Jika
boleh mengambil saripati hidup dari pencarian yang tak kunjung usai, juga
pembelajaran yang tak pernah selesai, izinkan untuk bercerita tentang ikhlas.
Rasa paling abstrak yang dimiliki manusia. Semua pasti pernah merasa bahagia,
juga sangat akrab dengan sedih. Ada juga yang pandai untuk menyembunyikan
sakit, walaupun sakit tidak akan pernah bisa berbohong kepada hati. Mungkin
banyak yang mengenal apa itu bingung, bagaimana rasanya diterjang gundah, atau
sekilas disapa galau. Hampir semuanya nyata. Kita sadar dan merasa. Walau kata
tak terucap, walau laku tak berisyarat. Tapi ikhlas?
Agak bingung untuk memulainya, coba kita mulai dari titik nol.
Titik dimana manusia bukan apa dan bukan siapa. Titik dimana kenapa dan
bagaimana bisa menentukan apa dan siapa. Titik itu adalah kehidupan. Kehidupan
adalah amanah. Karena itu amanah, tentunya bukan sepenuhnya milik yang
menjalankannya. Amanah selalu mempunyai misi, apapun itu. Begitu juga
kehidupan; misinya adalah memakmurkan dunia dengan segala macam isinya. Amanah
pasti menuntut tanggungjawab, tanggungjawab terhadap pemberi amanah. Pemberi
kehidupan. Tuhan itu sendiri. Jika kehidupan adalah amanah, kita hanya harus
bertanggungjawab menjalankannya, sebaik mungkin. Selebihnya, biar Dia yang
menentukan. Maka, kehidupan adalah jawaban kenapa manusia ada. Sedangkan
bagaimana menjalani kehidupan itu akan menentukan apa dan siapa manusia. Lalu,
selesaikah ikhlas dengan menyadari semua adalah amanah dari-Nya, milik-Nya, dan
akan kembali pada-Nya?
Bisa
saja ada yang rela kehilangan orang yang disayangi. Karena sejatinya mereka
bukan miliknya. Mungkin, ada orang yang senang memberi, berbahagia dengan
kebahagiaan orang lain, juga berbagi tanpa pamrih. Banyak yang rela berkorban
untuk misinya masing-masing yang dianggap suci, juga dengan berbahagia. Ada
yang bahu-membahu untuk saling menolong, memberikan apa yang dipunya, dan
berbagi apa yang bisa dibagi. Ada juga yang menjalankan hidupnya penuh
semangat. Tanpa beban dan penuh keyakinan. Bisa jadi itu ikhlas.
Tapi,
bagaimana dengan keluhan yang masih menggunung? Atau hati yang sudah terlanjur
bersahabat dengan kesal. Kondisi yang lebih memihak kepada iri. Kelebihan yang
selalu siap diterkam ria. Pujian yang masih terbersit walau setitik debu.
Pekerjaan yang masih jauh mendekati sempurna. Segan yang masih membentengi
untuk bersahabat. Atau goresan luka yang masih membekas. Apakah bisa langsung
dijadikan indikator keikhlasan?
Lebih
senang menganalisisnya dengan relativitas. Karena ikhlas adalah hubungan
privasi antara Tuhan dengan makhlukNya, sering juga hanya privasi Tuhan
sendiri. Karena sifatnya relatif, tentunya nilainya berbeda antara satu manusia
dengan manusia lainnya. Bahkan berbeda untuk tiap kasus dalam diri manusia itu
sendiri. Relatif satu sama lain. Bisa jadi seseorang bisa ikhlas untuk suatu
ujian, tapi belum tentu untuk ujian lainnya. Mungkin saja A bisa ikhlas
menghadapi masalah X tapi belum ikhlas menghadapi masalah Y, sebaliknya B lebih
bisa ikhlas menghadapi masalah Y daripada X. Relatif. Bisa jadi, siang dalam
kondisi ikhlas, lalu senja menghapusnya, sehingga pada malam hari ikhlas itu
tinggal kelabu.
Lalu, seberapa besar keikhlasan seseorang? Maaf, aku tak bisa
menjawab. Aku juga sangsi engkau punya jawaban yang tepat. Mari kita Tanyakan
saja kepada Tuhan. Dan pasti Dia akan menjawabnya. Di hari pembalasan kelak.
Wallahualam bishowab.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar