Sebuah kisah
di jaman Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Salam, mudah-mudahan bisa diambil
hikmahnya dari kisah berikut ini..
Ketika itu
‘Umar ibn Al-Khaththab sedang asyik mengisi halaqah dengan para sahabat
lainnya. Lalu tiba-tiba dua orang pemuda berwajah mirip datang dengan mengapit
pria belia lain yang mereka cekal lengannya. “Wahai Amirul Mukminin,” ujar
salah satu seru-seru. “Tegakkanlah hokum Alloh atas pembunuhan ayah kami ini!”
‘Umar bangkit,
“Takutlah kalian kepada Alloh!” hardiknya, “Perkara apakah ini!”
Kedua pe,uda
itu menegaskan bahwa pria belia yang mereka bawa ini adalah pembunuh ayah
mereka. Mereka siapa mendatangkan saksi dan bahkan menyatakan bahwa si pelaku
ini telah mengaku, ‘Umar bertanya kepada sang tertuduh. “Benarkah yang mereka
dakwakan kepadamu ini?”
“Benar,
wahai Amirul Mukminin!”
“Engkau
tidak menyangkal dan di wajahmu kuliahat ada sesal! Ujar ‘Umar menyelidik
dengan teliti. “Ceritakanlah kejadainnya!”
“Aku datang
dari negeri yang jauh,” kata belia itu. “Begitu sampai di kota ini kutambatkan
kudaku di sebuah pohon dekat kebun milik keluarga mereka. Kutinggalkan ia
sejenak untuk mengurus suatu hajat tanpa tahu ternyata kudaku mulai memakan
sebagian tanaman yang ada di kebun mereka.”
“Saat aku
kembali,” lanjutnya sembari menghela nafas, “Kulihat seorang lelaki tua yang
kemudian aku tahu adalah ayah dari kedua pemuda ini sedang memukul kepala
kudaku dengan batu hinnga hewan malang itu tewas mengenaskan. Melihat kejadian
itu, aku dibakar amarah dan kuhunus pedang. Aku khilaf, aku telah membunuh
lelaki tua itu. Aku memohon ampun kepada Alloh karenanya.”
‘Umar
tercenung.
“Wahai
Amirul Mukmini,” kata salah satu dari kedua kakak beradik itu, “Tegakkanlah
hokum Alloh. Kami meminta qishash
atas orang ini. Jiwa dibayar dengan jiwa.”
‘Umar
melihat pada belia tertuduh itu. Usianya masih sangat muda. Pantas saja dia
mudah dibakar hawa amarah. Tapi sangat jelas bahwa wajahnya teduh. Akhlaknya
santun. Gurat-gurat sesal tampak jelas membayang di air mukanya. ‘Umar iba dan
merasa alangkah sia-sianya jika anak muda penuh adab dan berhati lembut ini
harus mati begitu pagi. “Bersediakah kalian,” ucap ‘Umar kea rah dua pemuda
penuntut qishah, “Menerima pembayaran
diyat dariku atas nama pemuda ini dan
memaafkannya?”
Kedua pemuda
itu saling pandang. “Demi Alloh, hai Amirul Mukminin,” jawab mereka, “Sungguh
kami sangat mencintai ayah kami. Dia telah membesarkan kami dengan penuh cinta.
Keberadaannya di tengah kami takkan terbayar dan terganti dengan diyat sebesar
apapun. Lagipula kami bukanlah orang miskin yang menghajatkan harta. Hati kami
baru akan tentera, jika hak ditegakkan!”
‘Umar
terhenyak, “Bagaimana menurutmu?” tanyanya pada sang terdakwa.
“Aku ridha
hokum Alloh ditegakkan atasku, wahai Amirul Mukminin,” kata si belia dengan
yakin. “Namun ada yang menghalangiku untuk sementara ini. Ada amanah dari
kaumku atas beberapa benda maupun perkara yang harus aku sampaikan kembali pada
mereka. Demikian juga keluargaku. Aku bekerja untuk menafkahi mereka. Hasil
jerih payah di perjalanan terakhirku ini harus aku serahkan pada mereka sembari
berpamitan memohon ridha dan keampunan ayah ibuku.”
‘Umar
terenyuh. Tak ada jalan lain, hudud harus ditegakkan. Tetapi pemuda itu juga
memiliki amanah yang harus ditunaikan. “Jadi bagaimana?” Tanya ‘Umar.
“Jika engkau
mengizikankanku, wahai Amirul Mukminin, aku minta waktu tiga hari untuk kembali
ke daerah asalku guna menunaikan segala amanah itu. Demi Alloh, aku pasti
kembali di hari ketiga untuk menetapi hukumanku. Saat itu tegakkanlah had
untukku tanpa ragu, wahai putra Al-Khattab.”
“Adakah
orang yang bisa menjaminmu?”
“Aku tak
memiliki seorang pun yang kukenal di kota ini hingga dia bisa kuminta menjadi
oenjaminku. Aku tak memilik seorang pun penjami kecuali Alloh yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.”
“Tidak! Demi
Alloh, tetap harus ada seseorang yang menjaminmu atau aku tak bisa
mengizinkanmu pergi.”
“Aku
bersumpah dengan nama Alloh yang amat keras ‘adzabnya. Aku takkan menyalahi
janjiku.”
“Aku percaya.
Tapi tetap harus ada manusia yang menjaminmu!”
“Aku tak
punya!”
“Wahai
Amirul mukminin!” terdengar sebuah suara yang berat dan berwibawa menyela.
“Jadikan aku sebagai penjamin anak muda ini dan biarkanlah dia menunaikan
amanahnya!” inilah dia, Salman Al-Farisi yang tampil mengajukan diri.
“Engkau hai
Salman, bersedia menjamin anak muda ini?”
“Benar. Aku
bersedia!”
“Kalian
berdua kakak beradik yang mengajukan gugatan,” panggil Umar, “Apakah kalian
bersedia menerima penjaminan dari Salman Al-Farisi atas orang yang telah
membunuh ayah kalian ini? Adapun Salman demi Alloh, aku bersaksi tentang
dirinya bahwa dia lelaki ksatria yang jujur dan tak sudi berkhinat.”
Kedua pemuda
itu saling pandang, “Kami menerima,” kata mereka nyaris serentak.
^_^
Waktu tiga
hari yang disediakan untuk sang terhukum nyaris habis. Umar gelisah tak karuan.
Dia mondar-mandir sementara Salman khusyu’ di dekatnya. Salman tampak begitu
tenang padahal jiwanya di ujung tanduk. Andai lelaki pembunuh itu tak datang
memenuhi janji, maka dirinyalah selaku penjamin yang akan menggantikan tempat
sang terpidanan untuk menerima qishah.
Waktu terus
merambat. Belia itu masih belum muncul.
Kota madinah
mulai terasa kelabu. Para sahabat berkumpul mendatangi Umar dan Salman. Demi
Alloh, mereka keberatan jika Salman harus dibunuh sebagai badal. Mereka sungguh
tak ingin kehilangan sahabat yang pengorbanannya untuk Islam begitu besar itu.
Salman seorang sahabat yang tulus dan rendah hati. Dia dihormati. Dia dicintai.
Satu demi
satu, dimulai dari Abud Darda’, beberapa shahabat mengajukan diri sebagai
pengganti Salman jika hukuman benar-benar dijatuhkan padanya. Tetapi Salman
menolak. Umar juga menggeleng. Matahari semakin lingsir ke barat. Kekhawatiran
Umar makin memuncak. Para shahabat makin kalut dan sedih.
Hanya
beberapa saat menjelang habisnya batas waktu, tampak seseorang datang dengan
berlari tertatih dan terseok. Dia pemuda itu, sang terpidana. “Maafkan aku,”
ujarnya dengan senyum tulus sembari menyeka keringat yang membasahi sekujur
wajah, “Urusan dengan kaumku itu ternyata berbelit dan rumit sementara untaku
tak sempat beristirahat. Ia kelelahan nyaris sekarat dan terpaksa kutinggalkan
di tengah jalan. Aku harus berlari-lari untuk sampai kemari sehingga nyaris
terlambat.”
Semua yang
melihat wajah dan penampilan pemuda ini merasakan satu sergapan iba. Semua yang
mendengar penuturannya merasakan keharuan yang mendesak-desak. Semua tiba-tiba
merasa tak rela jika sang pemuda harus berakhir hidupnya di hari itu.
“Pemuda yang
jujur,” ujar Umar dengan mata berkaca-kaca, “Mengapa kau datang kembali padahal
bagimu ada kesempatan untuk lari dan tak harus mati menanggung qishah?”
“Sungguh
jangan sampai orang mengatakan,” kata pemuda itu sambil tersenyum
ikhlas, “Tak ada lagi orang yang tepat janji. Dan jangan sampai ada yang
mengatakan, tak ada lagi kejujuran hati di kalangan kaum Muslimin.”
“Dan kau
Salman,” kata Umar bergetar, “Untuk apa kau susah-susah menjadikan dirimu
penanggung kesalahan dari orang yang tak kau kenal sama sekali? Bagaimana kau
bisa mempercayainya?”
“Sungguh
jangan sampai orang bicara,” ujar Salma dengan wajah teguh, “Bahwa
tak ada lagi orang yang mau saling membagi beban dengan saudaranya. Atau jangan
sampai ada yang merasa, tak ada lagi rasa saling percaya di antara orang-orang
Muslim.”
“Allohu
Akbar!” kata Umar, “Segala puji bagi Alloh. Kalian telah membesarkan hati ummat
ini dengan kemuliaan sikap dan agungnya iman kalian. Tetapi bagaimanapun wahai
pemuda, had untukmu harus kami tegakkan!”
Pemuda itu
mengangguk pasrah.
“Kami
memutuskan..” kata kakak beradik penggugat tiba-tiba menyeruak, “Untuk
memafkannya.” Mereka tersedu sedan. “Kami melihatnya sebagai seorang yang
berbudi dan tepat janji. Demi Alloh, pasti benar-benar sebuah kekhilafan yang
tak disengaja dia sampai membunuh ayah kami. Dia telah menyesal dan
beristighfar kepada Alloh atas dosanya. Kami memaafkannya. Janganlah
menghukumnya, wahai Amirul Mukminin.”
“Alhamdulillah!
Alhamdulillah!” ujar Umar. Pemuda terhukum itu sujuh syukur. Salmna tak
ketinggalan menyungkurkan wajahnya ke arah kiblat menganggungkan asma Alloh,
yang kemudian bahkan diikuti oleh semua hadirin.
“Mengapa
kalian tiba-tiba berubah pikiran?” Tanya Umar pada kedua ahli waris korban.
“Agar
jangan sampai ada yang mengatakan,” jawab mereka masih terharu, “Bahwa
di kalangan kaum Muslimin tak ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati dan
kasih sayang.”
Mudah-mudahan
bisa diambil hikmahnya dari kisah ini ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar