agak suram gitu deh (eh, sorry ya keceplosan, enggak punya tipe-ex lagi, jadi enggak bisa dihapus :D). Terus dia jodohin aku sama kamu, tapi dengan cara yang alami, biar enggak keliatan didesign gitu. Aku sih mau-mau aja, kebetulan aku juga belum punya calon. Dari dulu juga sudah ada perasaan sama kamu. Udah tahu banyak juga versi lengkap kehidupanmu dari adikmu. Eh, kamunya yang enggak mau. Bayangpun, sepuluh kali lebih aku mencoba, sebanyak itu juga aku ditolak. Sama perempuan yang sama lagi. Ya, kamu. Bisa kali ya, aku dapat penghargaan dari MURI, sebagai pria paling sungguh-sungguh mendapatkan perempuan, dengan rekor terbanyak ditolak oleh perempuan yang sama. Sudah janda pula (ups, keceplosan lagi :D).

Haha. Untuk pertama kalinya aku bisa tertawa lepas. Itu salah satu hal yang aku suka dari dia. Untuk beberapa hal, harus aku akui kalau dia jauh lebih ‘asik’ daripada kamu.

Aku kira semua perempuan itu sama, kayak kemerdekaan, butuh diperjuangkan. Tinggal usaha sungguh-sungguh, terus sabar, dikasih perhatian juga pengertian, lama-lama juga luluh. Ternyata kamu itu beda. Enggak bisa pake cara begituan. Enggak tahu deh harus pake cara apa. Dirayu enggak mempan, dikasih perhatian dicuekin. Hargain dikit kenapa. Aku tuh muter-muter seharian di gramedia tahu, buat nyari kata-kata mutiara nan bijaksana yang terakhir kali aku kirim lewat sms itu. Astaga, apa balesan kamu tuh? Besok-besok enggak usah sms kayak beginian lagi ya, aku enggak suka!!! (hiks.. hiks.. *tisu mana tisu*). Ya udah deh, gpp. Mungkin kamu bukan jodohku. Cukup dulu ya kata pengantar, basa-basi, sekaligus curhatnya. Mohon dimaklumi ya, karena perasaanku sekarang itu kayak rasa bubur ayam dicampur es cendol: aneh.

Aku masih mengulum senyum. Teringat betapa gigih perjuangannya. Dia benar adanya, semua perempuan ingin diperjuangkan. Yang belum ia tahu, sekali hati perempuan tertutup, rapatnya bagai tak akan terbuka lagi. Susah. Tapi kesungguhannya, perlahan bisa membuka hatiku.

Sekarang aku mau masuk ke bagian inti dari surat ini. Surat ini aku tujukan kepadamu sebagai permohonan maafku karena selama ini suka mengganggu dan merepotkan kamu, sekaligus kabar bahagia untukmu, karena besok-besok aku tak akan menggangumu lagi (*ttsah*). Catet ya, bukannya aku nyerah. Enggak ada kata nyerah dalam kamus hidupku. Tapi aku baru sadar, tentunya setelah dapat hidayah dari Tuhan Yang Maha Esa, kalau ternyata kebahagiaan itu emang bisa dicari, tapi enggak bisa dipaksa. Awalnya aku mau dijodohin sama kamu karena selain aku suka, aku juga bisa nolongin hidup kamu. Melepaskan kamu dari masa lalu. Bisa buat kamu bahagia. Kalau kata guru ngajiku waktu SD, bikin bahagia orang ituh dapet pahala gede, bakalan masuk syurga. Nah, semakin kesini aku semakin sadar kalau bukan rasa bahagia yang kamu dapat. Tapi.... ILL-FEEL... (sengaja pake huruf gede semua biar lebih dramatis). Jadi daripada kita nanti saling menyakiti, tepatnya aku yang menyakiti kamu, lebih baik kita bahagia dengan jalan kita masing-masing. Masih banyak kali perempuan lain yang mau hidup bahagia sama aku. Semoga kamu juga bahagia dengan pilihan kamu untuk hidup sendiri.

Sebagai penutup surat ini, kalau kamu berubah pikiran, ingatlah nasihat bijaksana dari nenekku untuk perempuan di seluruh dunia: Kalo cari suami, jangan liat gantengnya, karena pada prinsipnya ganteng itu bukan prestasi. Tidak layak dibanggakan karena bukan hasil perjuangan. Hanya belas kasihan Tuhan semata. Tapi lihatlah dia bisa diandalkan atau tidak, bertanggungjawab apa tidak, dan akan sangat lebih baik jika dia itu humoris, agar tidak bosan menghabiskan sisa hidup bersamanya.** Ya, mirip-mirip aku gini lah ya. (tetep usaha :D). Sekian dan terimakasih (sambil ngelap air mata).

***

Haha. Untuk kesekeian kalinya aku bisa tertawa lepas membaca suratnya. Kamu benar, Allah lebih tahu mana yang terbaik buat kita. Dan kita akan merasakan kalau itu yang terbaik buat kita, kalau berprasangka baik dengan apa yang menimpa kita. Barangkali dia, laki-laki lucu yang dikirimkan Allah buatku, untuk menyembuhkan kesedihanku setelah kamu tinggal pergi. Apa yang pernah kamu bilang dulu? Allah, tidak akan mengambil sesuatu, kecuali dengan menggantinya dengan sesuatu yang lain, yang lebih dari sekedar baik.

Aku ingin segera membalas surat itu. Ah tidak, lebih baik langsung bertemu saja dengannya. Bilang kalau aku sudah bisa membuka hati, sudah siap untuk membuka lembar hidup baru, bersamanya. Sesorang yang baru aku tahu ketulusunnya. Seseorang yang baru aku sadari sengaja dikirimkan Allah untuk menggantikanmu. Seseorang yang dengan kejujuran dan ke-apa-adaan-nya mengajariku untuk bahagia. Seorang yang bisa membuatku tertawa dan menangis bergantian, bahkan bersamaan. Akupun tak sabar untuk segera membuka lembar kedua suratnya itu, semacam lampiran kecil.

NB:
Anyway, bulan depan tuh aku ada acara keluarga. Aku pengen banget kamu dateng. Kenalan sama keluarga besarku. Just silaturrahim kok. Enggak ada niatan macem-macem. Eh enggak deh, sekalian temenin aku lamaran ya. And you suggest what? Surprise!!! Calonku itu adik kamu. Pasti dia belum cerita. Kita pengen buat kejutan soalnya. Pokoknya kamu harus dateng ya, calon kakak-iparku. Siapa tahu  ketularan bahagia. :D
  

bersambung...


----------------------------------------
*quote by: Melly Raharjo – dengan penyesuaian
**quote by: Nayasa – dengan penyesuaian

19

Ruang itu bernama hati, yang selama ini tertutup setelah kepergianmu, lantas ada seseorang yang perlahan membukanya kembali. Dia mengetuknya dengan penuh kesabaran dan kesungguhan. Sayangnya, ketika hati itu mulai terbuka, kesempatan yang tidak berpihak. Dia, laki-laki itu, memutuskan untuk berpindah ke hati yang lain, tanpa tahu kalau hatiku sudah terbuka untuknya. Dan yang lebih menyakitkan, pemilik hati yang lain itu adalah adikku sendiri.

Sempat terpikirkan olehku untuk mengatakan yang sebenarnya pada adikku. Adik yang juga begitu menyayangi aku, yang membantuku untuk keluar dari masa lalu dengan menjodohkanku dengannya, laki-laki yang berkali-kali aku tolak itu. Tanganku juga hampir tergoda untuk membalas suratnya, dengan mengatakan pada lelaki itu kalau hatiku sudah terbuka dan mau menerimanya, mau melanjutkan hidup bersamanya.

Tapi aku sadar, hati itu bukan mainan yang bisa dipermainkan dengan seenaknya. Lagi-lagi kamu menyelamatkan aku dari pikiran bodoh itu. Jasadmu memang tak lagi menyerta, ada pada dimensi lain yang aku sendiri tak begitu mengerti bentuknya seperti apa. Tapi pemahaman yang kamu tanamkan, masih melekat erat di sini, di hati ini.

“Sesulit apapun itu, menyembuhkan luka di hati sendiri, jauh lebih mudah daripada menyembuhkan luka di hati orang lain. Apalagi jika kitalah yang menyebabkan luka itu. Jadi daripada mereka yang tersakiti karena perlakuan kita,  biarlah kita yang mengalah untuk mencoba memahami mereka, walaupun mungkin itu akan sedikit menyakiti kita. Tapi setidaknya, kita punya kuasa atas hati kita sendiri. Kita bisa menata hati kita, menyembuhkannya perlahan-lahan, sampai di titik tertentu, hati kita tidak sakit lagi oleh luka yang sama. Sampai hati kita lebih kuat dan lebih tulus lagi dalam menyikapi hidup. Dan semua itu tak bisa kita lakukan pada hatinya orang lain.”

Bisikmu waktu itu, sambil mendekapku lembut dari belakang, menenangkanku yang sedang emosi karena kesal dengan sikap orangtuaku yang terlalu mencampuri urusan rumahtangga kita. Dan kata-katamu memang benar, perlahan aku bisa menyesuaikan harapan orangtua terhadap keluarga kecil kita, memahami keinginan mereka walaupun di awal-awal harus mengorbankan perasaan. Dan betapa terkejutnya aku ketika perlahan-lahan mereka juga mulai mengerti kondisi kita, tidak menuntut malah berbalik mendukung kita. Barangkali, Allah sedang mengajari kita kalau kebaikan sekecil apapun itu, akan kembali kepada yang melakukannya. Bahwa untuk bisa dipahami orang lain, kita harus memahami orang lain terlebih dahulu. Bahwa hati kita perlu berlatih untuk menjadi lebih kuat, lebih bersih dan lebih lurus. Itu memang bukan proses yang mudah, tapi akan selalu indah.

Dan itu juga yang aku lakukan kepada adikku, juga kepada laki-laki itu. Biarlah hatiku yang merasakan sakit, biarlah aku yang menyembuhkan lukaku sendiri. Biarlah mereka yang berbahagia. Mungkin memang jalannya harus seperti itu, mungkin Allah sedang mempersiapkan skenario lain yang lebih baik untukku. Aku tak begitu tahu pilihanku ini baik atau tidak. Aku juga tidak tahu apakah pilihan mereka benar apa tidak. Tapi aku percaya, kalau pilihan Allah Yang Maha Tahu, selalu yang terbaik. Seperti dulu Dia memilihkan kamu untukku. Jadi kalau Allah tidak memilihkan laki-laki itu untukku, berarti dia bukan yang terbaik untukku bukan? Tapi aku tetap berterimakasih padanya karena telah bersusah payah membuka hatiku, walaupun akhirnya bukan dia yang memasukinya. Entah siapa yang akan memasukinya nanti, setidaknya hati ini sudah terbuka, sudah siap untuk membuka lembaran hidup baru, walaupun bukan bersamanya. Ah, sudahlah. Minggu depan laki-laki itu akan datang beserta keluarganya untuk melamar adikku. Aduh, kok nangisku susah berhenti gini sih.

***

Aku memang bisa menyembunyikan perasaanku dari adikku, tapi tidak dari sepupuku. Sepupuku mencium gelagat aneh dari perilakuku. Akupun menceritakan semuanya. Dan betapa ia bangga dan sangat menghargai apa yang aku lakukan. Tanpa sepengetahuan kami, adikku ternyata mendengar pembicaraan kami. Dan tambah runyamlahlah semua urusan ini. Adikku ngotot untuk membatalkan rencana lamarannya, meminta biar aku saja yang dilamar oleh laki-laki itu. Aku bilang padanya, kalau kami tidak boleh mempermainkan hatinya, dan aku juga tak ingin hidup bersama seseorang hanya karena belas kasihan. Biarkan semuanya berjalan sesuai dengan rencana sebelumnya. Tak perlu mengkhawatirkan aku. Kami saling ngotot, aku bahkan sempat meneriakinya, antara sakit dan kesal betapa keras kepalanya adikku itu. Dan akhirnya kami saling menangis dalam pelukan.

“Biarkan laki-laki itu yang memilih.” Kata sepepuku menengahi kami, dan kami saling sepakat dengan sarannya. Mungkin itulah jalan yang terbaik bagi kami. Dan siapaapun diantara kami yang dipilih, harus saling ikhlas dan menerima.

Hari ini, aku ingin berbicara dengan adikku, dicari di kamarnya tapi sepertinya adikku itu sedang ke luar rumah. Mataku melihat secarik kertas yang tergeletak di tempat tidur, kertas yang sama yang aku terima beberapa waktu yang lalu, juga dengan tulisan tangan yang sama. Tentu saja isinya berbeda. Sepertinya itu surat dari laki-laki itu.

***

Sebelumnya, tanpa mengurangi rasa hormat dan dengan penuh kerendahan hati, ehm, sebenernya sih aku sudah biasa berada dalam kondisi sesulit ini; diperebutkan oleh kaum hawa (minta ditimpukin :D). Dan yang harus kamu ketahui, ganteng-ganteng begini aku juga termasuk dalam deretan laki-laki yang punya prinsip (uhuk-uhuk, kaca mana kaca?). Aku tuh seneng sama kalian berdua, jadi kalau disuruh milih diantara kalian, aku sih pengen milih keduanya. Tapi enggak boleh ya? Karena harus salah satu, ya udah deh, aku pilih kamu aja. Semoga saudarimu itu bisa menerima ya, dan tidak ada yang tersakiti diantara kita (bentar deh, enam kata terakhir kayaknya oke juga tuh buat judul sinetron :D).

Aku cuma tersenyum baca paragraf pertama, agak sedih sih, ini senyumnya sambil ngeluarin air mata. Sedih-sedih gimana gitu, tapi di satu sisi ikut lega dan berbahagia juga untuk adikku. Akhirnya dia memilih adikku. Dan dia selalu bisa menyederhanakan dan membuat masalah menjadi ringan. Easy going. Di situasi yang serumit ini bisa-bisanya bikin orang menangis sambil tertawa.

Sebenernya aku tuh sempet bingung, siapa diantara kalian yang harus aku pilih. Untungnya, nenekku, yang merangkap sebagai penasehat asmaraku memberikan pencerahan yang gilang-gemilang mengenai hal ini. Berdasarkan pengalamannya yang sudah berpuluh-puluh tahun mengarungi bahtera rumah tangga, dia bilang; jodoh itu bukan mengenai siapa atau bagaimana pasangan kita kelak. Tapi tentang bagaimana kitanya. Artinya, siapapun nanti yang akan menjadi pasangan kita, tergantung bagaimana kita memperlakukannya, bagaimana kita menjalaninya. Atau kalau dalam bahasa yang lebih canggih lagi, waktu kuliah aku pernah diajarin tentang teori input-proses-output. Input dan proses sama-sama mempengaruhi output. Tapi jika ditanya mana yang lebih penting, ternyata prosesnya bukan inputnya (demikian kuliah kita hari ini, sampai ketemu di pertemuan selanjutnya :D).

Intinya sih aku enggak meragukan kalian berdua sebagai input, dua-duanya oke kok, tinggal prosesnya aja nanti kita jalani sebaik mungkin. Artinya, siapapun nanti yang akan aku pilih diantara kalian, sebenernya sih enggak terlalu bermasalah, orang- inputnya sudah sama-sama bagus kok. Aku lega banget dong denger penjelasan nenekku itu. Akhirnya aku balik lagi ke hati aku, dan inget kata-kata bijaksana ini: Hati tak perlu memilih, hati selalu tahu apa yang harus dirasa. Dan setelah berfikir lagi, meraba perasaan yang ada di hati, ditambah minta petunjuk dari Allah Subhanallahu Wataala, ternyata perasaanku itu lebih cenderung ke kamu. Aih, jadi gombal begini. Maaf, enggak sengaja. (Jadi kamu udah tahu kan, kenapa lelaki ‘sekeren’ aku baru laku belakangan ini? Tepat. Karena penasehatnya sudah nenek-nenek. Ah, maafkan cucu kesayanganmu ini, Nek!)

Haha. Ah, dia benar adanya. Sederhana sekali penjelasannya, sementara untuk memahami hal itu, aku membutuhkan waktu bertahun-tahun. Harus kehilangan kamu, terkungkung oleh kenangan masa lalu, tersiksa oleh perasaan bersalah. Dia benar, pasanganku tidak harus kamu, tidak harus dia juga, karena sebenernya semuanya tergantung bagaimana aku menjalaninya. Hatiku jadi lebih lega, sudah lebih bisa melepaskan dia, juga kamu yang sudah tenang di alam sana.  Biarlah nanti doaku yang bertindak, sebagai cara terbaik untuk menyampaikan pesan yang tak bisa tersampaikan. Untuk kalian.

Nah, kita lebih serius dikit ya. Sebenernya ada lagi yang ingin aku sampaikan sebelum lusa aku dan keluargaku datang ke rumah untuk melamar kamu. Ini prinsip penting buat aku, kalau nanti kita berkeluarga. Tolong diperhatikan baik-baik ya. Karena manusia itu enggak ada yang sempurna aku sungguh menerima kamu apa adanya. Aku harap kamupun demikian.* Terus pernikahan itu adalah saatnya untuk berhenti membanding-bandingkan. ** Jadi aku harap, kalau kita sudah menikah nanti, jangan banding-bandingkan aku dengan orang lain, jangan juga membanding-bandingkan kondisi keluarga kita dengan kondisi yang lainnya. Akupun akan berusaha untuk demikian. Kita fokus saja pada kebahagiaan kita, pada apa yang bisa kita lakukan, pada apa yang sudah kita terima. Karena setiap orang sudah ada rezekinya masing-masing, sudah ada jatahnya masing-masing.

Jangan terlalu maksa juga untuk menuntut perubahan dari diri kita masing-masing. Karena cinta itu, tidak seharusnya dimulai dari keinginan untuk mengubah seseorang demi mencapai kebahagiaan, tetapi keinginan untuk tetap bahagia walau dia nggak bisa berubah. Cinta juga tidak harus mengorbankan diri menjadi pihak yang lebih rendah. Cinta tidak harus selalu menang atau selalu mengalah. Cinta berarti kompromi. Cinta berarti meleburkan dua hati tanpa mematikan jati diri masing-masing.*** Kalau disimpulkan, aku sih pengennya dapat pasangan yang mempermudah urusan dunia dan akhiratku kelak.**** Itu aja. Tumben ya aku bisa bijak. Bentar deh, liat referensi dulu, ada yang kelupaan enggak ya kutipan tadi (sambil lihat buku :D).   

Betapa aku harus banyak belajar dari laki-laki ini. Seolah-olah dia meluruskan kesalahan yang aku lakukan. Memberiku banyak bekal dan pemahaman baru untuk membuka lembaran hidup yang juga baru. Dan betapa beruntung adikku mendapatkan pasangan seperti dirinya. Sedangkan aku? Juga tak sabar untuk membuka lembaran hidup yang baru, walaupun belum tahu bersama siapa. Tak ada yang bisa mengulang kembali kehidupan, tapi semua orang dapat memulainya sekarang dan membuat akhir yang baru. Akhir yang lebih indah, tak peduli bersama siapapun kita menjalaninya.

Terakhir, sebenernya aku tuh orangnya pemalu (bohong banget ya), tapi untuk menguatkan sebelum lamaran lusa, aku pengen banget bilang ini; I don't want say anything, but I love you.***** (ngumpet di kolong jembatan). Salam ya buat adik kamu. Pasti dia bakalan dapet pasangan yang lebih keren daripada aku.

Hah? Aku baru mengerti apa maksud kalimat terakhirnya, setelah melihat amplop yang ada di meja kamar adikku. Namaku yang tertera di sana, bukan nama adikku. Surat itu ternyata untukku, dititipkan melalui adikku.


-selesai-



-----------------------------------

 * quote by: Tia Setiawati Priatna, dengan penyesuaian
** quote by: Amien Rais
*** quote by: Rina Surya Kusuma, dengan penyesuaian
**** diambil dari penggalan doa nabi Yusuf: Ya Allah, berikanlah aku pasangan yang mempermudah urusan dunia dan akhiratku.
***** quote by: Melly Goeslaw


20

warning: cerita fiksi kali ini khusus dewasa, 20 tahun ke atas, yang belum cukup umur sebaiknya jangan baca ya :D.

____________________________


Hubungan kita merambat layaknya mollusca*. Tenang, namun teramat lambat.  Salah seorang sahabatku pernah mengatakan bahwa sesungguhnya, Tuhan telah menurunkan tiga jenis orang untuk menemani kita dalam menjalani hidup. Pertama, orang yang kita temui hanya untuk sesaat. Kedua, orang yang kita temui karena suatu sebab. Ketiga, orang yang kita temui untuk sepanjang hayat.** Aku pikir bagiku, kamu masuk dalam katagori ketiga. Tapi sekarang, hatiku mulai ragu.

Aku bukan remaja lagi yang bisa kamu buat berbunga-bunga dengan kata cinta.  Aku butuh kepastian untuk dimiliki dan diakui. Bukan hanya sekedar dicintai, tanpa status yang tidak pasti. Kamu minta aku menunggu. Sudah hampir dua tahun aku menunggu kepastianmu. Kamu bilang kamu belum siap, tunggulah sampai kondisimu di titik mapan. Sudah Kutegaskan kepadamu, aku lebih suka berjuang bersamamu menuju titik itu, daripada menunggumu sampai padanya. Dan terakhir kamu bilang, ada masalah yang harus kamu selesaikan di keluargamu.  

***

Dulu, keluargaku sempat menjodohkanku dengan laki-laki yang sudah mapan dan siap menikahi aku. Aku menolaknya mentah-mentah karena kamu. Padahal proposal hidup berumahtangga yag ditawarkannya sudah sangat jelas.

“Pernikahan bukan hanya menggabungkan dua pribadi yang berbeda. Tapi juga dua keluarga, kondisi dan latarbelakang yang berbeda. Jadi aku berharap, kita bisa saling menerima kondisi masing-masing. Tidak melupakan keluarga besar masing-masing walaupun kita sudah punya keluarga sendiri. Aku akan berusaha juga untuk menyayangi keluargamu, sebagaimana aku menyayangi keluargaku sendiri atau sebagaimana kamu menyayangi mereka. Semoga kamu juga bisa demikian.”

“Kalau nanti kita menikah, jangan lupa tanggungjawab utamamu sebagai isteri adalah menjadi ibu yang baik buat anak-anak kita kelak, memastikaan mereka mendapatkan kasih sayang yang cukup, memastikan mereka dapat pendidikan yang baik, akhlak yang mulia, pemahaman yang lurus juga pengetahuan agama yang bagus. Tentu saja dalam pelaksanaannya kita akan banyak bekerjasama. Anak itu investasi dunia-akhirat kita, yang akan mendoakan kita ketika kita masih ada atau sudah tiada. Jadi harus benar-benar diutamakan.”

“Tapi bukan berarti kamu tidak boleh kerja. Boleh, silahkan saja. Tapi jangan jadikan motivasi utamanya adalah gaji atau pertimbangan finansial lainnya. Karena itu adalah tanggungjawab utamaku. Mungkin aku belum bisa memberikan kehidupan yang mewah, tapi semoga tidak jauh berbeda dengan standar hidup kamu ketika masih hidup bersama orangtua. Syukur-syukur bisa lebih baik. Kalaupun harus bekerja, jadikan itu sebagai tempat aktualisasi untuk mengembangkan diri, agar kamu bisa menikmati dan tak terbebani. Atau hitung-hitung hiburan agar tidak bosan mengurusi keluarga saja. Dan yang terpenting, tidak melalaikan hak dan kewajiban rumah tangga.”

Itu sekelumit potongan proposal yang dia sampaikan kepadaku melalui orangtuaku, bab keluarga dan pekerjaan. Masih banyak bab-bab lainnya yang intinya tentang gambaran kehidupan yang akan kami jalani jika aku bersedia menjadi isterinya. Ada bab kehidupan sosial kemasyarakatan tentang hubungan bertetangga, tentang nanti setiap bulan keluarga kecil kami harus menyempatkan buat program sosial walaupun sesederhana makan bersama peminta-minta, dan seterusnya dan selanjutnya.

Orangtuaku sangat berharap agar aku menikah saja dengannya. Sayangnya, perasaan itu tak bisa dipaksa. Dan hatiku memilih kamu. Untungnya orangtuaku memaklumi keputusanku, walaupun agak sedikit kecewa. Sekarang, aku hanya bisa gigit jari melihat laki-laki itu berbahagia dengan pasangannya yang juga sahabatku sendiri, beserta babymereka yang lucunya sungguh amat keterlaluan. Kebahagiaan yang cukup sempurna. Sedangkan nasib kebahagiaanku?  Masih menggantung di langit-langit.

***

Aku bosan dengan semua ini, sudah lelah menjawab pertanyaan yang sungguh tak berperasaan dari sahabat juga kerabat; kapan undangannya? Jangan lama-lama. Ditunggu ya. Jangan lupa. Kalau bisa aku ingin memilih mnghilang ditelan bumi untuk sesaat daripada menjawab pertanyaan sejenis ini. Ketidakpastian yang membuat serba salah. Sayangnya, aku tak berdaya untuk menghilang ataupun menjawabnya. Dan yang bisa kuberikan hanyalah senyuman yang dipaksakan.

“Menikah itu bukan balap mobil atau balap karung. Jadi bukan tentang siapa yang lebih cepat daripada siapa atau siapa yang mendahului siapa. Tapi tentang suatu fase hidup, yang setiap orang punya kebijaksanaan dan kondisi masing-masing untuk memasukinya. Kalau sudah siap dan kondisinya memungkinkan baiknya memang disegerakan. Kondisi kita berbeda dengan kondisi mereka. Seperti yang kamu tahu, ada masalah yang harus aku selesaikan dengan keluargaku. Aku mohon kamu mau bersabar sedikit lagi. Nanti kalau saatnya sudah tiba, aku dan keluargaku akan datang ke rumahmu. Sampai saat itu tiba, biarlah kita tetap saling percaya.”

Katamu menghiburku waktu itu, setelah aku menanyakan untuk kesekian kalinya tentang kepastian hubungan kita, sekaligus mengeluhkan kalau aku sudah bosan menjawab pertanyaan teman-teman bahkan juniorku yang lebih dulu berkeluarga. Akupun mencoba untuk memahami, memaksa diriku bersabar sebentar lagi. Semoga Tuhan berbaik hati untuk memudahkan dan melancarkan semua urusan.

Dan akhirnya, Tuhan berbaik hati. Hari ini, seminggu setelah pembicaraan terakhir kita, setelah sekian lama aku menunggu, kamu akan memberikan keputusanmu. Kepastian untukku. Betapa lega dan bahagia aku mendengarnya. Betapa aku tak sabar menunggu kabar darimu. Betapa aku ingin segera menjawab pertanyaan yang tak berperasaan itu. Tentang hari, tempat dan waktu pernikahan kita. Sayangnya, keputusanmu adalah menyudahi hubungan diantara kita.




... bersambung ...


___________________________

*mollusca: kelompok hewan bertubuh lunak, dalam tulisan ini especially merujuk pada siput
**quote by: Lula Kamal

21

Betapa teganya kamu siksa aku dengan penantian, dan tanpa perasaan kamu menyudahinya dengan perpisahan. Hatiku bukan benda yang bisa kamu permainkan dengan seenaknya. Waktuku juga bukan sampah yang bisa kamu sia-siakan dengan sembarangan. Aku ini perempuan. Dan tak ada yang lebih  meresahkan bagi hati perempuan selain menunggu kepastian. Salahnya, aku terlalu berharap akan kepastianmu. Lupa bahwa kepastian tidak selalu melegakan. Terkadang kepastian malah menyesakkan. Aku coba baca kembali email singkat penjelasanmu. Dan aku masih tetap belum bisa menerimanya.

***

Awalnya, Aku pikir aku bisa mengkondisikan ibuku. Makanya, aku mengulur waktu untuk mencari celah mengkondisikan beliau agar bisa menerima kamu, agar ridho tentang keputusanku untuk memilih kamu. Tapi ternyata ibuku tetap berkeras untuk menjodohkanku dengan anak sahabatnya. Aku ingin hidup berbahagia bersama kamu. Tapi aku juga tak mau kebahagiaan kita menyusahkan orang lain, apalagi orang itu adalah ibuku sendiri. Tak mungkin kita kawin lari, bukan? Tak mungkin kita menikah tanpa restu orangtua. Tanggungjawab dan kondisi kita berbeda. Setelah menikah nanti, surga seorang suami masih ada di telapak kaki ibunya. Berbeda dengan seorang isteri yang sudah pindah ke telapak tangan suaminya.

Aku tak bermaksud untuk menyakiti kamu. Aku harap kamu mengerti. Aku tak punya pilihan. Dan menyakiti keluarga adalah bukan pilihan untukku. Aku harap kamu bisa merelakan aku, sebagaimana aku yang juga sedang bersusah payah untuk melepaskanmu. Maaf sudah membuatmu menunggu. Maaf sudah banyak menyakiti.

***

Kamu membuat hatiku begitu sakit. Sayangnya, kata maafmu tak bisa menyembuhkannya. Maaf bukan hanya sekedar kata penghibur lara. Maaf berarti konsekuensi untuk memperbaiki. Dan kamu tak melakukan apa-apa untuk memperbaikinya, malah menikah dengan perempuan pilihan ibumu itu. Sementara aku, masih terjebak dalam rasa sakit yang menyesakkan. Berbulan-bulan.

***

Perlahan, aku mulai bangkit walaupun merangkak. Mulai menyadari bahwa hidup adalah pertanggungjawaban. Dan kita bertanggung jawab atas kehidupan kita sendiri. Jadi percuma menyalahakan siapa-siapa. Termasuk menyalahkan kamu. Sahabatku banyak membantu untuk menyembuhkan luka itu. Sahabat yang paling mengerti aku, sahabat yang selalu bisa membuatku tertawa sekaligus iri dengan kesederhanaan dan ke-apa-adaan-nya.  


***

"Halo, Sorry ya, gangguin lagi, telepon malem-malem. Kamu lagi ngapain?"
"Gpp kok. Nyantai aja. Aku lagi lucu-lucunya nih."
"Haha, dasar ya, dari dulu sampe sekarang udah jadi emak-emak gilanya enggak ilang-ilang."
“Iya nih, udah bawaan, gimana dong? Tapi gpp juga sih, tiap orang kan punya keunyuaannya masing-masing, aku hanya mensyukuri diriku yang begini adanya. Tssaah.”
“Jiaaah, nambah gilaa nih anak. Haha.”
“Gpp deh dibilang gilaa, aku mah ikhlas, yang penting bahagia. Daripada normal tapi sedih melulu.”
“Nyindir terus...”
“Enggak kok, cuma jujur aja. Aku kan orangnya emang apa adanya. Haha..”
“Tapi kamu ada benernya sih, aku kok sedih melulu ya. Susah banget buat ngelupain dia. Susah banget buat move-on. Any advice?”
“Waw, demi apa coba, ada orang waras minta nasihat ke orang gilaa. Haha.”
“Serius nih aku...”

“Iya deh, iya. Aku serius nih ya. Kalau yang aku tahu nih ya, move-on itu bukan tentang melupakan, tapi tentang merelakan. Jadi kamu enggak usah capek-capek buat lupain dia. Lupa tak bisa dipaksa. Bahkan kamu tak bisa menyuruh diri kamu sendiri untuk melupakannya. Lupa itu otomatis. Kalau saatnya sudah tiba, perlahan waktu akan membantumu untuk melupakannya. Tapi sebelum saat itu tiba, lebih baik kondisikan hati kamu untuk merelakannya. Dengan begitu hidup kamu bisa lebih tenang, walaupun kamu masih belum bisa melupakannya. Dan kalaupun kamu mengingatnya, kenangan yang akan kamu jumpai adalah hikmah yang bertaburan, bukan rasa yang menyesakkan. Lagian,  yang namanya rezeki, kemuliaan, apalagi jodoh itu enggak akan pernah tertukar. Jadi tenang saja, stay cool, enggak usah terlalu khawatir lah.”

"Kalau ngomong doang sih enak ya. Tapi enggak gampang tahu, nyari yang cocok, kayak aku sama dia."

"Hahah. Oh, Dear, kalau kamu menganggap kamu itu cocok banget sama dia, terus kecocokan itu akan membawa kalian menjadi keluarga yang bahagia, Hmmm... Kamu boleh lebih pinter daripada aku, kamu juga boleh lebih manis daripada aku. But, sorry, buat kali ini, you are totally wrong.”

“Maksud kamu?”

“Di kolong langit ini, enggak ada sepasang manusia, entah itu partner kerja, apalagi partner hidup, yang benar-benar cocok. Karena setiap orang punya karakter, kebiasaan, kelemahan, kekurangan, kelebihan, kesukaan juga ketidaksukaannya masing-masing. Dan yang bikin rumit, semua itu bisa berubah. Karena manusia sudah diciptakan unik adanya, tentu saja perbedaan antara sepasang manusia selalu lebih banyak daripada persamaannya. Jadi kalau kamu sudah merasa cocok dengannya, masih banyak ketidakcocokan yang belum kamu tahu, yang belum kalian hadapi. Kalau selama ini kamu merasa cocok dengannya, bukan berarti selamanya kamu akan cocok dengannya. Bisa jadi dianya berubah, atau diri kamunya yang berubah. Kita enggak pernah tahu. Atau barangkali, kecocokan itu hanyalah perasaan sesaat, karena selama ini kalian sama–sama memakai topeng untuk terlihat baik di mata yang lainnya, dan menyembunyikan banyak hal dibalik topeng itu. Who knows? Intinya, bukan tentang kecocokan. Karena sekali lagi, semuanya bisa berubah.”

“So, what?”

“Kemampuan untuk bisa saling mengerti, memahami juga menerima. Kalau kamu sudah bisa memiliki itu, siapapun yang kelak akan menjadi pasangan hidupmu, selama dia juga memiliki hal yang sama, kalian akan selalu merasa cocok. Seberapa banyakpun perubahan dan perbedaan yang akan kalian hadapi.”

“Kayaknya, aku masih belum bisa buat nerima orang lain. Masih sakit hati, tahu enggak sih?"
"Namanya juga luka, ya sakit. Kalau aku, baru manis. Hahaa..."
"Idih...."

“Penerimaan itu sifatnya alami. Enggak bisa dipaksa. Emang butuh proses sih. Kalau hati kamu hanya baru bisa menerima dia, tapi belum bisa menerima yang lainnya, artinya kamu masih belum bisa menerima kehidupan. Seburuk apapun kejadian yang menimpa kita, Allah selalu punya maksud, dan itu pasti baik. Pikiran kitanya saja yang suka berburuk sangka. Perasaan kitanya saja yang suka lebay. Padahal yang harus kita lakukan hanyalah percaya, kalau Allah selalu memberikan yang terbaik buat kita, lalu menerima Ketetapan-Nya dengan sepenuh hati. Kalau mau sederhana, sebenernya hidup kita itu hanyalah perpindahan dari satu takdir ke takdir yang lainnya. Kalau kamu belum ditakdirkan hidup bersamanya. Sudah pasti dia bukan yang terbaik buat kamu. Tidak semua takdir bisa diubah, dan ada takdir yang hanya harus kita hadapi dengan sebuah penerimaan. Tssaah. Haha.”

“Haha. Masih belum bisa terima kenyataan ih.”
“Kalau kamu sudah ditinggal nikah sama dia?”
“Bukan. Kalau kamu ternyata sebijak itu. Haha.”
“Kurangajar. Tapi kenyataan itu terkadang emang pahit adanya kok. Terima aja. Haha.”

“Btw, kamu kesambet malaikat darimana sih? Tumben omongannya banyak benernya. Haha.”
“Sialan. Jadi selama ini omongan aku menyesatkan gitu ya? Tega kamuh ya, menuduhku sekeji itu. Padahal sudah bertahun-tahun kita saling kenal. Haha..”
“Ya, kumat deh gilaanya nih anak. But, thanks anyway ya, buat hiburannya. Udahan dulu ya, takut ketularan gila nih kelamaan teleponan sama kamu.”
“Hahaha, never mind, Dear. Goodluck buat move-on nya.

***  


Satu tahun kemudian...

Bersusah payah aku sampai di titik ini. Titik dimana, aku merasakan kebahagian yang jauh berkali-kali lipat dibandingkan kebersamaan kita dulu. Di rumah mungil ini, bersama laki-laki lain yang sebentar lagi menjadi ayah dari anak nakal yang sedang menendang-nendang perutku dari dalam. Ternyata benar, Allah akan selalu mengganti apa atau siapa yang diambilNya dari kehidupan kita, dengan sesuatu yang jauh dari sekedar baik. Syaratnya, kita merelakan apa yang diambilnya itu dengan sepenuh hati. Sebagaimana dulu aku merelakanmu.


[selesai]


 #diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar