Jumat, Januari 15, 2016

Suka Dan Enggak Suka

Aku enggak suka sama orang-orang yang enggak bisa menghargai orang lain. Enggak suka. Buatku, orang yang enggak bisa menghargai orang lain tidak pantas untuk dihargai. Seperti kejadian tadi siang, waktu jalan bareng sama bunda aku, ketemu sama temen yang menurutku egois, nyebelin banget dan enggak menghargai orang lain. Aku berusaha menghindarinya. Males aja. Sialnya, dia melihat aku dan bunda lalu menghampiri menyapak kami. Aku jawab pertaanyaannya sekenanya, aku balas senyumnya dengan senyum terpaksa. Dan bunda menangkap keanehanku itu. Dan sesampainya di rumah, diceramahilah aku. 

***

“Kok tadi gitu sih, sama temennya, Nak?”
“Gitu kenapa emangnya Bunda?”
“Ya gitu, Putri cuek banget. Dingin. Enggak kayak biasanya. Kurang sopan aja ngeliatnya.”
“Habisnya, Putri enggak suka sama dia, Bun. Sikapnya nyebelin banget, enggak bisa menghargai orang lain. Mau enaknya sendiri. Mau menang sendiri.”
“Oh gitu..”
“Iya Bunda, begitu. Makanya males aja kalo ketemu dia. Jadi keinget yang buruk-buruk. Eh, Putri salah ya Bun?”

Bunda cuma tersenyum, lalu melanjutkan:

“Nak, kita boleh banget buat enggak suka sama seseorang, atau enggak suka dengan apa yg dilakukan orang lain. Lagipula suka enggak suka itu enggak bisa dipaksakan. Tapi setidaknya, hargailah mereka. Setidaksuka apapun kita kepada mereka.”

“Tapi susah tahu enggak sih Bun, menghargai sesuatu atau yang kita enggak suka. Masa kita harus membohongi diri sendiri sih?”

“Tak ada yang harus dibohongi, Sayang. Tidak orang lain, tidak juga diri sendiri. Karena pada hakikatnya ketika kita menghargai orang lain, kita sedang menghargai diri sendiri, menghargai hidup dan kehidupan, juga menghargai kemanusiaan. Ketika kita menghargai orang lain, kita sedang memperlayak diri kita untuk bisa dihargai orang lain juga. Tidak ada kebohongan di sini, karena menghargai orang lain itu asalnya dari hati. Dan Hati enggak bisa bohong. Sebaliknya, ketika kita berpura-pura menghargai orang lain, sebenarnya kita tidak sedang menghargai mereka. Tapi sedang membohongi diri sendiri, sedang membohongi orang lain.

“Tapi kan mereka pantas mendapatkannya, Bunda. Mereka pantas untuk tidak dihargai atas sikap buruk mereka.”

“Bisa jadi demikian. Karena pada akhirnya, entah itu kebaikan atau keburukan; akan kembali kepada siapa yang melakukannya. Tapi, kalaupun harus ada balas-membalas, ada adil-mengadili, biarkan Tuhan yang melakukan itu. Kita tidak perlu melangkahiNya. Toh kita tidak selalu benar menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Kita juga belum tentu punya kebijaksanaan yang memadai untuk menilai seseorang. Terkadang, apa yang kita lihat baik, menyimpan banyak keburukan. Terkadang, yang di hadapan kita buruk, ternyata memiliki banyak kebaikan yang tidak kita ketahui. Biarkan Allah saja yang menjalankan mekanisme balas-membalasnya, Dia sudah pasti lebih adil dan lebih bijak daripada kita. Tugas kita hanya berbuat baik pada sesama.”

“Walaupun kepada orang yang buruk, Bunda?”

“Tak ada cara terbaik untuk membalas sebuah keburukan selain dengan kebaikan. Bukan dengan keburukan yang sama. Lagipula, keburukan akan tetap menjadi keburukan walaupun dilakukan dengan niat yang baik. Misalnya dengan niat untuk memberikan pelajaran kepada orang yang berlaku buruk tersebut. Tak ada orang yang suka diperlakukan dengan buruk. Termasuk orang yang berbuat buruk itu sendiri. Keburukan yang dibalas dengan sikap yang buruk, biasanya akan menghasilkan keburukan lagi, begitu seterusnya. Harus ada yang mengakhiri siklusnya. Dan siklus itu akan berakhir, kalau ada yang mau memulai untuk berbuat baik. Lagipula, kalau kita membalas keburukan dengan keburukan yang sama, pada saat membalas itu, kita sedang melakukan keburukan yang sama, terus apa bedanya kita sama orang yang berlaku buruk itu?”

“Kadang hati kita emang enggak bisa menerima sikap buruk orang lain. Enggak rela kalau orang lain melakukan hal yang kurang berkenan di hati kita. Tapi, hati tak harus menyimpan rasa sakit, hati selalu punya rasa untuk menyalurkan. Salurkan perasaan itu secepat mungkin, tak perlu lama-lama juga tak perlu di simpan-simpan. Kalaupun rasa itu pahit dan menyakitkan, biarkan perasaan itu cepat selesai. Lalu serahkan tugas menyimpan itu kepada akal, biarkan akal yang membuat kenangan, menyimpannya dalam memori seteah pelajarannya diserap oleh hati, setelah rasanya dihayati oleh hati. Lalu biarkan hati itu bersabar, sabar dengan usaha, bukan dengan pasrah. Sabar karena kuat, bukan karena lemah. Sabar, karena tak ada pilihan terbaik selain itu.”


***

Lelaki itu hanya tersenyum manis sambil menyuapi orang buta di hadapannya. Lembut, penuh kasih sayang. Sementara, telinganya dengan sabar mendengarkan hinaan dan cacian orang buta yang disuapinya. Hinaan dan cacian yang ditujukan kepadanya. Orang buta itu tidak pernah tahu, kalau orang yang setiap hari dihinanya itu adalah lelaki yang rajin menyuapinya di jalanan. Sampai suatu hari, dia sadar kalau yang menyuapinya adalah lelaki yang berbeda. Cara menyuapinya berbeda, makanannya juga berbeda rasa. Dan lelaki yang dihadapannya tidak mendengar dengan baik ceritanya, cerita yang lebih mirip penghinaan dan olok-olok terhadap seseorang.

“Kamu bukan laki-laki yang biasa menyuapi aku kan? Dimana laki-laki itu?” tanyanya

Abu Bakar tak kuasa menangis. Lalu dijelaskanlah kalau lelaki mulia yang biasa menyuapinya itu sudah meninggal. Kalau lelaki mulia itu, tak lain adalah orang yang setiap hari dihinanya. Seketika menangislah laki-laki buta itu.

Abu Bakar memang tidak salah bertanya kepada Aisyah, tentang kebiasaan apa yang dilakukan oleh rasulullah yang belum dilakukannya. Aisyah menjawab, kalau rasulullah terbiasa memberi makan pengemis yahudi yang ada di salah satu sudut jalan kota Mekkah. Abu bakar pun menggantikan rasulullah, dengan makanan yang sama. Yang tidak diketahui oleh Abu Bakar dan Aisyah adalah rasulullah menyuapi pengemis itu sambil mendengarkan penghinaan kepada dirinya, dan mereka tidak tahu; bahwa rasulullah ‘memamah’ makanannya terlebih dahulu agar lebih halus dan mudah dimakan oleh pengemis buta.

***

Dan aku cuma bisa bengong, menyesal dan merasa bersalah mendengar cerita bunda itu. Cerita yang sebenarnya sudah lama diceritakan oleh ayah.

‎"Bunda, boleh gak Putri nangis?"
"Boleh2 aja. Manusia punya hak kok untuk menangis. Tapi menangislah untuk sesuatu yang berarti, bukan sesuatu yg sia-sia”


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar