Rabu, Mei 25, 2016

Inspirasi dari Bu Khadijah

TERUNTUK BU KHADIJAH: INSYA ALLAH SURGA MENANTIMU!

By Mahesa Jundulloh (Hendra P.)
IG/Twitter: @mahesajundulloh

"Tulus" adalah sebuah program reality show yang mendokumentasikan kisah hidup seseorang, keluarga, atau mungkin sekelompok orang yang memberikan hikmah atau pelajaran hidup bagi siapa saja yang menonton. Sosok yang dihadirkan adalah sosok manusia biasa yang jarang diliput media tetapi berhati super mulia, sosok yang berdedikasi tinggi bagi orang lainnya, sosok yang menjadi pahlawan di era yang tak ada kepastian seperti sekarang ini.

Sekitar jam 22.30 program "Tulus" malam ini tayang dengan durasi kurang lebih 30 menit dengan sosok yang yang ditampilkan adalah seorang ibu lanjut usia, mungkin usianya 60 tahunan. Aku tidak ingat dan tak sempat mencatat nama ibu tersebut. Jadi, anggap saja namanya adalah "Bu Khadijah". Aku akan coba menguraikan tentang sosok Bu Khadijah yang luar biasa ini. Sosok yang pada akhirnya mengundang decak kagum dan keharuan bagiku sampai-sampai air mataku mengucur deras.

Bu Khadijah adalah salah satu warga di perbukitan di Batu, Malang, Jawa Timur. Kita tentu sudah tau dan sering mendengar nama daerah ini karena sangat identik dengan salah satu komoditi hasil pertaniannya yaitu buah Apel atau biasa disebut Apel Malang. Dari apel ini juga berhasil diolah menjadi local product menjadi keripik Apel.

Ia tinggal bersama lelaki yang begitu ia cintai, suaminya. Jika Bu Khadijah sudah sangat renta karena usianya yang lanjut, begitupun dengan suaminya. Mereka hanya tinggal berdua di sebuah rumah sangat sederhana, beralaskan tanah dan berdinding bambu dan kayu. Pemandangan yang terlihat sungguh sangat berkebalikan dengan suasana ibu kota atau kota besar lain di Indonesia yang makin hari dipenuhi gedung pencakar langit menjulang tinggi dengan fasilitas kemewahannya. Sungguh, ketimpangan sosial memang tak bisa terelakan.

Bagi saya, Ibu Khadijah adalah sosok wanita yang sangat hebat dan sangat menginspirasi. Ibu Khadijah yang istiqomah berjilbab itu menjadi cerminan sebagai ibu rumah tangga atau istri yang "tulus" dan bertanggung jawab. Dalam kesehariannya, ia sangat sabar merawat Sang Suami yang suami yang sudah 10 tahun terakhir ini hanya bisa terbaring di ranjang. Suaminya menderita stroke dan tak mampu beraktivitas seperti orang normal. Ia tak bisa berdiri, berjalan, atau aktivitis lain yang membutuhkan tenaga fisiknya. Untuk menggerakkan tangan dan kaki saja, suami Bu Khadijah tak lagi mampu.

Aktivitas sehari-hari suami Bu Khadijah dibantu olehnya. Setiap hari Bu Khadijah menyeka badan suaminya, menyuapi makan, dan membantu semua aktivitas keseharian lainnya. Dengan penuh kelembutan dan kesabaran ia melakukan itu tanpa pamrih sebagai wujud kasih sayang dan tanggungjawabnya kepada suaminya. Ia melakukan itu seorang diri karena sejak pernikahannya di usia 19 tahun hingga usia senjanya kini, ia tak dikaruniai seorang anak sekalipun. Dzuriyyat yang diidam-idamkan bagi setiap pasangan tak kunjung Allah karuniakan pada mereka. Tapi, ia selalu bersyukur dan meyakini karena Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Adil, Pengasih dan Penyayang. Walaupun ia tak dikaruniai buah hati, ia masih dikelilingi orang-orang sekitar yang baik hati dan sentiasa memperhatikannya.

Aku jadi teringat kutipan QS. Al-Baqoroh: 286, yaitu:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ.......
Artinya: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. ......"

Ahh sampai di sini saja, suasana hati saya sudah mengelam dan emosi hati tercabik-cabik. Apalagi, ketika dalam tayangan ditampilkan lebih lanjut tentang perjuangan Bu Khadijah dalam menghidupi suami dan dirinya. Fisiknya memang sudah sangat rapuh, tenaganya tak sekuat dulu semasa muda. Untuk berjalan saja harus perlahan, belum lagi tubuhnya yang gemetar. Kakinya sudah tak kuat lagi menopang tubuhnya. Akan tetapi, ia tetap tegar menjemput Rizki Allah untuk menafkahi ia dan suaminya. Nafkah ia cari sekedar untuk makan sehari-hari, bukan untuk membeli pakaian bagus, menabung yang banyak, bahkan untuk membangun rumah yang bagus.

Di sisi depan rumah, Bu Khadijah membuka warung kecil-kecilan. Produk yang dijual sangat seadanya karena jumlahnya sangat sedikit dan tak tak variatif. Ia hanya menjual beberapa bumbu dapur, kerupuk, sayuran, dan beberapa kebutuhan sehari-hari lainnya. Barang dagangan ada yang ia letakan di atas meja dan ada juga yang ia gantungkan di tali yang ia lilitkan dari ujung ke ujung penyangga bilik. Hasil jualannya sangat tak seberapa. Selain itu, tetangganya juga banyak yang tak bisa memperoleh apa yang mereka cari karena memang tak tersedia di warung Bu Khadijah. Namun, ia tetap mensyukuri itu semua. Tak terlihat raut sedih di wajahnya, apalagi sampai menggerutu dan mengeluh.

Untuk menopang kehidupannya, Bu Khadijah juga menjadi buruh tani di dusunnya. Setidaknya 4 hari dalam seminggu, ia membantu tetangga yang membutuhkan bantuannya untuk memanen hasil kebun atau menyiangi rumput. Ia biasanya bekerja memetik buah tomat, memanen sayuran wortel, atau mencabut rumput di lahan perkebunan. Ia tak lagi memikirkan kelelahan yang ia dera. Ia tak lagi merasakan betapa sulitnya perjuangannya menjemput rizki Allah. Yang ia fikiran hanya bagaimana di sisa usianya, ia bisa menunaikan tanggungjawabnya dengan ikhlas sebagai istri bagi seorang suami yang Allah berikan ujian sakit.

Dalam sehari, biasanya ia mendapatkan upah 25.000 rupiah. Artinya, kurang lebih dalam satu bulan ia akan mendapatkan upah 400.000 rupiah. Saya tak akan menyimpulkan apakah nominal sebesar itu cukup untuk menghidupi kebutuhan hidup ia dan suaminya. Mari melakukan refleksi pada diri kita, berapa penghasilan kita atau pasangan kita. Lalu, bandingkan dengan pendapatan Bu Khadijah dan bagaimana perjuangan ia untuk memperolehnya.

Sampai titik ini, air mataku sudah tak terbendung.

Aku merasa malu dengan sosok Bu Khadijah.
Aku malu karena aku masih suka mengeluh atas sedikit saja ujian yang sedang atau kadang menimpaku. Bukankah mengeluh adalah bentuk ketidaksyukuranku?

Aku malu karena aku kadang tak mau bersabar atas sedikit saja cobaan yang menimpaku. Bukankah apa yang dialami Bu Khadijah selalu menjaga kesabarannya dari waktu ke waktu hingga ujung kehidupan bersama suaminya sudah mengajariku untuk selalu bersabar?
Bukankah tak mudah bagi seorang istri merawat suami yang tak berdaya, lalu berjuang menafkahi diri dan suaminya seorang diri?

Aku malu pada Bu Khadijah dan suaminya karena dia tetap ridho atas semua ketetapan Allah SWT. Bukankah sulit bagi mereka untuk bertahan hidup dalam kesulitan tanpa ada anak atau saudara yang menjadi penguat?

Ia bukan orang kaya yang bisa bersedekah sebanyak yang mereka inginkan. Ia juga bukan orang berpendidikan dengan gelar mengular yang membuat mereka dihormati orang lain. Mereka bukan pula pejabat, tokoh masyarakat, atau bahkan aktivis dakwah yang nampak hebat menurut pandangan manusia. Tapi... Ia, seorang hamba Allah yang sudah tertempa ujian dengan tingkatan yang memuncak. Lalu, ia ridho, ikhlas, sabar, dan tak berhenti berjuang menjemput rahmat-Nya. Dan ia adalah seorang muslim yang mampu memberikan keteladanan hakiki dengan sesuatu yang ia punya.

Terima kasih Bu khadijah. Terima kasih sudah mengajarkan kami tentang banyak hal. Tetaplah istiqomah dalam keikhlasan, kesabaran dan perjuangan tulusmu. Kami doakan semoga Ibu dan suami menjadi hamba yang dirindu surga dalam naungan rahmat-Nya. Sampai jumpa di surga, Bu!

Allah SWT berfirman,

وَاصْبِرْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ

"Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan."
(QS. Hud: 115)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar