Selasa, Januari 12, 2016

Kompetisi

Demi apa coba, tadi sore ada seorang laki-laki yang mengungkapkan cintanya kepada perempuan yang disukainya di depan umum, di hadapan teman-temannya, lengkap dengan puisi dan setangkai bunga mawar yang diakhiri dengan permintaan; maukah engkau menjadi kekasihku? Sialnya, aku terlibat dalam adegan yang [menurutku] cukup memalukan itu sebagai salah satu pemeran utamanya: perempuan yang dimaksud. Laki-laki itu memang teman lamaku, kenal sejak tingkat pertama kami masuk dunia kampus. Laki-laki yang sekaligus pernah aku sukai, sebelum mendapat banyak pencerahan dari bunda melalui ‘kuliah cinta-nya’ di forum perempuan. Aduh, kenapa aku harus berurusan dengan perasaan yang bernama cinta itu lagi sih?

***

Aku memang banyak belajar tentang rasa cinta dari bunda di forum perempuan, tapi aku lebih mengerti dari keseharian ayah bunda yang aku lihat langsung atau yang pernah diceritakan bunda. Cinta yang jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh laki-laki tadi dalam bait-bait puisinya. Bagi Ayah dan Bunda, cinta bukan sekedar perasaan. Tapi juga kompetisi; untuk memberi dan melakukan yang terbaik bagi pasangannya.

Di fase awal pernikahan mereka, ayah dan bunda mengalami kesulitan finansial. Perbedaan status sosial antara mereka membuat mereka sulit untuk saling menyesuaikan. Untungnya, bunda sabar banget menghadapi ayah yang belum bisa merubah life style-nya yang kadang berlebihan akibat pengaruh dari lingkungan dan keluarga besarnya. Bunda sih inginnya ayah bisa menyesuaikan, karena ayah sudah berkeluarga dan tanggungan serta tanggungjawabnya bertambah. Bunda yang memang mengatur keuangan keluarga melakukan penyesuaian besar-besaran terhadap pengeluaran mereka setelah berkeluarga. Belakangan aku baru tahu kalau penyesuaian yang dilakukan bunda itu mengikuti prinsip latte factor-nya David Bach. Itupun aku tahu enggak sengaja waktu salah satu mata kuliah yang aku ambil membahas itu.

Intinya, latte factor itu adalah pengeluaran rutin yang enggak terlalu penting banget buat kita. Istilah Latte factor sendiri diambil dari kebiasaan orang-orang yang kalau mau minum kopi harus latte-nya sturbucks yang jelas jauh lebih mahal daripada bikin kopi sendiri. Coba aja cek, dari pengeluaran rutin bulanan kita yang masuk latte factor ini, terus kurangi intensitasnya, atau dicari alternatif yang lebih murahnya. Kalau memungkinkan dihilangkan sekalian. Tapi biasanya berat kalau langsung dihilangkan. Buat yang suka makan di luar misalkan, coba dikurangi jadi 1x/minggu aja makan di luarnya atau makannya enggak usah di restoran mahal, di warung makan biasa aja. Atau buat yang suka hangout bareng teman2, bisa kali ya cuma 1x/bulan aja. Nah kira-kira begitulah yang dilakukan bunda pada pengeluarannya sendiri dan pengeluaran ayah. Melakukan penyesuaian terhadap latte factor tadi. Jadi saving-nya bisa lebih banyak. Di kemudian hari, menurut ceritanya bunda, ini bemanfaat banget untuk menekan pengeluaran. Dan ketika ayah dan bunda memiliki pendapatan yang meningkat, tidak terbawa pada pola konsumtif. Biasanya kan semakin banyak pendapatan, semakin banyak juga pengeluaran. Nah, latte factor ini akan menyeleksi lebih ketat pengeluaran kita. Tidak boros dan sembarangan mengeluarkan uang.

***

Di lain kesempatan, pernah bunda minta dijemput jam sekian, tapi setengah jam ayah menunggu yang minta dijemput belum kelihatan juga. Ayahpun pulang meninggalkan bunda. Bunda yang tak mendapati ayah di tempat biasa kesal karena ayah tidak bisa dihubungi, padahal ayah sengaja tak mengangkat telepon dari bunda. Sesampainya di rumah, masih dengan kesal bunda mencari ayah, tapi yang ada cuma secarik kertas:

“Maaf ya, harus mengingatkan bunda dengan cara seperti tadi; ditinggalin. Habis akhir-akhir ini bunda sering telat sih. Ini Ayah kasih bunga, biar enggak telat lagi.”

Seketika bunda tersenyum dan kesalnya hilang entah kemana. Sampai sekarang aku enggak ngerti apa hubungannya telat sama bunga. Dan lebih enggak ngerti lagi itu mempan banget buat bunda. Sejak itu, Bunda lebih memilih untuk enggak dijemput daripada membuat ayah menunggu. Kalaupun dijemput, bunda yang akan menunggu. Ah sudahlah, enggak semua hal dalam hidup harus kita mengerti, bukan? Termasuk tentang hubungan antara telat dan bunga.    

***

Pernah di salah satu ulang tahun bunda, ayah memberikan hadiah berupa satu set post-it,*di lembar pertamanya tertulis;

Happy Birthday Bunda Sayang. Mulai sekarang, kalau bunda mau apa aja, tulis aja keinginan bunda di post-it ini, satu lembar untuk satu keinginan. Ayah akan berusah sebisa mungkin untuk melakukannya.

Apa yang bunda lakukan dengan post-it itu? Apa tadi aku bilang? Bagi Ayah dan Bunda cinta adalah kompetisi; untuk melakukan yang terbaik bagi pasangannya. Tentu saja bunda menggunakannya seperti yang ayah inginkan, itupun tak terlalu sering, ketika di rasa perlu saja. Lagipula keinginan bunda yang dituliskan disitu hampir semuanya untuk perbaikan dan kebaikan ayah serta keluarga. Dan ayah selalu berusaha untuk menepati janjinya. Ketika aku tanya ke bunda, kenapa bunda nggak menuliskan apa gitu untuk kepentingan bunda sendiri, bunda cuma tersenyum lalu menjawab:

“Karena kita selalu memiliki lebih banyak kesempatan untuk memberi daripada diberi, Sayang. Jadi kalau kita lebih bahagia ketika memberi, artinya kita bisa lebih banyak merasakan kebahagiaan. Sebaliknya, semakin besar harapan kita untuk diberi, semakin sedikit kebahagiaan yang akan kita rasa. Bunda hanya ingin mendapatkan kebahagiaan yang lebih banyak, dengan lebih banyak memberi daripada menuntut. Kalau belum bisa memberi ke banyak orang minimal ke orang-orang yang kita sayangi. Bunda pun menuliskan itu hanya karena ingin menghargai hadiah dan pemberian Ayah. Lagipula, selama ini ayah sudah berusaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan bunda, walaupun bunda jarang memintanya. Dan itu sudah cukup bagi bunda. Memang seharusnya begitulah kita melihat kebahagiaan, Sayang. Menilainya dari apa yang sudah kita punya, bukan dari apa yang belum kita punya.”

***

Perbedaan status sosial keluarga juga membuat ayah dan bunda berusaha sekuat tenaga untuk di terima di keluarga masing-masing. Mereka membuat semacam perlombaaan; siapa yang lebih di sayang oleh mertua. Jadi dalam waktu yang sudah ditentukan, dengan targetan-targetan yang mereka buat, mereka berkompetisi untuk mendaptkan perhatian dan kasih sayang paling banyak dari mertuanya masing-masing. Bunda yang dari awal memang kurang diterima mertuanya karena perbedaan status tadi, berusaha sangat keras untuk bisa diterima. Usaha bunda tak sia-sia. Akhirnya, Bunda bisa diterima dengan baik oleh orantuanya ayah, dan memenangkan perlombaan itu sekaligus mendapatkan hadiah dari Ayah atas kemenangannya. Tapi menurutku, Ayahlah juaranya. Cause you suggest what? Ayah yang sengaja mengusulkan perlombaan itu kepada bunda agar bunda lebih dekat dan diterima oleh keluarga Ayah. Dan tanpa sepengetahun bunda, ayah mati-matian mengkondisikan keluarganya agar bisa menerima bunda.

***

Itulah sekelumit cinta yang aku pahami dari ayah dan bunda; kompetisi untuk melakukan dan memberikan yang terbaik bagi pasangannya. Tentu saja masih banyak kompetisi yang lainnya. Kompetisi yang mungkin akan selalu terjadi sepanjang hayat mereka. Tak penting siapa yang menang dalam kompetisi itu. Karena yang satu akan berbahagia dengan kemenangan yang lainnya.

Jadi sekarang kalian bisa menebak, lanjutan adegan tadi sore; waktu temanku bilang di hadapan banyak orang kalau dia mencintai aku dan memintaku untuk menjadi kekasihnya lewat puisi cintanya?  Tentu saja jawabannya aku tidak bersedia. Karena buatku, cinta bukanlah rangkaian kata-kata manis. Cinta juga bukan janji, tapi pembuktian. Seperti yang dilakukan ayah dan bunda lewat kompetisinya. Tentu saja aku masih ingat apa yang diajarkan bunda, untuk tetap menghargai dan menjaga perasaan orang lain, walaupun kita tidak suka, walaupun orang itu salah. Jadi aku bilang tidak bersedianya bukan tadi sore, bukan di hadapan banyak orang seperti yang dia lakukan. Tapi sekarang, ini mau aku telepon orangnya.

_______________________________


*original idea by Ika Natassa

#diorama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar