Jumat, Desember 25, 2015

Ada yang menunggumu

Sebuah cerpen yang menyentuh hati. Bagaimana kita sebagai seorang Muslim, tidak hanya fokus kepada ibadah-ibadah yang sifatnya pribadi saja. Namun juga kesholehan dalam bentuk sosial. Mudah-mudahan manfaat. Mohon maaf jika cerpennya agak panjang. Kalo senang baca cerpen insya Alloh cepet ko dibacanya. Selamat Membaca! ^^v

^_^

Fahri berbaring menatap langit-langit kamar, tersenyum. Sayup sekali terdengar satu orang bertakbir dan menabuh bedug di kejauhan. Dan sebutir air bergulir dari sudut mata fahri ke atas bantal.

Empat bulan yang lalu, ia bahkan tak bisa membayangkan dirinya menangis dan tersenyum melepas ramadhan. Apalagi bagian ‘menangis’nya. Tapi tentu saja fahri tiga bulan yang lalu itu bukan fahri yang sudah lebih mengenal agamanya sendiri.

Semuanya berawal waktu Rohis Osis membuat operet untuk mengisi peringatan tahun baru hijriah. Begitu menerima tawaran Gunawan, fahri langsung dilibatkan dengan selutuh tim pementasan, terutama dengan dengan anak-anak bagian naskah yang dipimpin oleh seorang alumni matan teater sekolah, Bang Hanif. Karena bang hanif jugalah, fahri belajar menikmati keindahan ramadhan.

Ramadhan kali ini tidak diisinya dengan tidur sampai sore dilanjutkan dengan ‘ngabuburit’ bersama teman-teman main band seperti yang tahun-tahun sebelumnya ia lakukan. Fahri ikut berbagai pesantren kilat dan pertemuan-pertemuan lain yang mendiskusikan Islam. Ia tidak pernah mimpi bisa begitu total merangkul agamanya, tapi nyatanya ia haus akan segala hal baru yang bisa dipelajarinya tentang Islam. Ia tenggelam dalam kehangatan ukhuwah dan hanyut dalam kenikmatan Ibadah. Shalatnya makin tepat waktu dan bahkan diperkaya dengan shalat-shalat sunnah. Waktunya dihabiskan dengan membaca dan berdiskusi tentang Islam dengan Bang Hanif. Playstationnya tidak pernah disentuh lagi dan kalaupun fahri masih menyempatkan diri bermesraan dengan keyboarnya, ia tak pernah lagi memainkan lagu-lagu romantis yang sudah dianggapnya ‘dangkal’.

Malam satu syawal, perayaan kembalinya fitrah memenuhi dada fahri. Tubuhnya penat. Sepuluh hari terakhir dilewatkanya di masjid, supaya tidak semenit pun sisa Ramadhan luput dari jangkauannya. Tapi sepuluh hari itu berlalu terlalu cepat. Dan fahri menemukan bahwa kegembiraannya menyambut Idul fitri tidak sebanding dengan kesedihannya berpisah dengan Ramadhan sejatinya yang pertama. Dipejamkannya mata dan dalam salah salah sebait tahmidnya ia terlelap.

^_^

Fahri terbangun mendengar bunyi benda terjatuh. Dia tersentak duduk. Sunyi sekali, para penabuh bedug dan orang-orang yang bertakbir tak terdengar lagi. Pukul berapa ini?

Nafasnya tertahan di tenggorokan. Dari luar kamar didengarnya bunyi geseran dan benturan samar. Fahri bersijingkat mendekati pintu, ditempelnya telinga di daun pintu, dadanya berdebar kencang waktu mendengar suara-suara itu lagi. Jantung fahri berpacu. Keringat dingin mulai menyeruak dari pori-porinya. 

Siapa itu? Pikirnya. Semua pembantu sudah mudik dan kedua orangnya sudah pergi ke Lampung tadi siang. Hanya ada satu kemungkinan.

Fahri keluar diam-diam. Ruang duduk di depan kamarnya remang-remang karena cahaya yang datang dari lantai bawah. Belum sempat fahri terbiasa dengan keadaan itu, pintu kamar orangtuanya bergerak dan fahri membeku panic. “Rupanya dugaanku benar,” pikirnya.  Ada maling yang mengira rumah ini kosong dan ingin memanfaatkan peluang itu.

Ia masih semoat menyelinap ke belakang sofa dan meringkuk di situ ketakutan. Ada berapa orang? Satu, dua, setengah lusin? Apa mereka bersenjata?

Sesosok tubuh muncul dari kamar orangtua fahri. Fahri bersyukur karena temaram menyembunyikan dirinya dari pandangan si pencuri. Tapi kegelapan juga membuatanya tak bisa melihat lebih detil sosok pencuri itu. Satu hal yang pasti, apa pun yang sudah dicurinya pasti cukup kecil untuk dibawa dalam sakunya karena pencuri itu tidak membawa tas atau bungkusan. Pencuri itu juga tidak kelihatan memegang apa-apa di tangannya, tapi itu tidak membuat fahri tenang, senjatanya bisa saja tersisip di pinggang. Tidak ada alasan untuk menghunus atau mengokang senjata di rumah yang dianggap kosong, bukan?

Tiba-tiba pencuri itu berhenti dan memandang kea rah sofa. Fahri berhenti bernafas, dalam hati memohon keselamatan. Si pencuri terus berjalan mendekati sofa dan jantung fahri berdebar begitu keras hingga ia nyaris khawatir pencuri itu bisa mendengarnya. Tapi si pencuri berhenti di depan sofa dan fahri jadi tahu alasannya mendekati sofa. Di sofa dan di lantai sekitarnya berserakan keranjang-keranjang parsel dari relasi mama dan papanya. Sebagian sudah terbuka, yang lain masih rapi terbungkus. Si pencuri menyibak plsatik parsel yang sudah dibuka dan mulai memilih-milih isinya. Rasanya lama sekali sampai pencuri itu memutuskan pilihannya dan memasukkannya ke saku celana. Fahri baru bisa bernafas normal lagi saat dilihatnya pencuri itu berjalan hato-hati menuju tangga.

Begitu kepala pencuri itu tidak tampak lagi dari tempatnya bersembunyi fahri segera keluar dari belakang sofa dan lari ke kamar orangtuanya. Di sudut raungan tergolek tas golf mama. Fahri mencabut sebatang stiknya dan lari ke bawah, kakinya tak bersuara di lantai berkarpet. Ia tak sempat berpikir apa jadinya kalau pencuri itu punya pistol. Ia hanya tak ingin pencuri itu bisa lolos semudah itu.

Ruang tengah lantai bawah kosong dan tampaknya pencuri itu tidak mengambil apa-apa dari situ. Ada suara-suara dari dapur dan fahri mengendap-endap ke sana untuk menyelidiki. Diterangi cahaya lampu taman dilihatnya pencuri itu sedang mengutak-atik jendela yang menghadap halaman samping.

Fahri menyerbu masuk. Diayunnya stik golf, terdengar bunyi benda terhantam jatuh dari atas meja dan pecah di lantai, lalu suara benturan keras, suara seseorang mengaduh dan bunyi berdebum waktu pencuri itu jatuh ke lantai. Fahri memukul tombol lampu dengan stik golfna. Dapur mendadak terang benderang sampai fahri harus berkedip-kedip menyesuaikan matanya yang terbiasa dengan remang-remang. Di lantai pencuri itu tergeletak tak sadar.

Fahri menghabiskan waktu lima menit untuk mengikat kaki dan tangan pencuri itu dengan kabel yang diambilnya di ruang tengah. Setelah itu, barulah ia berani membuka saputangan kotor yang menutup wajah pencuri itu. Fahri terbelalak dan sedetik berikutnya wajahnya memerah berang.

“Musang berbulu ayam!” desisnya sambil mulai menggeledah pencuri itu. Tidak ada apa-apa di pinggangnya. Di saku kiri celananya ada uang enam ratus rupiah dan beberapa kertas lusuh sementara di saku kanan ada beberapa keeping receh lagi dan sebatang coklat impor. Pasti yang tadi diambilnya dari keranjang parsel. Fahri berdiri dan melihat sekeliling, tidak ada bungkusan atau tas dekat pencuri itu. Ia naik ke counter dan menjulurkan kepalanya keluar jendela, di bawahnya tidak apa-apa. Di mana barang curian maling ini, pikirnya geram.

Saat fahri turun dari counter pencuri itu mengerang dan menggeliat. Ia berusaha menggerakkan tangan dan kelihatan kaget menemukan dirinya terikat. Ia lebih kaget lagi saat melihat fahri berdiri di dekatnya, masih memegang stik golfnya. Seketika wajah kelam pencuri itu memucata, bibirnya komat-kamit seperti akan bicara tapi tak ada suara keluar. “Bangun,” hardik fahri dingin. “Kita ke kantor satpam.”

“Bang fahri..” si pencuri menemukan suaranya kembali. “Tolong, jangan bawa saya ke polisi. Saya engga ambil apa-apa ko bang. Saya tadi khilaf, gelap mata. Tapi saya sadar, saya insyaf, saya engga jadi mencuri. Tolong, bang, jangan dibawa ke kantor polisi. Anak saya lagi sakit, bang. Saya perlu cari duit buat berobat. Kalau saya engga pulang, anak saya bisa mati. Tolong, bang.”

“Bagaimana saya tahu mamang engga bohong?”
“Sumpah bang, demi Alloh.”
“Jangan bawa-bawa nama Alloh..”
“Tapi saya engga bohong bang. Saya benar-benar kepepet. Sudah cari pinjaman, engga ada yang kasih, orang pada mau lebaran. Saya bingung harus kemana lagi.”
“Tapi kan engga usah sampai mencuri.”
“Ya bang, ampun. Saya gelap mata bang. Sudah dua hari keliling-keliling engga juga dapat duit/ saya jadi gelap mata bang. Tapi saya engga ngambil apa-apa cuma..cuma..”
Fahri jadi tegang, “Cuma apa?”
“Cuma permen satu buat anak saya. Kasihan bang, besok lebaran engga punya apa-apa, boro-boro baju baru, lauk nasi aja engga ada.”

Fahri berpikir keras. Selama ini, ia mengenal pencuri itu sebagai Mang Sanip, tukang kebun lepas di rumahnya yang biasa membabat rumput dan tanaman pagar atau melakukan pekerjaan kasar lainnya. Setahu fahri, mang sanip orangnya jujur dan sopan walaupun sangat pendiam dan jarang bercerita tentang keluarganya. Bahkan seingat fahrri, mang sanip juga yang menemukan bahwa jendela samping dapur tidak bisa rapat tertutup dan bisa dicongkel dengan mudah dari luar. Tapi setelah apa yang dilakukannya malam itu, fahri tidak yakin apa ia bisa mempercayai kata-kata mang sanip lagi.,

“Bangun, ikut saya,” katanya pada mang sanip.
“Jangan dibawa ke kantor polisi bang, tolong,” pinta lelaki itu mengiba. “Kalau saya dikurung, siapa yang ngurus anak saya.. tolong bang, jangan diaduin polisi..”
Fahri tak peduli. Digelandangnya mang sanip ke garasi, setelah menyambar jaket dan dompetnya yang masih tergolek di ruang tengah setelah dilempar fahri begitu saja sepulangnya dari masjid. Di garasi, dibentaknya mang sanip untuk masuk ke mobil disertai gerakan ‘jangan macam-macam’. Lelaki itu tidak mencoba lari waktu fahri meninggalkannya sebentar untuk membuka pagar.

Secara geografis, rumah mang sanip hanya berjarak dua ratus meter dari rumah fahri. Tapi jarak itu diperbesar oleh suatu jurang pemisah berupa tembok setinggi lima meter yang mengelililingi kompleks real estate tempat fahri tinggal dan sebuah jalan tol. Karena itu, untuk mencapai rumah mang sanip, fahri harus menyetir dulu sejauh tiga ratus meter ke portal kompleks, lalu menyusuri jalan kecil berliku-liku sepanjang hampir empat ratus meter sebelum akhirnya sampai di mulut gang becek menuju rumah mang sanip. Fahri sudah pernah kesana suatu sore, mengantar mang sanip sebentar sebelum pergi nonton dengan anak-anak bandnya.

Mang sanip tidak banyak biacara dalam perjalanan. Ia sempat dagdigdug waktu mobil mendekati pos satpam di portal kompleks, tapi fahri hanya melambai pada satpam-satpam itu dan tidak mengatakan apa-apa. Jantunya belum berdenyut normal setelah itu, karena fahri bisa saja sedang membawanya ke kantor polisi, tapi setelah mengenali daerah dekat rumahnya, mang sanip tak putus-puuts bertahmid dalam hati.

Jalan tanah sempit ke rumah mang sanip, licin dan gelap. Fahri sempat kembali was-was, takut mang sanip memanfaatkan keadaan itu untuk lari atau memukul fahri sampai pingsan, atau lebih buruk lagi, mencekiknya dengan kabel yang dipakai mengikat kedua tangan mang sanip. Tidak ada alasan buat mang sanip untuk melakukan hal-hal itu, tentu saja, karena ia toh sedang diantar fahri ke rumahnya sendiri. Tapi masih sulit buat fahri untuk bisa mempercayai mang sanip seperti dulu lagi.

Rumah mang sanip gelap. Hanya ada cahaya lemah mengintip dari sela kain gorden di sebuah jendela yang menghadap ke muka. Fahri menggedor.
“Assalamualaikum.”
Sebuah suara menyahut lemah, “Walaikumsalam. Bapak?”
Mang sanip menatap fahri dan fahri mengangguk. Mang sanip menjawab, “Ya, ti. Bukain pintunya.”
Ada kasak-kusuk samar di dalam sebelum akhirnya pintu terkuak. Seorang bocah lelaki berdiri di belakangnya, sambil menggosok-gosok mata dan menguap. Ia kelihatan heran melihat fahri mengikuti mang sanip masuk, tapi tampaknya tidak cukup heran untuk kehilangan kantuknya. Ia segera kembali ke ranjangnya di sudut ruangan setelah mengunci pintu di belakang fahri.

Ruangan yang dimasuki fahri berukuran kurang lebih tiga kali tiga meter, lembab, pengap, dan penuh sesak dengan perabotan, meja kursi, lemari, dan ranjang tingkat dengan dua anak terlelap di tingkat bawah dan seorang lagi di atas. Tidak ada lampu di ruangan itu, hanya cahaya lemah yang keluar dari kamar di sisi ruangan itu yang membuatnya tidak gelap gulita.

Mang sanip mendahului masuk kemar itu melalui ambang pintu yang hanya dibatasi shelai kain. Dalam kamar itu ada sebuah ranjang besi tua, kursi dan lemari. Di pinggir tempat, tidur seorang wanita duduk menggendong bayi. Ia hanya mendongak memandang wajah mang sanipp sesaat dan seperti tidak menyadari kedatangan fahri. Tangannya terus menimang-nimang bayinya dengan lemah sementara bibirnya berdesis-desi seperti menyuruh bayi itu tenang. Bayi itu sendiri kelihatannya tidur, matanya tertutup, tapi dari mulutnya sesekali terdengar rengekan parau khas bayi yang sedang rewel.

“Gimang si Timah, Ti?”
“Masih panas bang, tapi udah engga muntah-muntah lagi,” jawab wanita itu setengah berbisik. “Dari siang tidur terus, engga mau netek.”
Ia menatap mang sanip dengan matanya yang sembab dan merah, “Dapat duitnya bang?”
Mang sanip melirik fahri sebentar dan menggeleng.
Fahri mendekati mang sanip dan berbisik, “Sakit apa anaknya mang?”
“Engga tahu bang. Empat hari yang lalu, panas tinggi sampai kejang-kejang, terus muntah-muntah. Dikasih obat dari bidan cuma turun sedikit panasnya, terus naik lagi. Mau berobat lagi, duitnya udah habis buat beli beras.”
Fahri membungkuk untuk melihat anak mang sanip lebih jelas. Ia bergidik.
Di dorongnya mang sanip keluar dan di ruang tengah dibukanya kabel yang mengikat tangan lelaki itu.
“Anak mamang harus dibawa ke rumah sakit,” bisik fahri sementara mang sanip mengusap-usap tangannya yang sempat kesemutan karena diikat.

“Iya. Tapi mamang engga ada..”
“Soal duit urusan nanti. Sekarang, kita bawa saja dulu. Jangan sampai terlambat.”
“Tapi..”
“Sudah, bilang saja sama istri mamang, saya tunggu di mobil..”
Mang sanip tak perlu didesak dua kali. Kurang dari lima belas menit kemudian, mereka sudah dalam perjalanan ke rumah sakit.

^_^

Suster UGD itu melirik fahri sedetik, lalu mang sanip, dan terakhir matanya berhenti pada bu sanip yang dalam cahaya terang ruang periksa tampak lebih dekil; dan kusut.
“Sudah berapa lama begini?” tanya dokter jaga sambil menyorotkan senter ke mata Fatimah, anak mang sanip.
Mang sanip gelagapan hingga fahri terpaksa menjawab, “Empat hari dok.”
“Kenapa baru dibawa sekarang? Sudah parah ini.”
Bu sanip menggigit bibir dan memandang suaminya, tapi mata mang sanip terpancang pada sosok kurus anaknya yang terkapar di meja periksa.
“Mesti dirawat ya,” simpul dokter sambil meraih kartu yang disodorkan suster. “Tolong diurus ke administrasi supaya dapat tempat mala mini juga.”

“Keadaannya bagaimana dok?” tanya fahri. “Bisa sembuh kan?”
Dokter mendongak dari kartu yang diisinya untuk menatap Fatimah beberapa detik, lalu ia menjawab datar, “Kita lihat saja. Biasanya yang sudah seperti ini engga lama. Tapi siapa tahu..”
“Maksud dokter?” desak fahri.
Dokter itu menatap langsung ke mata fahri. “Penyakit ini sangat mematikan, bahkan biar cepat ditemukan, kesempatan sembuhnya kecil. Kita berdoa saja.”
Fahri terbeliak. Bu sanip langsung tersedu-sedu di bahu suaminya, sementara rahang mang sanip bertaut makin keras.

“Ini resepnya,” dokter menyobek sehelai kertas dari bukunya. “Cepat ditebus ya. Ini obat suntik, penting.”
Fahri masih terpaku beberapa lama menatap kertas bercoretkan resep itu dengan mata hampa. Ia tidak tahu persis apa penyakit Fatimah, ia tahu keadaan bayi itu buruk, tapi ia lama sekali tidak menduga separah itu. Sebuah suara kecil berulang-ulang mengucapkan kata ‘terlambat’ di hatinya, tapi fahri berusaha menyingkirkan pesimisme itu. Dihampirinya mang sanip.
“Mamang disini aja ya. Biar saya urus dulu obat dan administrasinya.”
“Bang..” cegah mang sanip sambil menahan tangan fahri. “Saya..”
Fahri mengibaskan tangan mang sanip dan keluar dari ruang UGD itu sebelum mang sanip sempat mengatakan apa-apa.

^_^

Pukul dua dinihari. Fahri beranjak dari depan ruang isolasi anak dan mencari mushola. Ia baru sadar alangkah tumpul perasaannya beberapa jam terakhir, terutama setelah ia sempat bertengkar dengan petugas administrasi tentang besarnya uang muka yang harus ia setorkan. Setelah itu, fahri merasa semua yang dilakukannya mekanis, tanpa pertimbangan. Baru setelah dilihatnya Fatimah ditempatkan di ruang isolasi dengan infuse dan elektroda-elektroda dipasang pada tubuhnya oleh suster-suster ruang anak yang ramah dan sigap, fahri merasa lebih tenang dan suara hati yang sebelumnya sempat terlupakan kembali terdengar.

Ia duduk di atas karpet usang mushola rumah sakit dengan wajah murung. “Aku tidak mengenal dia ya Alloh,” pikirnya. “Bahkan, rasanya aku tidak mengenal mang sanip sebenarnya. Apalagi tukang sapu jalan kompleks, tukang-tukang ojek di portal, tukang sayur dan pedagang bakso yang lewat tiap hari, pengantar koran. Mereka tidak kukenal ya Alloh. Aku buta terhadap mereka. Tidak sadar bahwa mereka juga berhak atas diriku seperti orangtuaku, keluargaku, sahabat-sahabatku. Malah mungkin lebih berhak karena sebetulnya kelebihanku sebagiannya adalah milik mereka.

Aku malu ya Robbi. Setelah tahu keindahan kalam-Mu, teladan sahabat-sahabat beliau, setelah aku rasa cahaya-Mu telah merangkulku, ternyata aku masih hidup dalam gelap dan kebodohan. Egois dan kekanak-kanakan. Bagaimana aku mengira bisa bermesraan dengan-Mu kalau antara aku dan orang-orang seperti mang sanip ada tembok yang membatasi. Bagaimana aku yakin aku bukan salah satu di antara mereka yang Kau sebut pendusta agama, yang celaka dalam sholatnya karena tidak menyantuni orang miskin. Bagaimana hamba bisa yakin bahwa dengan shaum, tadarus, qiyamulail I’tikaf hamba di ramadhan ini, hamba bisa meraih ampunan, rahmat, dan surga-Mu? Ridho-Mu?” fahri menggigil ngeri. Setetes air matanya membentuk lingkaran lembab di karpet.

Ampuni hamba, ya Robbi, karena mengira telah bisa menyentuh ‘Arsy-Mu padahal aku hanya asyik dengan diriku sendiri. ampuni hamba, Robbana, karena mengira nikmat pengabdian pada-Mu terletak hanya pada aqimish-shalat ‘mendirikan sholat’ dan lupa bahwa di belakangnya Kau selalu menggandengkan aatuz zakaat ‘menunaikan zakat’. Bahkan ya Robbi, ampuni hamba karena dalam keadaan ini yang hamba pikirkan hanya dosa hamba dan murka-Mu pada diri hamba, bukan bayi mungil yang sedang bergulat melawan penyakit mematikan di ruang isolasi sana..”

“Bang fahri..”
Fahri tersentak menoleh, “Mang..”
“Ini bang, soal timah..”
“Iya kenapa mang?”
“Anu..” mang sanip ragu. “Soal yang tadi dibilangin dokter.. soal umur si timah tinggal sebentar lagi..”
Mang sanip berdehem-dehem sejenak, tapi suaranya masih tercekik waktu ia menyambung, “Saya sama emaknya udah pasrah kalau timah memang mau.. diambil. Kalau emang udah waktunya kita bisa apa?”
Fahri mengangguk, tak tahu harus mengatakan apa.

“Jadi.. bukannya saya sama emak si Timah engga terimakasih bang fahri udah ngurusin supaya si timah bisa dirawat disini.. juga saya engga bermaksud mendahului gusti Alloh apa gimana gitu.. tapi.. daripada merepotkan bang fahri, biar si Timah dibawa pulang lagi saja. Biar.. biar..”
Mang sanip tertunduk.
Fahri menyentuh tangan mang sanip lembut, “Mang sanip engga usah mikir yang engga-engga. Saya engga merasa direpotin. Biar si timah disini aja, dipegang sama ahlinya.”
“Tapi soal..” mang sanip memilin-milin jemarinya. “Bang fahri kan tahu keadaan saya gimana..”

“Soal ongkos,” potong fahri, mengemukakan hal yang tampaknya tak bisa mang sanip sebutkan sendiri,”Itu kita pikir nanti. Kalau mama papa saya sudah pulang dari lampung, kita bicarakan dengan mereka, bagaimana caranya. Insya Alloh mereka mau membantu. Sekarang mang sanip jangan pikir apa-apa lagi. Berdoa saja buat kesembuhan timah.”
Mang sanip tak bereaksi selama beberapa detik, hingga fahri nyaris terlonjak waktu laki-laki itu tiba-tiba menangis sesengukan sambil mengucapkan terima kasih berulang-ulang.
Berdua mereka kembali ke ruang isolasi, menemukan bu sanip tertidur di atas bangku panjang. Fahri melihat arlojinya. Pukul tiga.

“Mang saya mesti pulang dulu sebentar,” katanya sambil menepuk-nepuk saku mencari sepotong kertas untuk menulis. “Saya harus ambil kartu ATM buat ngambil tambahan uang.”
“Kalau bang fahri engga keberatan, saya numpang titip istri saya, biar istri saya pulang duluan. Kasihan anak saya yang lain engga ada yang ngurus.” Mang sanip meremas-remas ujung kausnya, lalu menambahkan dengan murung. “Mana besok lebaran.”

Fahri menggeleng, “Engga usah, bu sanip biar disini aja. Kelihatannya badannya udah kurang sehat tuh. Kalau sibuk ngurus anak, nanti malah sakit beneran.”
Mang sanip melirik istrinya sebentar dan mendesah, “Memang sejak si Timah sakit istiri saya engga tidur-tidur. Kalau begitu, biar saya aja yang pulang.”
“UDah mang sanip disini aja,” fahri menemukan kertas yang dicarinya. Ia mulai menuliskan beberapa nomor disitu. “Anak mamang, biar saya yang urus. Jangan khawatir.”
“Tapi bang..” mang sanip ternganga. Fahri mengibaskan tangannya.
“Ini nomor telepon rumah dan nomor hp saya. Kalau ada apa-apa, telepon saja.” Diberikannya sehelai kertas pada mang sanip. “Saya pergi dulu mang, assalamualaikum.”
“Wa’alaikum salam,” bising mang sanip terbata.
Dari masjid dekat rumah sakit sudah terdengar alunan suara orang bertakbir. Angin dinihari dingin sekali dan bintang-bintang di langit tampak letih dan pucat.

^_^

Sesampai di rumah, fahri dihadapkan pada satu masalah yang sebetulnya sepele. Tidak ada makanan di rumahnya. Fahri sudah makan cukup kenyang saat buka puasa terakhir di masjid dan untuk sarapa sebelum sholat ied ia cuma merencanakan untuk masak mie instan. Tapi, ia tidak tega membayangkan anak-anak mang sanip hanya makan mie instan untuk makanan hari raya.

Di lemari es ada satu pak nugget ayam dan sekaleng kornet. Fahri menggaruk-garus kepalanya selama beberapa lama sebelum akhirnya nekat. Ia mencuci beras sambil tak habis bersyukur karena Alloh telahj menciptakan penemu rice cooker. Sambil menunggu nasinya masak, digorengnya nugget ayam dengan margarine sementara kornet dikocoknya dengan telur dan dibuat dadar. Hasilnya lumayan, hanya dadarnya hancur karena fahri terlalu hati-hati membaliknya.

Fahri mandi, sholat subuh, dan membaca Al-Quran. Sempat berpikir untuk menelepon orangtuanya, mengabarkan bahwa barangkali ia tidak akan sampai di lampung nanti siang. Tapi, jam dinding sudah menunjukkan pukul lima pagi. Fahri memutuskan untuk segera berangkat ke rumah mang sanip. Dimasukkannya nasi, dadar, dan ayam ke dalam rantang. Dikumpulkannya permen, kue, dan minuman dari beberapa parsel di lantai atas dan dimuatnya ke dalam bagasi. Lampu-lampu dipadamkannya dan pintu-pintu dikunci. Ia tak mendengar telepon bordering menutup pintu gerbang.

^_^

“Enak?”
“Enak bang.”
“Bener?”
“He-eh,” anak mang sanip mengangguk untuk menekankan kesungguhannya.
“Tambah dong,” desak fahri.
Yang tertua di antara ketiganya nyengir sambil menyendok lagi dadar dari rantang.
Mereka bertiga sudah bangun dan anak sulung itu sedang memandikan adik perempuannya waktu fahri tiba di rumah mereka. Di meja ada beras zakat fitrah, tapi tidak ada yang bisa memasaknya, padahal mereka jelas-jelas kelaparan. Fahri bersyukur ia membawa nasi dari rumah karena ternyata di rumah keluarga mang sanip tidak ada minyak tanah untuk memasak.

Anak-anak itu lucu. Kemiskinan dan kesedihan sepertinya sulit melunturkan kepolosan mereka. Yang paling kecil misalnya nekat mencoba makan nasi dengan permen coklat dan kelihatan menikmati hasil eksperimennya itu.
“Ini namanya siapa?” tanya fahri sambil mengelus rambut si gadis.
Abangnya menjawab, “Icah bang.”
“Berapa umurnya?”
“Tiga tahun bang,” masih abangnya biacara. “Yang ini hasan, umur lima tahun.”
“Kamu sendiri?”
“Saya umar bang.”
Sesuatu berdesir di dada fahri. Sayyidina Umar Bin Khatab RA, pikirnya. Yang di malam hari menyusuri kotanya dan menemukan seorang ibu menanak batu untuk menghibur anaknya yang lapar. Sang kholifah penguasa dunia islam yang memikul sendiri karung berisi makanan di punggungnya karena tahu tidak aka nada yang membantu membantu membawa beban tanggung jawab di yaumul hisab nanti.

Selesai sarapan, diajaknya anak-anak itu sholat ied bersama dan dari masjid, mereka langsung ke rumah sakit. Di masjid anak-anak itu masih menunjukkan keceriaan dan kelincahan khas anak-anak, tapi dalam perjalanan ke rumah sakit, mereka diam dan mata mereka hampa. Fahri tak bisa mengatakan apa pun yang bisa menghibur mereka.

^_^

“Fatimah?”
“Iya, masuknya tadi malam, jam satu.”
Suster yang muda menyikut suster yang lebih tua. “Yang meninggal tadi subuh, kali.”
Tenggorokan fahri mendadak kering.
Suster yang tua tersenyum minta maaf, “Oh ya, tadi subuh memang ada pasien yang meninggal, tapi yang mengurus suster dinas malam. Saya baru datang. Jadi belum lihat namanya.”
Suster yang muda lenyap sebentar ke kantor dan kembali dengan sebuah buku.
“Iya, sudah meninggal tadi pagi, jam lima lewat sepuluh. Adik siapanya?”
“Saya..” fahri menunduk dan menemukan tiga pasang mata lugu disisinya, “Saya kakaknya.”
“Oh begitu,” suster yang tua mengangguk, “Saya ikut berdukacita.”
“Terima kasih,” bisik fahri setengah tak sadar. “Sekarang orangtuanya dimana ya bu?”
“Coba dicari ke kamar jenazah, barangkali belum dibawa pulang, masih menyelesaikan administrasi.”
“Terima kasih..” fahri menarik tangan icah dan umar sigap mengikuti sambil menuntun hasan. Udara pukul delapan pagi terasa membekukan dan perih di dada saat dihirup. Ataukah itu tangis yang tak bisa diraungkan.

^_^

“Sabar ya mang..” fahri mengulurkan tangan menepuk lengan mang sanip yang duduk dikelilingi beberapa tetangga dan imam masjid setempat. Kata-kata itu rasanya dangkal dan kosong, tidak berarti apa-apa untuk mengurangi kesedihan mang sanip dan istrinya yang seakan tak terhiburkan. Tapi fahri tak tahu mesti mengatakan apa lagi. Ini adalah kematian pertama yang dihadapinya sendiri.

Mang sanip hanya mengangguk pelan dengan mata nanar. Tapi saat fahri bangkit dari hadapannya, tangannya bergerak menahan fahri.
“Terimakasih bang..” katanya serak. “Terimakasih saya engga diaduin ke polisi, anak saya dibawa ke rumah sakit, diurus pemakamannya, kakak-kakaknya dijagain. Terimakasih bang, terimakasih.”

Ia nyaris membungkuk untuk mencium tangan fahri kalau saja fahri tidak memeluknya. Air mata yang bisa ditahan fahri saat membawa jenazah Fatimah pualgn, saat menyaksikan tubuh mungil itu dimandikan dan dikafani lalu digendong ayahnya ke pemakaman, saat melihat tanah sedikit demi sedikit menutupi lubang makamnya, semua mulai mengalir waktu mang sanip mengucap terima kasih padanya. Terimasih untuk apa? Gugat fahri dalam hati.

^_^

Air matanya masih terus mengucur waktu fahri mengemudikan mobilnya pulang. Perjalanan singkat itu jadi terlalu berbahayadan fahri memustukan untuk berhenti di tepi sebuah lapangan dan menenangkan diri.

Langit senja 1 sywal itu tetap seindah sore-sore yang lain, warna biru, mereah dan ungu berselang-seling mengundang kekaguman. Tapi fahri tidak menikmati langit itu, matanya memandang kosong ke lapangan yang sore itu penuh anak-anak yang telah melepas baju baru mereka dan kembali asyik main bola dan layangan. Banyak dari mereka fahri lihat hadir saat pemakaman Fatimah. Anak-anak seperti umar, anak-anak miskin.

Selama ini, Kau selalu menunggu mereka bukan, Robbi? Menungguku selama ini. Menunggu sampai aku mendapati cahaya-Mu dan menunggu sampai cahaya itu mengantarku kepada mereka. Menunggu benih yang disemai, disiram dipupuk Ramadhan untuk berbunga, berbuah. Kau telah menungguku selama itu, Robbi. Apakah aku telah terlalu lama membuatmu menunggu hingga harus Kau ajarkan perihnya kehilangan padaku? Sekarang, aku tahu mengapa Kau menyebut kehilangan seorang manusia sebagai hilangnya kemanusiaan dan selamatnya seorang manusia berarti harapan bagi kemanusiaan.

Ada yang menungguku, Robbi. Kali ini, aku tak mau terlambat lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar