Rabu, Januari 13, 2016

Sepotong Kesabaran

Kalau eskrim punya rasa cokelat, vanilla, atau strawberry; rasa apa yang dimiliki oleh sepotong kesabaran?

 

 

***

 

Hidup itu ujian, sedang ujian butuh kesabaran. Begitu kata para tetua yang bijak besatari. Aku tahu, yang aku belum tahu adalah bagaimana caranya. Padahal, sudah ratusan kali aku mendengar kata itu, dari ucap yang paling tulus sampai yang sekedar formalitas untuk bersimpati. Semuanya sama. Tak ada satupun kata 'sabar' yang membuatku benar-benar bersabar dalam urusan ini; termasuk kata sabar darimu.

 

Lalu, tanyaku mendesak di ambang batas kesabaran, mencuat begitu saja tanpa menyisakan pemakluman, tidak juga belas kasihan untuk diri sendiri; "Sabar itu apa? Bagaimana caranya bersabar jika sedang kehilangan? Bagaimana bisa bersabar dalam penantian? Haruskah bersabar jika sedang terdzolimi, dan apakah setiap ujian memang bisa diselesaikan dengan sepotong kesabaran?"

 

Aku baru mengerti jawabannya tak sengaja ketika ada seseorang yang menjelaskan tentang keadilan Tuhan.Dan barangkali itulah cara terbaik untuk memahami kesabaran, melihat sebuah ujian dengan konsep Tuhan Yang Maha Adil, bukan dari sisi manusia yang begitu egois. 

 

Kehilangan misalkan, akan sangat menyakitkan jika kita melihatnya dari sisi yang ditinggal. Yang ditinggal akan terbebani dengan kenangan. Terikat dengan masa lalu yang pernah dialami bersama. Sedangkan yang pergi akan bertemu dengan dunia baru, dengan dunia yang bisa jadi lebih baik daripada dunia yang ditinggalkan. Bisa jadi ia sedang berpesta dengan malaikat, menikmati segala balasan dari kebaikannya selama hidup di alam kubur. Atau katakanlah, jikapun siksa kubur yang didapat, bisa saja Tuhan sedang melindunginya dari siksa yang lebih berat lagi di hari pembalasan. Karena itulah Tuhan memutuskan untuk cukup, menyudahi kehidupan seseorang untuk kebaikan orang itu sendiri. Dan bukan begitukah hakikatnya? Hakikat cinta adalah melepaskan, semakin sejati ia, semakin tulus kau melepaskannya.* 

 

Begitupun dengan penantian. Kita akan sangat menderita jika melihatnya dari sisi yang menunggu. Menunggu masa depan. Menunggu kehidupan berbaik hati pada kita. Menunggu saatnya datang. Berbeda jika kita memposisikan diri kita dalam penantian itu sebagai orang yang menjemput, bukan orang yang menunggu. Yang menjemput akan mempersiapkan segalanya. Memastikan agar penantian itu berakhir indah. Tidak diam pasrah, apalagi merutuk kesal karena lamanya waktu yang tak kunnjung tiba. 

 

Hal yang sama berlaku untuk orang yang merasa terdzolimi. Akan sangat menyakitkan jika kita memposisikan sebagai orang yang terdzolimi. Yang terdzolimi akan menyisakan dendam, membuat diri sendiri begitu lemah, memiliki pembenaran untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Padahal bukan berarti dengan terdzolimi, kita boleh melakukan hal yang tidak baik. Malaikat Atid sudah pasti mencatat keburukan orang yang mendzolimi kita, pertanyaan adalah apakah malaikat Roqib mau mencatat kebaikan kita selaku orang yang terdzolimi, jika kitanya tidak menerima, jika kitanya tidak memaafkan, jika kitanya diselimuti dendam. Jangan-jangan malaikat Atid yang hanya mencatat, mencatat keburukan dari orang yang mendzolimi dan yang terdzolimi. Barangkali kita memang harus menerima dan memaafkan, seberapa menyakitkanpun proses untuk itu. Kalaupun memang harus ada balas membalas, biarkan Tuhan yang melakukannya dengan skenario terbaik-Nya. Bukan kita yang sungguh keterlaluan egoisnya ini. 

 

***

 

Belum ada yang berubah dari kesabaranku. Tapi setidaknya dengan memahamin setiap peristiwa dari sisi Tuhan yang Maha Adil, aku jadi lebih mengerti kenapa aku harus bersabar. Sekarang, tak akan banyak bicara lagi tentang sabar. Karena sabar memang bukan perkataan, tapi perasaan. Biarkan sabar menjadi rahasia kecil antara aku dan Tuhan. Biarkan ia menjadi senjataku untuk menghadapi ujian. JIkapun sesekali senjata itu tidak cukup besar untuk menghadapi ujian yang ada, biarkan ia menjadi hadiah paling indah setelah ujian itu terlewati. Kalah dalam peperangan karena kurang sabar, tapi mendapatkan hadiah berupa kesabaran yang lebih setelah kalah, sebagai modal untuk menghadapi ujian yang lainnya. 

 

Dan jika kamu sedang mengalami hal yang sama, aku juga tidak akan menyarankan atau menasihatimu agar bersabar. Rasakan saja betapa sakitnya. Resapi saja betapa sulitnya. Nikmati saja jatuh-bangunnya. Hayati saja bagaimana sedihnya. Ledakkan saja air matanya. Di satu titik kamu akan ketemu dengan kesabaranmu. Bertemu di persimpangan antara sabar dan tidak, antara menerima atau menyalahkan. Di satu titik, kamu akan menyadari betapa kamu jauh lebih kuat karena ini semua. Di satu titik, kamu akan bersyukur betapa Tuhan sudah berbaik hati telah memberikan kesempatan yang luar biasa kepaadamu untuk merasakannya. 

 

 

 

***

 

 

Dan sekarang aku sudah tahu rasa apa yang dimiliki oleh sepotong kesabaran. Tak ada rasa coklat disana, tak ada vanila, apalagi strawberry. Karena kesabaran memang bukan eskrim. Menyerupainya pun tidak. But you know what? Kesabaran punya sisi manis yang jauh melebihi eskrim. Sayangnya baru bisa dinikmati setalah merasakan pahitnya sebuah proses. Proses bersabar itu sendiri. Disitulah istemewanya. Rasa pahit yang selama ini dirasakan akan melipatgandakan rasa manis yang akan diterima. Selamat mencicipi. 

*quotes by Tere Liye

#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar