Selasa, Maret 06, 2012

PERCAYA

Sebuah kisah di jaman Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Salam, mudah-mudahan bisa diambil hikmahnya dari kisah berikut ini..


Ketika itu ‘Umar ibn Al-Khaththab sedang asyik mengisi halaqah dengan para sahabat lainnya. Lalu tiba-tiba dua orang pemuda berwajah mirip datang dengan mengapit pria belia lain yang mereka cekal lengannya. “Wahai Amirul Mukminin,” ujar salah satu seru-seru. “Tegakkanlah hokum Alloh atas pembunuhan ayah kami ini!”

‘Umar bangkit, “Takutlah kalian kepada Alloh!” hardiknya, “Perkara apakah ini!”

Kedua pe,uda itu menegaskan bahwa pria belia yang mereka bawa ini adalah pembunuh ayah mereka. Mereka siapa mendatangkan saksi dan bahkan menyatakan bahwa si pelaku ini telah mengaku, ‘Umar bertanya kepada sang tertuduh. “Benarkah yang mereka dakwakan kepadamu ini?”

“Benar, wahai Amirul Mukminin!”
“Engkau tidak menyangkal dan di wajahmu kuliahat ada sesal! Ujar ‘Umar menyelidik dengan teliti. “Ceritakanlah kejadainnya!”

“Aku datang dari negeri yang jauh,” kata belia itu. “Begitu sampai di kota ini kutambatkan kudaku di sebuah pohon dekat kebun milik keluarga mereka. Kutinggalkan ia sejenak untuk mengurus suatu hajat tanpa tahu ternyata kudaku mulai memakan sebagian tanaman yang ada di kebun mereka.”

“Saat aku kembali,” lanjutnya sembari menghela nafas, “Kulihat seorang lelaki tua yang kemudian aku tahu adalah ayah dari kedua pemuda ini sedang memukul kepala kudaku dengan batu hinnga hewan malang itu tewas mengenaskan. Melihat kejadian itu, aku dibakar amarah dan kuhunus pedang. Aku khilaf, aku telah membunuh lelaki tua itu. Aku memohon ampun kepada Alloh karenanya.”

‘Umar tercenung.
“Wahai Amirul Mukmini,” kata salah satu dari kedua kakak beradik itu, “Tegakkanlah hokum Alloh. Kami meminta qishash atas orang ini. Jiwa dibayar dengan jiwa.”

‘Umar melihat pada belia tertuduh itu. Usianya masih sangat muda. Pantas saja dia mudah dibakar hawa amarah. Tapi sangat jelas bahwa wajahnya teduh. Akhlaknya santun. Gurat-gurat sesal tampak jelas membayang di air mukanya. ‘Umar iba dan merasa alangkah sia-sianya jika anak muda penuh adab dan berhati lembut ini harus mati begitu pagi. “Bersediakah kalian,” ucap ‘Umar kea rah dua pemuda penuntut qishah, “Menerima pembayaran diyat dariku atas nama pemuda ini dan memaafkannya?”

Kedua pemuda itu saling pandang. “Demi Alloh, hai Amirul Mukminin,” jawab mereka, “Sungguh kami sangat mencintai ayah kami. Dia telah membesarkan kami dengan penuh cinta. Keberadaannya di tengah kami takkan terbayar dan terganti dengan diyat sebesar apapun. Lagipula kami bukanlah orang miskin yang menghajatkan harta. Hati kami baru akan tentera, jika hak ditegakkan!”

‘Umar terhenyak, “Bagaimana menurutmu?” tanyanya pada sang terdakwa.
“Aku ridha hokum Alloh ditegakkan atasku, wahai Amirul Mukminin,” kata si belia dengan yakin. “Namun ada yang menghalangiku untuk sementara ini. Ada amanah dari kaumku atas beberapa benda maupun perkara yang harus aku sampaikan kembali pada mereka. Demikian juga keluargaku. Aku bekerja untuk menafkahi mereka. Hasil jerih payah di perjalanan terakhirku ini harus aku serahkan pada mereka sembari berpamitan memohon ridha dan keampunan ayah ibuku.”

‘Umar terenyuh. Tak ada jalan lain, hudud harus ditegakkan. Tetapi pemuda itu juga memiliki amanah yang harus ditunaikan. “Jadi bagaimana?” Tanya ‘Umar.
“Jika engkau mengizikankanku, wahai Amirul Mukminin, aku minta waktu tiga hari untuk kembali ke daerah asalku guna menunaikan segala amanah itu. Demi Alloh, aku pasti kembali di hari ketiga untuk menetapi hukumanku. Saat itu tegakkanlah had untukku tanpa ragu, wahai putra Al-Khattab.”
“Adakah orang yang bisa menjaminmu?”
“Aku tak memiliki seorang pun yang kukenal di kota ini hingga dia bisa kuminta menjadi oenjaminku. Aku tak memilik seorang pun penjami kecuali Alloh yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
“Tidak! Demi Alloh, tetap harus ada seseorang yang menjaminmu atau aku tak bisa mengizinkanmu pergi.”
“Aku bersumpah dengan nama Alloh yang amat keras ‘adzabnya. Aku takkan menyalahi janjiku.”
“Aku percaya. Tapi tetap harus ada manusia yang menjaminmu!”
“Aku tak punya!”
“Wahai Amirul mukminin!” terdengar sebuah suara yang berat dan berwibawa menyela. “Jadikan aku sebagai penjamin anak muda ini dan biarkanlah dia menunaikan amanahnya!” inilah dia, Salman Al-Farisi yang tampil mengajukan diri.
“Engkau hai Salman, bersedia menjamin anak muda ini?”
“Benar. Aku bersedia!”
“Kalian berdua kakak beradik yang mengajukan gugatan,” panggil Umar, “Apakah kalian bersedia menerima penjaminan dari Salman Al-Farisi atas orang yang telah membunuh ayah kalian ini? Adapun Salman demi Alloh, aku bersaksi tentang dirinya bahwa dia lelaki ksatria yang jujur dan tak sudi berkhinat.”
Kedua pemuda itu saling pandang, “Kami menerima,” kata mereka nyaris serentak.

^_^

Waktu tiga hari yang disediakan untuk sang terhukum nyaris habis. Umar gelisah tak karuan. Dia mondar-mandir sementara Salman khusyu’ di dekatnya. Salman tampak begitu tenang padahal jiwanya di ujung tanduk. Andai lelaki pembunuh itu tak datang memenuhi janji, maka dirinyalah selaku penjamin yang akan menggantikan tempat sang terpidanan untuk menerima qishah.

Waktu terus merambat. Belia itu masih belum muncul.
Kota madinah mulai terasa kelabu. Para sahabat berkumpul mendatangi Umar dan Salman. Demi Alloh, mereka keberatan jika Salman harus dibunuh sebagai badal. Mereka sungguh tak ingin kehilangan sahabat yang pengorbanannya untuk Islam begitu besar itu. Salman seorang sahabat yang tulus dan rendah hati. Dia dihormati. Dia dicintai.

Satu demi satu, dimulai dari Abud Darda’, beberapa shahabat mengajukan diri sebagai pengganti Salman jika hukuman benar-benar dijatuhkan padanya. Tetapi Salman menolak. Umar juga menggeleng. Matahari semakin lingsir ke barat. Kekhawatiran Umar makin memuncak. Para shahabat makin kalut dan sedih.

Hanya beberapa saat menjelang habisnya batas waktu, tampak seseorang datang dengan berlari tertatih dan terseok. Dia pemuda itu, sang terpidana. “Maafkan aku,” ujarnya dengan senyum tulus sembari menyeka keringat yang membasahi sekujur wajah, “Urusan dengan kaumku itu ternyata berbelit dan rumit sementara untaku tak sempat beristirahat. Ia kelelahan nyaris sekarat dan terpaksa kutinggalkan di tengah jalan. Aku harus berlari-lari untuk sampai kemari sehingga nyaris terlambat.”

Semua yang melihat wajah dan penampilan pemuda ini merasakan satu sergapan iba. Semua yang mendengar penuturannya merasakan keharuan yang mendesak-desak. Semua tiba-tiba merasa tak rela jika sang pemuda harus berakhir hidupnya di hari itu.

“Pemuda yang jujur,” ujar Umar dengan mata berkaca-kaca, “Mengapa kau datang kembali padahal bagimu ada kesempatan untuk lari dan tak harus mati menanggung qishah?”

Sungguh jangan sampai orang mengatakan,” kata pemuda itu sambil tersenyum ikhlas, “Tak ada lagi orang yang tepat janji. Dan jangan sampai ada yang mengatakan, tak ada lagi kejujuran hati di kalangan kaum Muslimin.

“Dan kau Salman,” kata Umar bergetar, “Untuk apa kau susah-susah menjadikan dirimu penanggung kesalahan dari orang yang tak kau kenal sama sekali? Bagaimana kau bisa mempercayainya?”

Sungguh jangan sampai orang bicara,” ujar Salma dengan wajah teguh, “Bahwa tak ada lagi orang yang mau saling membagi beban dengan saudaranya. Atau jangan sampai ada yang merasa, tak ada lagi rasa saling percaya di antara orang-orang Muslim.

“Allohu Akbar!” kata Umar, “Segala puji bagi Alloh. Kalian telah membesarkan hati ummat ini dengan kemuliaan sikap dan agungnya iman kalian. Tetapi bagaimanapun wahai pemuda, had untukmu harus kami tegakkan!”

Pemuda itu mengangguk pasrah.
“Kami memutuskan..” kata kakak beradik penggugat tiba-tiba menyeruak, “Untuk memafkannya.” Mereka tersedu sedan. “Kami melihatnya sebagai seorang yang berbudi dan tepat janji. Demi Alloh, pasti benar-benar sebuah kekhilafan yang tak disengaja dia sampai membunuh ayah kami. Dia telah menyesal dan beristighfar kepada Alloh atas dosanya. Kami memaafkannya. Janganlah menghukumnya, wahai Amirul Mukminin.”

“Alhamdulillah! Alhamdulillah!” ujar Umar. Pemuda terhukum itu sujuh syukur. Salmna tak ketinggalan menyungkurkan wajahnya ke arah kiblat menganggungkan asma Alloh, yang kemudian bahkan diikuti oleh semua hadirin.

“Mengapa kalian tiba-tiba berubah pikiran?” Tanya Umar pada kedua ahli waris korban.

Agar jangan sampai ada yang mengatakan,” jawab mereka masih terharu, “Bahwa di kalangan kaum Muslimin tak ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati dan kasih sayang.

Mudah-mudahan bisa diambil hikmahnya dari kisah ini ^_^

Dalam Dekapan Ukhuwah, Ustadz Salim A. Fillah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar