Sebuah
cerpen yang menyentuh hati. Bagaimana kita sebagai seorang Muslim, tidak hanya
fokus kepada ibadah-ibadah yang sifatnya pribadi saja. Namun juga kesholehan
dalam bentuk sosial. Mudah-mudahan manfaat. Mohon maaf jika cerpennya agak
panjang. Kalo senang baca cerpen insya Alloh cepet ko dibacanya. Selamat Membaca!
^^v
^_^
Fahri
berbaring menatap langit-langit kamar, tersenyum. Sayup sekali terdengar sautu
orang bertakbir dan menabuh bedug di kejauhan. Dan sebutir air bergulir dari
sudut mata fahri ke atas bantal.
Empat bulan
yang lalu, ia bahkan tak bisa membayangkan dirinya menangis dan tersenyum
melepas ramadhan. Apalagi bagian ‘menangis’nya. Tapi tentu saja fahri tiga bulan
yang lalu itu bukan fahri yang sudah lebih mengenal agamanya sendiri.
Semuanya
berawal waktu Rohis Osis membuat operet untuk mengisi peringatan tahun baru
hijriah. Begitu menerima tawaran Gunawan, fahri langsung dilibatkan dengan
selutuh tim pementasan, terutama dengan dengan anak-anak bagian naskah yang
dipimpin oleh seorang alumni matan teater sekolah, Bang Hanif. Karena bang
hanif jugalah, fahri belajar menikmati keindahan ramadhan.
Ramadhan
kali ini tidak diisinya dengan tidur sampai sore dilanjutkan dengan
‘ngabuburit’ bersama teman-teman main band seperti yang tahun-tahun sebelumnya
ia lakukan. Fahri ikut berbagai pesantren kilat dan pertemuan-pertemuan lain
yang mendiskusikan Islam. Ia tidak pernah mimpi bisa begitu total merangkul
agamanya, tapi nyatanya ia haus akan segala hal baru yang bisa dipelajarinya
tentang Islam. Ia tenggelam dalam kehangatan ukhuwah dan hanyut dalam
kenikmatan Ibadah. Shalatnya makin tepat waktu dan bahkan diperkaya dengan
shalat-shalat sunnah. Waktunya dihabiskan dengan membaca dan berdiskusi tentang
Islam dengan Bang Hanif. Playstationnya tidak pernah disentuh lagi dan kalaupun
fahri masih menyempatkan diri bermesraan dengan keyboarnya, ia tak pernah lagi
memainkan lagu-lagu romantis yang sudah dianggapnya ‘dangkal’.
Malam satu
syawal, perayaan kembalinya fitrah memenuhi dada fahri. Tubuhnya penat. Sepuluh
hari terakhir dilewatkanya di masjid, supaya tidak semenit pun sisa Ramadhan
luput dari jangkauannya. Tapi sepuluh hari itu berlalu terlalu cepat. Dan fahri
menemukan bahwa kegembiraannya menyambut Idul fitri tidak sebanding dengan
kesedihannya berpisah dengan Ramadhan sejatinya yang pertama. Dipejamkannya
mata dan dalam salah salah sebait tahmidnya ia terlelap.
^_^
Fahri
terbangun mendengar bunyi benda terjatuh. Dia tersentak duduk. Sunyi sekali,
para penabuh bedug dan orang-orang yang bertakbir tak terdengar lagi. Pukul
berapa ini?
Nafasnya
tertahan di tenggorokan. Dari luar kamar didengarnya bunyi geseran dan benturan
samar. Fahri bersijingkat mendekati pintu, ditempelnya telinga di daun pintu,
dadanya berdebar kencang waktu mendengar suara-suara itu lagi. Jantung fahri
berpacu. Keringat dingin mulai menyeruak dari pori-porinya.
Siapa itu?
Pikirnya. Semua pembantu sudah mudik dan kedua orangnya sudah pergi ke Lampung
tadi siang. Hanya ada satu kemungkinan.
Fahri keluar
diam-diam. Ruang duduk di depan kamarnya remang-remang karena cahaya yang
datang dari lantai bawah. Belum sempat fahri terbiasa dengan keadaan itu, pintu
kamar orangtuanya bergerak dan fahri membeku panic. “Rupanya dugaanku benar,”
pikirnya. Ada maling yang mengira rumah
ini kosong dan ingin memanfaatkan peluang itu.
Ia masih
semoat menyelinap ke belakang sofa dan meringkuk di situ ketakutan. Ada berapa
orang? Satu, dua, setengah lusin? Apa mereka bersenjata?
Sesosok
tubuh muncul dari kamar orangtua fahri. Fahri bersyukur karena temaram
menyembunyikan dirinya dari pandangan si pencuri. Tapi kegelapan juga
membuatanya tak bisa melihat lebih detil sosok pencuri itu. Satu hal yang
pasti, apa pun yang sudah dicurinya pasti cukup kecil untuk dibawa dalam
sakunya karena pencuri itu tidak membawa tas atau bungkusan. Pencuri itu juga
tidak kelihatan memegang apa-apa di tangannya, tapi itu tidak membuat fahri
tenang, senjatanya bisa saja tersisip di pinggang. Tidak ada alasan untuk
menghunus atau mengokang senjata di rumah yang dianggap kosong, bukan?
Tiba-tiba
pencuri itu berhenti dan memandang kea rah sofa. Fahri berhenti bernafas, dalam
hati memohon keselamatan. Si pencuri terus berjalan mendekati sofa dan jantung
fahri berdebar begitu keras hingga ia nyaris khawatir pencuri itu bisa
mendengarnya. Tapi si pencuri berhenti di depan sofa dan fahri jadi tahu
alasannya mendekati sofa. Di sofa dan di lantai sekitarnya berserakan
keranjang-keranjang parsel dari relasi mama dan papanya. Sebagian sudah
terbuka, yang lain masih rapi terbungkus. Si pencuri menyibak plsatik parsel
yang sudah dibuka dan mulai memilih-milih isinya. Rasanya lama sekali sampai
pencuri itu memutuskan pilihannya dan memasukkannya ke saku celana. Fahri baru
bisa bernafas normal lagi saat dilihatnya pencuri itu berjalan hato-hati menuju
tangga.
Begitu
kepala pencuri itu tidak tampak lagi dari tempatnya bersembunyi fahri segera
keluar dari belakang sofa dan lari ke kamar orangtuanya. Di sudut raungan
tergolek tas golf mama. Fahri mencabut sebatang stiknya dan lari ke bawah,
kakinya tak bersuara di lantai berkarpet. Ia tak sempat berpikir apa jadinya
kalau pencuri itu punya pistol. Ia hanya tak ingin pencuri itu bisa lolos
semudah itu.
Ruang tengah
lantai bawah kosong dan tampaknya pencuri itu tidak mengambil apa-apa dari
situ. Ada suara-suara dari dapur dan fahri mengendap-endap ke sana untuk
menyelidiki. Diterangi cahaya lampu taman dilihatnya pencuri itu sedang
mengutak-atik jendela yang menghadap halaman samping.
Fahri
menyerbu masuk. Diayunnya stik golf, terdengar bunyi benda terhantam jatuh dari
atas meja dan pecah di lantai, lalu suara benturan keras, suara seseorang
mengaduh dan bunyi berdebum waktu pencuri itu jatuh ke lantai. Fahri memukul
tombol lampu dengan stik golfna. Dapur mendadak terang benderang sampai fahri
harus berkedip-kedip menyesuaikan matanya yang terbiasa dengan remang-remang.
Di lantai pencuri itu tergeletak tak sadar.
Fahri
menghabiskan waktu lima menit untuk mengikat kaki dan tangan pencuri itu dengan
kabel yang diambilnya di ruang tengah. Setelah itu, barulah ia berani membuka
saputangan kotor yang menutup wajah pencuri itu. Fahri terbelalak dan sedetik
berikutnya wajahnya memerah berang.
“Musang
berbulu ayam!” desisnya sambil mulai menggeledah pencuri itu. Tidak ada apa-apa
di pinggangnya. Di saku kiri celananya ada uang enam ratus rupiah dan beberapa
kertas lusuh sementara di saku kanan ada beberapa keeping receh lagi dan
sebatang coklat impor. Pasti yang tadi diambilnya dari keranjang parsel. Fahri
berdiri dan melihat sekeliling, tidak ada bungkusan atau tas dekat pencuri itu.
Ia naik ke counter dan menjulurkan kepalanya keluar jendela, di bawahnya tidak
apa-apa. Di mana barang curian maling ini, pikirnya geram.
Saat fahri
turun dari counter pencuri itu mengerang dan menggeliat. Ia berusaha
menggerakkan tangan dan kelihatan kaget menemukan dirinya terikat. Ia lebih
kaget lagi saat melihat fahri berdiri di dekatnya, masih memegang stik golfnya.
Seketika wajah kelam pencuri itu memucata, bibirnya komat-kamit seperti akan
bicara tapi tak ada suara keluar. “Bangun,” hardik fahri dingin. “Kita ke
kantor satpam.”
“Bang
fahri..” si pencuri menemukan suaranya kembali. “Tolong, jangan bawa saya ke
polisi. Saya engga ambil apa-apa ko bang. Saya tadi khilaf, gelap mata. Tapi
saya sadar, saya insyaf, saya engga jadi mencuri. Tolong, bang, jangan dibawa
ke kantor polisi. Anak saya lagi sakit, bang. Saya perlu cari duit buat
berobat. Kalau saya engga pulang, anak saya bisa mati. Tolong, bang.”
“Bagaimana
saya tahu mamang engga bohong?”
“Sumpah
bang, demi Alloh.”
“Jangan
bawa-bawa nama Alloh..”
“Tapi saya
engga bohong bang. Saya benar-benar kepepet. Sudah cari pinjaman, engga ada
yang kasih, orang pada mau lebaran. Saya bingung harus kemana lagi.”
“Tapi kan
engga usah sampai mencuri.”
“Ya bang,
ampun. Saya gelap mata bang. Sudah dua hari keliling-keliling engga juga dapat
duit/ saya jadi gelap mata bang. Tapi saya engga ngambil apa-apa cuma..cuma..”
Fahri jadi
tegang, “Cuma apa?”
“Cuma permen
satu buat anak saya. Kasihan bang, besok lebaran engga punya apa-apa, boro-boro
baju baru, lauk nasi aja engga ada.”
Fahri
berpikir keras. Selama ini, ia mengenal pencuri itu sebagai Mang Sanip, tukang
kebun lepas di rumahnya yang biasa membabat rumput dan tanaman pagar atau
melakukan pekerjaan kasar lainnya. Setahu fahri, mang sanip orangnya jujur dan
sopan walaupun sangat pendiam dan jarang bercerita tentang keluarganya. Bahkan
seingat fahrri, mang sanip juga yang menemukan bahwa jendela samping dapur
tidak bisa rapat tertutup dan bisa dicongkel dengan mudah dari luar. Tapi
setelah apa yang dilakukannya malam itu, fahri tidak yakin apa ia bisa
mempercayai kata-kata mang sanip lagi.,
“Bangun,
ikut saya,” katanya pada mang sanip.
“Jangan dibawa
ke kantor polisi bang, tolong,” pinta lelaki itu mengiba. “Kalau saya dikurung,
siapa yang ngurus anak saya.. tolong bang, jangan diaduin polisi..”
Fahri tak
peduli. Digelandangnya mang sanip ke garasi, setelah menyambar jaket dan
dompetnya yang masih tergolek di ruang tengah setelah dilempar fahri begitu
saja sepulangnya dari masjid. Di garasi, dibentaknya mang sanip untuk masuk ke
mobil disertai gerakan ‘jangan macam-macam’. Lelaki itu tidak mencoba lari
waktu fahri meninggalkannya sebentar untuk membuka pagar.
Secara
geografis, rumah mang sanip hanya berjarak dua ratus meter dari rumah fahri.
Tapi jarak itu diperbesar oleh suatu jurang pemisah berupa tembok setinggi lima
meter yang mengelililingi kompleks real estate tempat fahri tinggal dan sebuah jalan
tol. Karena itu, untuk mencapai rumah mang sanip, fahri harus menyetir dulu
sejauh tiga ratus meter ke portal kompleks, lalu menyusuri jalan kecil
berliku-liku sepanjang hampir empat ratus meter sebelum akhirnya sampai di
mulut gang becek menuju rumah mang sanip. Fahri sudah pernah kesana suatu sore,
mengantar mang sanip sebentar sebelum pergi nonton dengan anak-anak bandnya.
Mang sanip
tidak banyak biacara dalam perjalanan. Ia sempat dagdigdug waktu mobil
mendekati pos satpam di portal kompleks, tapi fahri hanya melambai pada
satpam-satpam itu dan tidak mengatakan apa-apa. Jantunya belum berdenyut normal
setelah itu, karena fahri bisa saja sedang membawanya ke kantor polisi, tapi
setelah mengenali daerah dekat rumahnya, mang sanip tak putus-puuts bertahmid
dalam hati.
Jalan tanah
sempit ke rumah mang sanip, licin dan gelap. Fahri sempat kembali was-was,
takut mang sanip memanfaatkan keadaan itu untuk lari atau memukul fahri sampai
pingsan, atau lebih buruk lagi, mencekiknya dengan kabel yang dipakai mengikat
kedua tangan mang sanip. Tidak ada alasan buat mang sanip untuk melakukan
hal-hal itu, tentu saja, karena ia toh sedang diantar fahri ke rumahnya
sendiri. Tapi masih sulit buat fahri untuk bisa mempercayai mang sanip seperti
dulu lagi.
Rumah mang
sanip gelap. Hanya ada cahaya lemah mengintip dari sela kain gorden di sebuah
jendela yang menghadap ke muka. Fahri menggedor.
“Assalamualaikum.”
Sebuah suara
menyahut lemah, “Walaikumsalam. Bapak?”
Mang sanip
menatap fahri dan fahri mengangguk. Mang sanip menjawab, “Ya, ti. Bukain
pintunya.”
Ada
kasak-kusuk samar di dalam sebelum akhirnya pintu terkuak. Seorang bocah lelaki
berdiri di belakangnya, sambil menggosok-gosok mata dan menguap. Ia kelihatan
heran melihat fahri mengikuti mang sanip masuk, tapi tampaknya tidak cukup
heran untuk kehilangan kantuknya. Ia segera kembali ke ranjangnya di sudut
ruangan setelah mengunci pintu di belakang fahri.
Ruangan yang
dimasuki fahri berukuran kurang lebih tiga kali tiga meter, lembab, pengap, dan
penuh sesak dengan perabotan, meja kursi, lemari, dan ranjang tingkat dengan
dua anak terlelap di tingkat bawah dan seorang lagi di atas. Tidak ada lampu di
ruangan itu, hanya cahaya lemah yang keluar dari kamar di sisi ruangan itu yang
membuatnya tidak gelap gulita.
Mang sanip
mendahului masuk kemar itu melalui ambang pintu yang hanya dibatasi shelai
kain. Dalam kamar itu ada sebuah ranjang besi tua, kursi dan lemari. Di pinggir
tempat, tidur seorang wanita duduk menggendong bayi. Ia hanya mendongak
memandang wajah mang sanipp sesaat dan seperti tidak menyadari kedatangan
fahri. Tangannya terus menimang-nimang bayinya dengan lemah sementara bibirnya
berdesis-desi seperti menyuruh bayi itu tenang. Bayi itu sendiri kelihatannya
tidur, matanya tertutup, tapi dari mulutnya sesekali terdengar rengekan parau
khas bayi yang sedang rewel.
“Gimang si
Timah, Ti?”
“Masih panas
bang, tapi udah engga muntah-muntah lagi,” jawab wanita itu setengah berbisik.
“Dari siang tidur terus, engga mau netek.”
Ia menatap
mang sanip dengan matanya yang sembab dan merah, “Dapat duitnya bang?”
Mang sanip
melirik fahri sebentar dan menggeleng.
Fahri
mendekati mang sanip dan berbisik, “Sakit apa anaknya mang?”
“Engga tahu
bang. Empat hari yang lalu, panas tinggi sampai kejang-kejang, terus
muntah-muntah. Dikasih obat dari bidan cuma turun sedikit panasnya, terus naik
lagi. Mau berobat lagi, duitnya udah habis buat beli beras.”
Fahri
membungkuk untuk melihat anak mang sanip lebih jelas. Ia bergidik.
Di dorongnya
mang sanip keluar dan di ruang tengah dibukanya kabel yang mengikat tangan
lelaki itu.
“Anak mamang
harus dibawa ke rumah sakit,” bisik fahri sementara mang sanip mengusap-usap
tangannya yang sempat kesemutan karena diikat.
“Iya. Tapi
mamang engga ada..”
“Soal duit
urusan nanti. Sekarang, kita bawa saja dulu. Jangan sampai terlambat.”
“Tapi..”
“Sudah,
bilang saja sama istri mamang, saya tunggu di mobil..”
Mang sanip
tak perlu didesak dua kali. Kurang dari lima belas menit kemudian, mereka sudah
dalam perjalanan ke rumah sakit.
^_^
Suster UGD
itu melirik fahri sedetik, lalu mang sanip, dan terakhir matanya berhenti pada
bu sanip yang dalam cahaya terang ruang periksa tampak lebih dekil; dan kusut.
“Sudah
berapa lama begini?” tanya dokter jaga sambil menyorotkan senter ke mata
Fatimah, anak mang sanip.
Mang sanip
gelagapan hingga fahri terpaksa menjawab, “Empat hari dok.”
“Kenapa baru
dibawa sekarang? Sudah parah ini.”
Bu sanip
menggigit bibir dan memandang suaminya, tapi mata mang sanip terpancang pada
sosok kurus anaknya yang terkapar di meja periksa.
“Mesti
dirawat ya,” simpul dokter sambil meraih kartu yang disodorkan suster. “Tolong
diurus ke administrasi supaya dapat tempat mala mini juga.”
“Keadaannya
bagaimana dok?” tanya fahri. “Bisa sembuh kan?”
Dokter
mendongak dari kartu yang diisinya untuk menatap Fatimah beberapa detik, lalu
ia menjawab datar, “Kita lihat saja. Biasanya yang sudah seperti ini engga
lama. Tapi siapa tahu..”
“Maksud
dokter?” desak fahri.
Dokter itu
menatap langsung ke mata fahri. “Penyakit ini sangat mematikan, bahkan biar
cepat ditemukan, kesempatan sembuhnya kecil. Kita berdoa saja.”
Fahri
terbeliak. Bu sanip langsung tersedu-sedu di bahu suaminya, sementara rahang
mang sanip bertaut makin keras.
“Ini
resepnya,” dokter menyobek sehelai kertas dari bukunya. “Cepat ditebus ya. Ini
obat suntik, penting.”
Fahri masih
terpaku beberapa lama menatap kertas bercoretkan resep itu dengan mata hampa.
Ia tidak tahu persis apa penyakit Fatimah, ia tahu keadaan bayi itu buruk, tapi
ia lama sekali tidak menduga separah itu. Sebuah suara kecil berulang-ulang
mengucapkan kata ‘terlambat’ di hatinya, tapi fahri berusaha menyingkirkan
pesimisme itu. Dihampirinya mang sanip.
“Mamang
disini aja ya. Biar saya urus dulu obat dan administrasinya.”
“Bang..”
cegah mang sanip sambil menahan tangan fahri. “Saya..”
Fahri
mengibaskan tangan mang sanip dan keluar dari ruang UGD itu sebelum mang sanip
sempat mengatakan apa-apa.
^_^
Pukul dua
dinihari. Fahri beranjak dari depan ruang isolasi anak dan mencari mushola. Ia
baru sadar alangkah tumpul perasaannya beberapa jam terakhir, terutama setelah
ia sempat bertengkar dengan petugas administrasi tentang besarnya uang muka
yang harus ia setorkan. Setelah itu, fahri merasa semua yang dilakukannya
mekanis, tanpa pertimbangan. Baru setelah dilihatnya Fatimah ditempatkan di
ruang isolasi dengan infuse dan elektroda-elektroda dipasang pada tubuhnya oleh
suster-suster ruang anak yang ramah dan sigap, fahri merasa lebih tenang dan
suara hati yang sebelumnya sempat terlupakan kembali terdengar.
Ia duduk di
atas karpet usang mushola rumah sakit dengan wajah murung. “Aku tidak mengenal
dia ya Alloh,” pikirnya. “Bahkan, rasanya aku tidak mengenal mang sanip
sebenarnya. Apalagi tukang sapu jalan kompleks, tukang-tukang ojek di portal,
tukang sayur dan pedagang bakso yang lewat tiap hari, pengantar koran. Mereka
tidak kukenal ya Alloh. Aku buta terhadap mereka. Tidak sadar bahwa mereka juga
berhak atas diriku seperti orangtuaku, keluargaku, sahabat-sahabatku. Malah
mungkin lebih berhak karena sebetulnya kelebihanku sebagiannya adalah milik
mereka.
Aku malu ya
Robbi. Setelah tahu keindahan kalam-Mu, teladan sahabat-sahabat beliau, setelah
aku rasa cahaya-Mu telah merangkulku, ternyata aku masih hidup dalam gelap dan
kebodohan. Egois dan kekanak-kanakan. Bagaimana aku mengira bisa bermesraan
dengan-Mu kalau antara aku dan orang-orang seperti mang sanip ada tembok yang
membatasi. Bagaimana aku yakin aku bukan salah satu di antara mereka yang Kau
sebut pendusta agama, yang celaka dalam sholatnya karena tidak menyantuni orang
miskin. Bagaimana hamba bisa yakin bahwa dengan shaum, tadarus, qiyamulail
I’tikaf hamba di ramadhan ini, hamba bisa meraih ampunan, rahmat, dan surga-Mu?
Ridho-Mu?” fahri menggigil ngeri. Setetes air matanya membentuk lingkaran
lembab di karpet.
Ampuni hamba,
ya Robbi, karena mengira telah bisa menyentuh ‘Arsy-Mu padahal aku hanya asyik
dengan diriku sendiri. ampuni hamba, Robbana, karena mengira nikmat pengabdian
pada-Mu terletak hanya pada aqimish-shalat
‘mendirikan sholat’ dan lupa bahwa di belakangnya Kau selalu menggandengkan aatuz zakaat ‘menunaikan zakat’. Bahkan
ya Robbi, ampuni hamba karena dalam keadaan ini yang hamba pikirkan hanya dosa
hamba dan murka-Mu pada diri hamba, bukan bayi mungil yang sedang bergulat
melawan penyakit mematikan di ruang isolasi sana..”
“Bang
fahri..”
Fahri
tersentak menoleh, “Mang..”
“Ini bang,
soal timah..”
“Iya kenapa
mang?”
“Anu..” mang
sanip ragu. “Soal yang tadi dibilangin dokter.. soal umur si timah tinggal
sebentar lagi..”
Mang sanip
berdehem-dehem sejenak, tapi suaranya masih tercekik waktu ia menyambung, “Saya
sama emaknya udah pasrah kalau timah memang mau.. diambil. Kalau emang udah
waktunya kita bisa apa?”
Fahri
mengangguk, tak tahu harus mengatakan apa.
“Jadi..
bukannya saya sama emak si Timah engga terimakasih bang fahri udah ngurusin
supaya si timah bisa dirawat disini.. juga saya engga bermaksud mendahului
gusti Alloh apa gimana gitu.. tapi.. daripada merepotkan bang fahri, biar si
Timah dibawa pulang lagi saja. Biar.. biar..”
Mang sanip
tertunduk.
Fahri menyentuh
tangan mang sanip lembut, “Mang sanip engga usah mikir yang engga-engga. Saya
engga merasa direpotin. Biar si timah disini aja, dipegang sama ahlinya.”
“Tapi
soal..” mang sanip memilin-milin jemarinya. “Bang fahri kan tahu keadaan saya
gimana..”
“Soal
ongkos,” potong fahri, mengemukakan hal yang tampaknya tak bisa mang sanip
sebutkan sendiri,”Itu kita pikir nanti. Kalau mama papa saya sudah pulang dari lampung,
kita bicarakan dengan mereka, bagaimana caranya. Insya Alloh mereka mau
membantu. Sekarang mang sanip jangan pikir apa-apa lagi. Berdoa saja buat
kesembuhan timah.”
Mang sanip
tak bereaksi selama beberapa detik, hingga fahri nyaris terlonjak waktu
laki-laki itu tiba-tiba menangis sesengukan sambil mengucapkan terima kasih
berulang-ulang.
Berdua
mereka kembali ke ruang isolasi, menemukan bu sanip tertidur di atas bangku
panjang. Fahri melihat arlojinya. Pukul tiga.
“Mang saya
mesti pulang dulu sebentar,” katanya sambil menepuk-nepuk saku mencari sepotong
kertas untuk menulis. “Saya harus ambil kartu ATM buat ngambil tambahan uang.”
“Kalau bang
fahri engga keberatan, saya numpang titip istri saya, biar istri saya pulang
duluan. Kasihan anak saya yang lain engga ada yang ngurus.” Mang sanip
meremas-remas ujung kausnya, lalu menambahkan dengan murung. “Mana besok
lebaran.”
Fahri
menggeleng, “Engga usah, bu sanip biar disini aja. Kelihatannya badannya udah
kurang sehat tuh. Kalau sibuk ngurus anak, nanti malah sakit beneran.”
Mang sanip
melirik istrinya sebentar dan mendesah, “Memang sejak si Timah sakit istiri
saya engga tidur-tidur. Kalau begitu, biar saya aja yang pulang.”
“UDah mang
sanip disini aja,” fahri menemukan kertas yang dicarinya. Ia mulai menuliskan
beberapa nomor disitu. “Anak mamang, biar saya yang urus. Jangan khawatir.”
“Tapi bang..”
mang sanip ternganga. Fahri mengibaskan tangannya.
“Ini nomor
telepon rumah dan nomor hp saya. Kalau ada apa-apa, telepon saja.” Diberikannya
sehelai kertas pada mang sanip. “Saya pergi dulu mang, assalamualaikum.”
“Wa’alaikum
salam,” bising mang sanip terbata.
Dari masjid
dekat rumah sakit sudah terdengar alunan suara orang bertakbir. Angin dinihari
dingin sekali dan bintang-bintang di langit tampak letih dan pucat.
^_^
Sesampai di
rumah, fahri dihadapkan pada satu masalah yang sebetulnya sepele. Tidak ada
makanan di rumahnya. Fahri sudah makan cukup kenyang saat buka puasa terakhir
di masjid dan untuk sarapa sebelum sholat ied ia cuma merencanakan untuk masak
mie instan. Tapi, ia tidak tega membayangkan anak-anak mang sanip hanya makan
mie instan untuk makanan hari raya.
Di lemari es
ada satu pak nugget ayam dan sekaleng kornet. Fahri menggaruk-garus kepalanya
selama beberapa lama sebelum akhirnya nekat. Ia mencuci beras sambil tak habis
bersyukur karena Alloh telahj menciptakan penemu rice cooker. Sambil menunggu
nasinya masak, digorengnya nugget ayam dengan margarine sementara kornet
dikocoknya dengan telur dan dibuat dadar. Hasilnya lumayan, hanya dadarnya
hancur karena fahri terlalu hati-hati membaliknya.
Fahri mandi,
sholat subuh, dan membaca Al-Quran. Sempat berpikir untuk menelepon
orangtuanya, mengabarkan bahwa barangkali ia tidak akan sampai di lampung nanti
siang. Tapi, jam dinding sudah menunjukkan pukul lima pagi. Fahri memutuskan
untuk segera berangkat ke rumah mang sanip. Dimasukkannya nasi, dadar, dan ayam
ke dalam rantang. Dikumpulkannya permen, kue, dan minuman dari beberapa parsel
di lantai atas dan dimuatnya ke dalam bagasi. Lampu-lampu dipadamkannya dan
pintu-pintu dikunci. Ia tak mendengar telepon bordering menutup pintu gerbang.
^_^
“Enak?”
“Enak bang.”
“Bener?”
“He-eh,”
anak mang sanip mengangguk untuk menekankan kesungguhannya.
“Tambah
dong,” desak fahri.
Yang tertua
di antara ketiganya nyengir sambil menyendok lagi dadar dari rantang.
Mereka
bertiga sudah bangun dan anak sulung itu sedang memandikan adik perempuannya
waktu fahri tiba di rumah mereka. Di meja ada beras zakat fitrah, tapi tidak
ada yang bisa memasaknya, padahal mereka jelas-jelas kelaparan. Fahri bersyukur
ia membawa nasi dari rumah karena ternyata di rumah keluarga mang sanip tidak
ada minyak tanah untuk memasak.
Anak-anak
itu lucu. Kemiskinan dan kesedihan sepertinya sulit melunturkan kepolosan
mereka. Yang paling kecil misalnya nekat mencoba makan nasi dengan permen
coklat dan kelihatan menikmati hasil eksperimennya itu.
“Ini namanya
siapa?” tanya fahri sambil mengelus rambut si gadis.
Abangnya
menjawab, “Icah bang.”
“Berapa
umurnya?”
“Tiga tahun
bang,” masih abangnya biacara. “Yang ini hasan, umur lima tahun.”
“Kamu
sendiri?”
“Saya umar
bang.”
Sesuatu
berdesir di dada fahri. Sayyidina Umar Bin Khatab RA, pikirnya. Yang di malam
hari menyusuri kotanya dan menemukan seorang ibu menanak batu untuk menghibur
anaknya yang lapar. Sang kholifah penguasa dunia islam yang memikul sendiri
karung berisi makanan di punggungnya karena tahu tidak aka nada yang membantu
membantu membawa beban tanggung jawab di yaumul hisab nanti.
Selesai
sarapan, diajaknya anak-anak itu sholat ied bersama dan dari masjid, mereka
langsung ke rumah sakit. Di masjid anak-anak itu masih menunjukkan keceriaan
dan kelincahan khas anak-anak, tapi dalam perjalanan ke rumah sakit, mereka
diam dan mata mereka hampa. Fahri tak bisa mengatakan apa pun yang bisa
menghibur mereka.
^_^
“Fatimah?”
“Iya,
masuknya tadi malam, jam satu.”
Suster yang
muda menyikut suster yang lebih tua. “Yang meninggal tadi subuh, kali.”
Tenggorokan
fahri mendadak kering.
Suster yang
tua tersenyum minta maaf, “Oh ya, tadi subuh memang ada pasien yang meninggal,
tapi yang mengurus suster dinas malam. Saya baru datang. Jadi belum lihat
namanya.”
Suster yang
muda lenyap sebentar ke kantor dan kembali dengan sebuah buku.
“Iya, sudah
meninggal tadi pagi, jam lima lewat sepuluh. Adik siapanya?”
“Saya..”
fahri menunduk dan menemukan tiga pasang mata lugu disisinya, “Saya kakaknya.”
“Oh begitu,”
suster yang tua mengangguk, “Saya ikut berdukacita.”
“Terima
kasih,” bisik fahri setengah tak sadar. “Sekarang orangtuanya dimana ya bu?”
“Coba dicari
ke kamar jenazah, barangkali belum dibawa pulang, masih menyelesaikan
administrasi.”
“Terima kasih..”
fahri menarik tangan icah dan umar sigap mengikuti sambil menuntun hasan. Udara
pukul delapan pagi terasa membekukan dan perih di dada saat dihirup. Ataukah
itu tangis yang tak bisa diraungkan.
^_^
“Sabar ya
mang..” fahri mengulurkan tangan menepuk lengan mang sanip yang duduk
dikelilingi beberapa tetangga dan imam masjid setempat. Kata-kata itu rasanya
dangkal dan kosong, tidak berarti apa-apa untuk mengurangi kesedihan mang sanip
dan istrinya yang seakan tak terhiburkan. Tapi fahri tak tahu mesti mengatakan
apa lagi. Ini adalah kematian pertama yang dihadapinya sendiri.
Mang sanip
hanya mengangguk pelan dengan mata nanar. Tapi saat fahri bangkit dari
hadapannya, tangannya bergerak menahan fahri.
“Terimakasih
bang..” katanya serak. “Terimakasih saya engga diaduin ke polisi, anak saya
dibawa ke rumah sakit, diurus pemakamannya, kakak-kakaknya dijagain.
Terimakasih bang, terimakasih.”
Ia nyaris
membungkuk untuk mencium tangan fahri kalau saja fahri tidak memeluknya. Air
mata yang bisa ditahan fahri saat membawa jenazah Fatimah pualgn, saat
menyaksikan tubuh mungil itu dimandikan dan dikafani lalu digendong ayahnya ke
pemakaman, saat melihat tanah sedikit demi sedikit menutupi lubang makamnya,
semua mulai mengalir waktu mang sanip mengucap terima kasih padanya. Terimasih
untuk apa? Gugat fahri dalam hati.
^_^
Air matanya
masih terus mengucur waktu fahri mengemudikan mobilnya pulang. Perjalanan
singkat itu jadi terlalu berbahayadan fahri memustukan untuk berhenti di tepi
sebuah lapangan dan menenangkan diri.
Langit senja
1 sywal itu tetap seindah sore-sore yang lain, warna biru, mereah dan ungu
berselang-seling mengundang kekaguman. Tapi fahri tidak menikmati langit itu,
matanya memandang kosong ke lapangan yang sore itu penuh anak-anak yang telah
melepas baju baru mereka dan kembali asyik main bola dan layangan. Banyak dari
mereka fahri lihat hadir saat pemakaman Fatimah. Anak-anak seperti umar,
anak-anak miskin.
Selama ini,
Kau selalu menunggu mereka bukan, Robbi? Menungguku selama ini. Menunggu sampai
aku mendapati cahaya-Mu dan menunggu sampai cahaya itu mengantarku kepada
mereka. Menunggu benih yang disemai, disiram dipupuk Ramadhan untuk berbunga,
berbuah. Kau telah menungguku selama itu, Robbi. Apakah aku telah terlalu lama
membuatmu menunggu hingga harus Kau ajarkan perihnya kehilangan padaku?
Sekarang, aku tahu mengapa Kau menyebut kehilangan seorang manusia sebagai
hilangnya kemanusiaan dan selamatnya seorang manusia berarti harapan bagi
kemanusiaan.
Ada yang
menungguku, Robbi. Kali ini, aku tak mau terlambat lagi.
Diambil dari
buku kumpulan cerpen “Mencari Jalan ke Hati Bunda” oleh ka Fithri (penulis alumni Farmasi UI)
Subhanalloh, memang tak jarang kita asik bercengkrama dengan Alloh, namun kurang memerhatikan sekeliling, jazakalloh kang wahyu sudah mengingatkan
BalasHapusSubhanallaah... terharuu.. :')
BalasHapussalam kenal, saya sedang jalan2, hehe..