Pada
sebagian besar pergolakan, rasa selalu bisa mengalahkan logika. Logika memang
tak selalu bisa menjangkau. Sedang rasa tak selamanya bisa dibenarkan. Maka
beruntunglah siapa yang bisa menggunakan rasa dan logikanya dengan tepat dan
proporsional. Seperti petikan di bawah ini:
“selamat
ya, kamu menang.”
“terimakasih.”
Jawabnya datar
“kenapa
kamu tidak merayakan kemenanganmu?”
“dibalik
sebuah kemenangan, harus ada yang dikalahkan. Saya hanya ingin menghargai yang
kalah. Karena saya tahu betapa sakitnya kalah”
Jadi lebih mengerti, kenapa Tuhan tidak suka yang berlebihan.
Dia sedang mengajari kita empati. Dan empati tak sekedar rasa. Juga tak
sesederhana peka. Empati adalah syukur yang menjelma. Juga bahagia yang tak
melupa sedih, kejujuran yang tulus, ego yang menipis, atau keakuan yang tak
mendominasi.
Maka:
Jika tahu bagaimana nikmatnya bahagia, empati adalah
membahagiakan orang lain, jika belum bisa, berbahagialah untuk kebahagiaan
orang lain. Jika masih sulit, ingatlah orang lain jika sedang berbahagia.
Jika tahu kekecewaan itu menyusahkan dan sakit hati itu
menggelisahkan, maka tolong dan hiburlah yang sedang merasa. Jika belum
sanggup, jangan membuat orang lain tersakiti. Jika sudah terlanjur, segeralah
minta maaf dan sembuhkan lukanya.
Jika amanah adalah sesuatu yang memberatkan, maka ringankanlah
bebannya, permudahlah urusannya. Tapi jika tanggungjawab itu brmuara pada
kedewasaan, berbuah kebijaksanaan, juga kemampuan yang senantiasa meningkat,
berikanlah tanggung jawab itu.
Hatiku terenyuh. Dan cermin itu tersenyum. Aku sangat
paham maksudnya. Senyuman itu adalah sindiran untukku. Tapi tak apalah,
bukanlah pembelajaran adalah proses sepanjang masa. Terimakasih untuk cermin,
atas pelajaran berharga di senja ini.
#diorama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar