Minggu, Januari 17, 2016

Empati

Pada sebagian besar pergolakan, rasa selalu bisa mengalahkan logika. Logika memang tak selalu bisa menjangkau. Sedang rasa tak selamanya bisa dibenarkan. Maka beruntunglah siapa yang bisa menggunakan rasa dan logikanya dengan tepat dan proporsional. Seperti petikan di bawah ini:

“selamat ya, kamu menang.”
“terimakasih.” Jawabnya datar
“kenapa kamu tidak merayakan kemenanganmu?”
“dibalik sebuah kemenangan, harus ada yang dikalahkan. Saya hanya ingin menghargai yang kalah. Karena saya tahu betapa sakitnya kalah”

Jadi lebih mengerti, kenapa Tuhan tidak suka yang berlebihan. Dia sedang mengajari kita empati. Dan empati tak sekedar rasa. Juga tak sesederhana peka. Empati adalah syukur yang menjelma. Juga bahagia yang tak melupa sedih, kejujuran yang tulus, ego yang menipis, atau keakuan yang tak mendominasi.

Maka:

Jika tahu bagaimana nikmatnya bahagia, empati adalah membahagiakan orang lain, jika belum bisa, berbahagialah untuk kebahagiaan orang lain. Jika masih sulit, ingatlah orang lain jika sedang berbahagia.

Jika tahu kekecewaan itu menyusahkan dan sakit hati itu menggelisahkan, maka tolong dan hiburlah yang sedang merasa. Jika belum sanggup, jangan membuat orang lain tersakiti. Jika sudah terlanjur, segeralah minta maaf dan sembuhkan lukanya.

Jika amanah adalah sesuatu yang memberatkan, maka ringankanlah bebannya, permudahlah urusannya. Tapi jika tanggungjawab itu brmuara pada kedewasaan, berbuah kebijaksanaan, juga kemampuan yang senantiasa meningkat, berikanlah tanggung jawab itu.

Hatiku terenyuh. Dan cermin itu tersenyum. Aku sangat paham maksudnya. Senyuman itu adalah sindiran untukku. Tapi tak apalah, bukanlah pembelajaran adalah proses sepanjang masa. Terimakasih untuk cermin, atas pelajaran berharga di senja ini.


#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar