Aku
enggak suka sama orang-orang yang enggak bisa menghargai orang lain. Enggak
suka. Buatku, orang yang enggak bisa menghargai orang lain tidak pantas untuk
dihargai. Seperti kejadian tadi siang, waktu jalan bareng sama bunda aku,
ketemu sama temen yang menurutku egois, nyebelin banget dan enggak menghargai
orang lain. Aku berusaha menghindarinya. Males aja. Sialnya, dia melihat aku
dan bunda lalu menghampiri menyapak kami. Aku jawab pertaanyaannya sekenanya,
aku balas senyumnya dengan senyum terpaksa. Dan bunda menangkap keanehanku itu.
Dan sesampainya di rumah, diceramahilah aku.
***
“Kok tadi gitu sih, sama temennya, Nak?”
“Gitu kenapa emangnya Bunda?”
“Ya gitu, Putri cuek banget. Dingin. Enggak kayak biasanya.
Kurang sopan aja ngeliatnya.”
“Habisnya, Putri enggak suka sama dia, Bun. Sikapnya
nyebelin banget, enggak bisa menghargai orang lain. Mau enaknya sendiri. Mau
menang sendiri.”
“Oh gitu..”
“Iya Bunda, begitu. Makanya males aja kalo ketemu dia.
Jadi keinget yang buruk-buruk. Eh, Putri salah ya Bun?”
Bunda cuma tersenyum, lalu melanjutkan:
“Nak, kita boleh banget buat enggak suka sama seseorang, atau
enggak suka dengan apa yg dilakukan orang lain. Lagipula suka enggak suka itu
enggak bisa dipaksakan. Tapi setidaknya, hargailah mereka. Setidaksuka apapun
kita kepada mereka.”
“Tapi susah tahu enggak sih Bun, menghargai sesuatu
atau yang kita enggak suka. Masa kita harus membohongi diri sendiri sih?”
“Tak ada yang harus dibohongi, Sayang. Tidak orang lain, tidak
juga diri sendiri. Karena pada hakikatnya ketika kita menghargai orang lain,
kita sedang menghargai diri sendiri, menghargai hidup dan kehidupan, juga
menghargai kemanusiaan. Ketika kita menghargai orang lain, kita sedang
memperlayak diri kita untuk bisa dihargai orang lain juga. Tidak ada kebohongan
di sini, karena menghargai orang lain itu asalnya dari hati. Dan Hati enggak
bisa bohong. Sebaliknya, ketika kita berpura-pura menghargai orang lain,
sebenarnya kita tidak sedang menghargai mereka. Tapi sedang membohongi diri
sendiri, sedang membohongi orang lain.
“Tapi kan mereka pantas mendapatkannya, Bunda. Mereka
pantas untuk tidak dihargai atas sikap buruk mereka.”
“Bisa jadi demikian. Karena pada akhirnya, entah itu kebaikan
atau keburukan; akan kembali kepada siapa yang melakukannya. Tapi, kalaupun
harus ada balas-membalas, ada adil-mengadili, biarkan Tuhan yang melakukan itu.
Kita tidak perlu melangkahiNya. Toh kita tidak selalu benar menilai mana yang
baik dan mana yang buruk. Kita juga belum tentu punya kebijaksanaan yang
memadai untuk menilai seseorang. Terkadang, apa yang kita lihat baik, menyimpan
banyak keburukan. Terkadang, yang di hadapan kita buruk, ternyata memiliki
banyak kebaikan yang tidak kita ketahui. Biarkan Allah saja yang menjalankan
mekanisme balas-membalasnya, Dia sudah pasti lebih adil dan lebih bijak daripada
kita. Tugas kita hanya berbuat baik pada sesama.”
“Walaupun kepada orang yang buruk, Bunda?”
“Tak ada cara terbaik untuk membalas sebuah keburukan selain
dengan kebaikan. Bukan dengan keburukan yang sama. Lagipula, keburukan akan
tetap menjadi keburukan walaupun dilakukan dengan niat yang baik. Misalnya
dengan niat untuk memberikan pelajaran kepada orang yang berlaku buruk
tersebut. Tak ada orang yang suka diperlakukan dengan buruk. Termasuk orang
yang berbuat buruk itu sendiri. Keburukan yang dibalas dengan sikap yang buruk,
biasanya akan menghasilkan keburukan lagi, begitu seterusnya. Harus ada yang
mengakhiri siklusnya. Dan siklus itu akan berakhir, kalau ada yang mau memulai
untuk berbuat baik. Lagipula, kalau kita membalas keburukan dengan keburukan
yang sama, pada saat membalas itu, kita sedang melakukan keburukan yang sama,
terus apa bedanya kita sama orang yang berlaku buruk itu?”
“Kadang hati kita emang enggak bisa menerima sikap buruk orang
lain. Enggak rela kalau orang lain melakukan hal yang kurang berkenan di hati
kita. Tapi, hati tak harus menyimpan rasa sakit, hati selalu punya rasa untuk
menyalurkan. Salurkan perasaan itu secepat mungkin, tak perlu lama-lama juga
tak perlu di simpan-simpan. Kalaupun rasa itu pahit dan menyakitkan, biarkan
perasaan itu cepat selesai. Lalu serahkan tugas menyimpan itu kepada akal,
biarkan akal yang membuat kenangan, menyimpannya dalam memori seteah
pelajarannya diserap oleh hati, setelah rasanya dihayati oleh hati. Lalu
biarkan hati itu bersabar, sabar dengan usaha, bukan dengan pasrah. Sabar
karena kuat, bukan karena lemah. Sabar, karena tak ada pilihan terbaik selain
itu.”
***
Lelaki itu hanya tersenyum manis sambil menyuapi orang buta di
hadapannya. Lembut, penuh kasih sayang. Sementara, telinganya dengan sabar
mendengarkan hinaan dan cacian orang buta yang disuapinya. Hinaan dan cacian
yang ditujukan kepadanya. Orang buta itu tidak pernah tahu, kalau orang yang
setiap hari dihinanya itu adalah lelaki yang rajin menyuapinya di jalanan.
Sampai suatu hari, dia sadar kalau yang menyuapinya adalah lelaki yang berbeda.
Cara menyuapinya berbeda, makanannya juga berbeda rasa. Dan lelaki yang
dihadapannya tidak mendengar dengan baik ceritanya, cerita yang lebih mirip
penghinaan dan olok-olok terhadap seseorang.
“Kamu bukan laki-laki yang biasa menyuapi aku kan? Dimana
laki-laki itu?” tanyanya
Abu Bakar tak kuasa menangis. Lalu dijelaskanlah kalau lelaki
mulia yang biasa menyuapinya itu sudah meninggal. Kalau lelaki mulia itu, tak
lain adalah orang yang setiap hari dihinanya. Seketika menangislah laki-laki
buta itu.
Abu Bakar memang tidak salah bertanya kepada Aisyah, tentang
kebiasaan apa yang dilakukan oleh rasulullah yang belum dilakukannya. Aisyah
menjawab, kalau rasulullah terbiasa memberi makan pengemis yahudi yang ada di
salah satu sudut jalan kota Mekkah. Abu bakar pun menggantikan rasulullah,
dengan makanan yang sama. Yang tidak diketahui oleh Abu Bakar dan Aisyah adalah
rasulullah menyuapi pengemis itu sambil mendengarkan penghinaan kepada dirinya,
dan mereka tidak tahu; bahwa rasulullah ‘memamah’ makanannya terlebih dahulu
agar lebih halus dan mudah dimakan oleh pengemis buta.
***
Dan aku cuma bisa bengong, menyesal dan merasa bersalah
mendengar cerita bunda itu. Cerita yang sebenarnya sudah lama diceritakan oleh
ayah.
"Bunda, boleh gak Putri nangis?"
"Boleh2 aja. Manusia punya hak kok untuk
menangis. Tapi menangislah untuk sesuatu yang berarti, bukan sesuatu yg
sia-sia”
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar