Bosan adalah ketika kita mengerjakan pekerjaan yang itu-itu saja, tanpa bisa menikmatinya, tanpa bisa berbuat apa-apa karena pekerjaan itu adalah keharusan yang tak bisa ditawar-tawar. Menyebalkan adalah ketika kita sudah bekerja dengan sekuat tenaga sebisa kita, sampai harus bergadang, sampai capek-secapek-nya, tapi dengan sembarangan orang lain bilang kalau pekerjaan kita itu belum ada apa-apanya, dan kita tidak bisa melakukan pembelaan apa-apa, karena orang lain yang dimaksud itu adalah dosen yang menentukan kita lulus apa tidak. Dan FYI aja ini mah; aku adalah makhluk malang yang sedang mengalami keduanya. Kalau sudah begini, aku selalu ingin berada di dekat Bunda.
Bunda adalah salah satu alasan kenapa aku ada. Iya dong, kalau enggak ada Bunda, bagaimana mungkin aku bisa terlahir di dunia inih. Jadi wajar aja kalau Bunda selalu menjadi alasan yang paling kuat bagiku untuk bertahan, ketika kondisi seolah sedang tak memihak aku. Akutak ingin mengecewakan Bunda, aku selalu ingin membuatnya bangga, aku tak akan pernah menyia-nyiakan pengorbanannya, aku tak akan kuat melihat kesedihannya. Ya begitulah pokoknya. Bukannya aku ingin mengesampingkan peran Ayah, Ayah selalu ‘keren’ di mataku. Tapi Bunda punya kedudukan tersendiri di hati aku. Ah, tak bermaksud membeda-bedakan sebenarnya. Tapi cinta selalu punyaperingkat, bukan? Kebetulan saja bagiku, peringkat Bunda sedikit lebih di atas Ayah. Bagi orang lain? Belum tentu. Aku tak persis tahu.
Aku pernah ke-GR-an menganggap bahwasebagaimana Bunda selalu bisa menjadi alasan yang paling kuat bagiku untuk bertahan di masa sulit, aku juga selalu bisa menjadi alasan Bunda untuk bertahan selama ini. Ketika aku bertanya kepada Bunda, ternyata bukan aku orangnya (hiks, hiks). Bukan juga adikku (Alhamdulillah bukan dia juga, kalau dia pasti aku enggak ikhlas banget, haha). Baiklah, aku masih bisa menerimanya jika Ayah adalah orangnya, orang yang menjadi alasan bagi bunda untuk selalu bisa bertahan. Sayangnya, yang membuatku agak bingung, orang itu ternyata juga bukan Ayah. Dan lebih bingung lagi, kami semua, orang-orang terdekat Bunda, dikalahkan oleh sebuah benda bernama pintu.
***
Suatu ketika di forum perempuan antara Bunda dan aku, Bunda pernah bercerita perihal usahanya untuk membuka sebuah pintu, pintu yang katanya selalu membuatnya kuat dan bisa bertahan bersama ayah sampai sekarang, dan entah kenapa aku sangat yakin mereka akan bertahan sepanjang sisa usia mereka. Pintu yang membuat bunda menjadi sosok yangs ebegitu sabarnya menumbuh-kembangkan aku dan adikku. Pintu yang selalu bisa menjadi alasan bagi bunda untuk tetap tersenyum tulus, se-lelah apapun tugas dan tanggungjawab yang harus bunda lakukan dalam keluarga. Pintu syurga namanya.
“Putri tahu, setiap manusia diberikan kesempatan untuk memasuki syurga melalui pintu yang diinginkan-nya. Orang-orangyang istiqomah berbuat baik, akan memasuki pintu sesuai kebaikan yang paling banyak dilakukannya semasa hidup. Orang yang suka sholat ada pintunya tersendiri, orang yang suka sekali bersedekah sudah disediakan juga pintunya. Begitu juga kebaikan yang lainnya. Sayangnya, sedikit dari kita yang sadar dan mempersiapkannya. Bagi kita kaum hawa, kita diberikan kesempatan untuk memasuki pintu manapun sesuka kita, selama kita bisa menjaga diri, menjadi isteri yang baik yang berbakti dan bisa membahagiakan suaminya, kebahagian yang membuat seorang suami ridho terhadap isterinya. Selama kita bisa jadi ibu yang baik, ibu yang mampu mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak yang sholeh/ah.* Itulah kenapa Bunda lebih memilih pintu itu daripada Putri, adik kamu,bahkan Ayah sekalipun. Karena pintu itu yang lebih bisa menguatkan Bunda.”
“Apa Bunda akan bisa memasuki pintu itu?”
“Bunda tidak tahu, Sayang. Tak ada yang tahu. Tapi Bunda yakin, kalau Allah tidak akan pernah mengecewakan orang-orang yang berusaha, apalagi jika apa yang diusahakannya adalah sebuah kebaikan. Kalau pun bunda belum cukup layak untuk memasukinya, setidaknya pintu itu sudah cukup menjadi alasan bagi Bunda untuk bertahan sampai saat ini, setidaknya pintu tersebut sudah sering membuat hati bunda lebih tenang, lebih ikhlas untuk menerima apapun yang menimpa Bunda. Tak apalah begini, tak apalah begitu, selama Bunda masih punya kesempatan untuk memasuki pintu itu.”
“Termasuk lebih sabar, Bunda?”
“Iya, Sayang. Dulu Bunda orangnya enggak sabaran, setelah menikah dan punya anak, Bunda baru sadar kalau kita harus bersabar atas orang lain. Karena mau enggak mau, kehidupan kita akan selalu berhubungan dengan orang lain. Setelah mengenal pintu tersebut, Bunda baru mengerti kalau ternyata kita cukup bersabar dengan diri kita sendiri. Bersabar atas ego kita, bersabar atas keinginan kita. Karena kalau kita sudah bisa bersabar terhadap diri kita sendiri, kita akan lebih mudah bersabar atas perilaku orang lain.”
“Bunda, bolehkah Putri memasuki pintu tersebut?”
“Tentu saja boleh, Sayang. Tapi Putri juga perlu tahu, kalau itu bukan satu-satunya pintu syurga. Allah begitu baik menyediakan pintu itu dalam setiap fase kehidupan kita. Orang yang belum memasuki fase menikah dan menjadi ibu, tentu saja tidak bisa memasuki pintut ersebut. Tapi masih ada pintu yang lainnya, pintu menjadi anak yang sholeh/solehah misalkan, atau pintu menjaga diri dari hawa nafsu, atau pintu yang lainnya. Putri tinggal pilih mana yang paling Putri suka di fase hidup Putri sekarang.”
“Baiklah…..”
***
Ternyata, pintu adalah alasan bagi Bunda untuk bertahan, untuk menjalankan perannya sebaik mungkin seperti yang aku lihat selama ini. Peran yang bagi sebagian orang hanya rutinitas biasa saja, tapi jadi begitu luar biasa di hadapan bunda. Aku baru mengerti kenapa Bunda begitu kuat mengurus rumah, ayah, dan anak-anaknya dengan rasa bahagia tanpa merasa terbebani. Atau beban itu tak pernah ia tunjukkan pada anak-anaknya? Betapa bunda tak pernah lelah mendengar keluh-kesah anak-anaknya, atau menyempatkan bertanya sekedar memastikan anak-anaknya dalam kondisi baik-baik saja, atau selalu mendahulukan kepentingan dan kebutuhan anak-anaknya daripada kebutuhannya sendiri. Atau bunda yang selalu ingin namapk cantik di hadapanAyah, yang memilih untuk tidak mau dijemput dari kantor sepulang kerja oleh Ayah, hanya karena ingin menyambut Ayah di rumah dengan wajah cantik dan ‘berseri-serinya’, bukan wajah kelelahan karena kerja. Atau peran luar biasa lainnya yang dilakukan Bunda. Hanya untuk sebuah pintu; pintu syurga.
Dan aku? Entahlah, mungkin harusmencari alasan yang lebih kuat, selain alasan ‘Bunda’, karena tak selamanya aku bisa bersama dan membersamainya. Mungkin aku harus segera menemukan dan memilih pintu lain terlebih dulu, sebelum memasuki fase, dimana aku bisa berusaha memasuki pintu yang selama ini sedang coba dibuka oleh Bunda, pintu yang Allah sediakan khusus bagi perempuan untuk memasuki syurga melalui pintu manapun yang ia suka. Tentu saja sambil membantu Bunda untuk mempermudah membuka pintu syurganya dengan menjadi anak sholehah sebisa mungkin, sebagaimana Ayah yang ternyata baru aku ketahui belakangan, juga membantu Bunda untuk membuka pintus yurganya dengan menerima Bunda apa adanya, tidak banyak menuntut dan perlakuan lainnya yang memudahkan Bunda mendapatkan ridho Ayah.
***
Jadi, kalau setiap orang harus punya alasan yang kuat untuk bisa bertahan dalam suatu kondisi, apa alasan kamu untuk tetap ada di sana, di tempat yang mengkonsumsi sebagian besar keseharian kamu?
______________________________
*Inspired by: Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya:“ Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kamu mau”. (HR. Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar