Gadis kecil itu sering mendengar nama seseorang dalam dongeng-dongeng yang diceritakan Bunda sebelum tidur. Sedangkan bagi bunda, dongeng bukan sekedar pengantar tidur. Dongeng adalah ekspresi sayangnya, kadang kemarahannya, kebahagiaannya, kesedihannya, lebih sering kekesalannya. Kepada mereka, anak-anaknya.
Malam itu, tema dongeng yang siap diceritakan bunda adalah kekesalan. Terinspirasi dari peristiwa tadi siang sepulang belanja. Ketika bunda dan putrinya menunggu bus untuk pulang, ada seorang pengemis yang mendekati mereka. Bunda hanya diam, ingin melihat bagaimana sikap putrinya menghadapi pengemis itu. Putrinya tidak menghiraukan, hanya meminta maaf tanpa ekspresi, lalu masuk ke bus yang sudah berhenti di hadapan mereka. Bunda mengikuti dari belakang, setelah memeberikan beberpa lembar ribuan kepada pengemis tadi.
Di bus, bunda tersenyum kepada putrinya. Tapi bukan senyum kebahagian apalagi kebanggaanseperti saat mendengar putrinya juara kelas . Ini adalah senyum kekesalan, mirip senyum bunda ketika melihat kamar putrinya berantakan, atau senyum ketika melihat kebandelan putrinya itu. Putrinya hafal betul, jika bunda menyunggingkan senyum model begitu, tandanya bunda lagi kesel, lagi marah kepada dirinya. Dan putrinya juga tahu, nanti malam ia akan diceramahi bunda dalam dongengnya, tapi dia akan sangat menyukai itu.
“Suatu ketika ada seorang pengemis yang datang kepada seorang pria. Kebetulan, pria itu sedang tidak punya apa-apa untuk diberikan kepada pengimis. Kamu tahu Nak, apa yang dia lakukan?”
“Meminta maaf.”
“Iya, kamu bener, Nak. Pria tadi meminta maaf, tapi tidak sekedar minta maaf. Dia minta maaf dengan sangat sopan, merasa bersalah karen tidak bisa memberikan sesuatu yang bisa membantu pengemis itu. Tahu enggak setelah itu apa yang dilakukan pria tadi?”
“Apa Bunda, apa?”
“Pria tadi bertanya dengan sopan kepada pengemis:
apa yang bisa saya lakukan untuk meringankan bebanmu, sebagai pengganti karena saya tidak bisa memberikan sesuatu untukmu?”
“Kamu mau tahu, siapa pria itu, Nak?”
Tak ada jawaban. Bunda tersenyum melihat putrinya yang sudah setengah terpejam. Senyum sayang, bukan senyum kesal seperti tadi siang. Lalu, dibetulkan selimut putrinya, dicium keningnya, dimatikan lampu kamarnya, ditutup pintu kamarnya.
Malam itu, dongeng bunda yang kesekian kalinya tentang pria yang sama. Dongeng ini muncul, karena putrinya sedang kesal, uring-uringan, marah akibat kehilangan uang, yang seharusnya digunakan untuk membeli buku pelajaran di sekolah.
“Ayo bunda, cepetan mulai ceritanya.”
“Iya, Nak. Mau cerita apa?”
“Cerita apa aja deh.”
“Hmm, dulu ada seorang pria yang tersandung batu, kakinya berdarah dan sendalnya putus. Kamu tahu apa yang terjadi selanjutnya, Nak?”
“Pasti dia meringis kesakitan dan kesel banget deh, Bunda?”
“Ye, kamu salah.”
“Emang gimana, Bunda?”
“Dia tidak mengeluh. Dia duduk, membenarkan sandalnya yang putus, dan mengingat-ingat kesalahan apa yang dia lakukan sampai musibah itu terjadi.”
“Kenapa begitu, Bunda.”
“Karena, pria tadi menganggap musibah tersebut sebagai teguran dari Allah, mungkin dia melakukan kesalahan, sehingga Allah mengingatkannya.”
“Berarti, aku punya kesalahan ya, Bunda. Sehingga tadi di sekolah uangku hilang.”
“Iya, mungkin kamu punya kesalahan, Nak.”
“Tapi, apa ya, Bunda?”
“Mungkin karena kamu kurang bersedekah, sehingga Allah menghilangkan uang kamu, Nak.”
“Atau mungkin karena sikap aku yang kurang baik pada pengemis yang waktu itu ya, Bunda.”
“Bisa jadi, Nak.”
“Maaf ya, Bunda.”
“Iya, tapi harus diperbaiki ya,,”
“Oke, bunda. Udah dulu ya, Bunda. Aku sudah ngantuk nih, mau tidur dulu. Selamat malam, Bunda.”
“Selamat malam, Nak.”
Seperti biasa, bunda tersnyum melihat putrinya yang sudah sudah tidur. Lalu, dibetulkan selimut putrinya, dicium keningnya, dimatikan lampu kamarnya, ditutup pintu kamarnya.
Sekarang, gadis kecil itu sudah beranjak dewasa. Sedang menangis mengingat bundanya yang sudah meninggal setahun yang lalu, juga mengingat sepotong dongeng yang diceritakan bunda pada suatu malam.
“Nak, bunda ingin sekali bertemu kamu, dan bertemu pria itu di tempat yang sama, suatu ketika.”
“Emang bisa, Bunda?”
“Bisa, Nak. Tapi hanya orang-orang beruntung yang bisa bertemu dengannya.”
“Siapa orang yang beruntung itu, bunda?”
“Mereka yang meneladani dan mencontohnya, yang taat kepada Allah.”
“Aku juga ingin ketemu, bunda. Aku akan meneladani perbuatannya. Dimana aku bisa ketemu dengannya, Bunda.”
“Di syurga, Nak. Suatu saat nanti.”
Pria itu memang Muhammad, penutup para nabi, sebaik-baiknya manusia; yang pernah membalas lemparan batu dengan lemparan doa. Yang mencintai umatnya lebih dari mencintai dirinya sendiri. Yang di akhir hayatnya, masih sempat mengingat dan memperhatikan umatnya; Yang pernah ditunjukkan syurga, tapi tidak tergoda untuk menetap di dalamnya, memilih kembali ke bumi, tak rela melihat umatnya yang masih banyak tersesat. Dialah Muhammad, yang lebih senang memtong tangan putri kesayangannya daripada melihat ketidakadilan yang merajalela; yang dengan tulus memamah dan menyuapi pengemis yahudi sambil mendengarkah hinaan dan cacian terhadap dirinya; yang mengajarkan kita (umatnya) tentang ketuhanan, kebenaran, juga kemanusiaan. Maka, tak inginkah kamu bertemu dengannya?
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar