Kalian
ada yang sedang dibingungkan oleh berbagai macam pilihan? Sekarang aku sedang
mengalaminya. Membingungkan sekali. Sedang dibenturkan antara perasaan dan
logika. Di satu sisi perasaan mengarahkan untuk mengambil yang ini. Di sisi
lain logika tak menyepakatinya. Terkadang sebaliknya, sepakat dengan logika
tapi perasaan tak kunjung tenang. Bagaimanalah ini jadinya, semoga bunda punya
jawabannya.
***
“Tidak
ada yang lebih jujur daripada hati nurani, Nak. Sedangkan logika tak selamanya
benar.”
“Berarti
Putri harus mengikuti perasaan Putri ya, bunda?”
“Tidak
selalu, sayang. Perasaan berbeda dengan hati nurani. Tidak semua perasaan
adalah nurani. Bahkan sebagain perasaan adalah jelmaan dari hawa nafsu. Sedangkan
orang yang lebih banyak mengedepankan hawa nafsunya, akan tertutup hati
nuraninya.”
“Terus
jadinya gimana dong, bunda?”
“Sebelum
mengikuti apa kata hati nurani kita, kita harus benar-benar jujur pada diri
sendiri. Apakah itu benar dari hati yang sedalam-dalamnya, atau sekedar
keinginan sesaat. Sekedar hawa nafsu yang memang masih belum benar-benar kita
kendalikan.”
***
Beberapa
tahun kemudian, aku baru bisa menangkap dengan utuh maksud bunda, ketika
mengikuti salah satu seminar di kampus:
Otak
kita, yang beratnya sekitar 1.5 kg terdiri dari 80% neocortex yang
mengelola kecerdasan intelektual dan 20% lymbic system yang mengelola kecerdasan emosional
dan spiritual. Uniknya, lymbic system memberikan peran 80%
terhadap keberhasilan seseorang, sisanya yang 20% ditentukan oleh neocortex-nya.
Kapasaitas neocortex seseorang adalah given,
sesuatu yang benar-benar diberikan Tuhan dan tidak bisa berubah. Makanya,
secara teori, IQ, indikator yang digunakan untuk
mengukur kecerdasan intelektual seseorang cenderung bersifat konstan. Adilnya,
untuk lymbic system, sangat bisa berubah. Masih bisa diusahakan untuk
meningkat, bahkan adakalanya menurun. Sangat fluktuatif. Itulah kenapa
persentasenya jauh lebih besar terhadap keberhasilan seseorang.
Kalau
kecerdasan intelektual bisa membuat seseorang bekerja lebih mudah, maka
kecerdasan emosional membuat seseorang hidup lebih nyaman dan bisa diterima
oleh lingkungan. Sedangkan kecerdasan spiritual membuat seseorang mampu
memaknai arti hidup dan kehidupan, memberikan kebahagiaan dan motivasi yang
lebih kuat. Kecerdasan spiritual jugalah yang menentukan baik atau buruknya
seseorang.
Perasaan,
hati nurani, dan sejenisnya masuk dalam naungan lymbic system. Berada pada tataran kecerdasan emosional dan
spiritual. Sebangsa juga dengan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain,
kemampuan untuk bekerja sama, membuat orang lain merasa nyaman, kemampuan
bersabar, bersyukur, bersosialisai, mengendalikan emosi, kepekaan, bertahan
pada kondisinya yang berat, menyusaikan dengan kondisi dan yang lainnya.
Semuanya ada di area lymbic system.
Itulah
kenapa kita cenderung menyukai orang yang membuat kita nyaman, enak diajak
bicara, punya perhatian yang cukup daripada sekedar pintar atau jago dalam
bidangnya. Karena secara sadar ataupun tidak, orang-orang tersebut sedang
menembak atau menyentuh sisi lymbic system kita. Teorinya, karena lymbic system itu gudangnya emosi, dimana
segala emosi tercipta disana, tentu saja jauh lebih mengena dan bertahan lebih
lama daripada yang ditembak adalah neocortex-nya.
Itu juga yang menyebabkan kebanyakan kita cenderung lebih menyukai mata kuliah
atau pelajaran yang diajar oleh dosen atau guru yang enak dan nyambung,
ketimbang melihat esensi dari materinya.
Itu
juga jawaban kenapa orang yang secara akademik biasa-biasa saja terkadang lebih
berkembang dan lebih sukses daripada yang akademiknya bagus. Itu juga jawaban
kenapa puluhan tahun belakangan ini, semenjak riset tentang otak itu ditemukan,
perusahaan-perusahaan mempertimbangkan faktor kecerdasan emosional dan
spiritual, melalui spiritual
capital assesment, dinamika kelompok, teamwork test dan
sejenisnya selain tes potensi akademik untuk menguji kemampuan intelektual
calon pegawainya.
Kebetulan
di keluargaku, bunda yang memiliki kecerdasan emosional yang paling oke. Ayah
lebih dominan di kecerdasan intelektualnya. Kalau kecerdasan spiritual kayaknya
mereka seimbang deh, bisa saling mendukung dan menutupi satu sama lain. Kalau
anak-anaknya? Jangan ditanya, masih jauh banget soalnya. :)
Kecerdasan
mana yang lebih penting? Sedangkan di sekolah-sekolah dan universitas
proporsinya cenderung lebih besar mengembangkan kecerdasan intelektual. Padahal
kecerdasan intelektual hanya berpengaruh 20% dari kesuksesan seseorang.Tentu
saja kecerdasan intelektual tetap penting, tapi kata rasulullah; “yang paling cerdas diantara kamu adalah yang mengingat mati.”
Kalau
ngomongin tentang mati dan kematian, tentu saja hubungannya dengan kecerdasan
spiritual.
***
“Bagaimana
caranya mempertajam hati nurani, bunda?”
“Putri
harus banyak berdekatan dengan yang menciptakan hati itu sendiri, dengan yang
Maha membolak-balikkan hati, dengan Allah. Sering-sering berdiskusi dengan
Allah, bertanya apa yang harus kita lakukan, bagaimana dengan ini, bagaimana
kalau begini dan begitu. Dengan begitu semoga Allah selalu memberikan petunjuk,
berada di belakang keputusan-keputusan dan tindakan kita, memberi jalan keluar
dari arah yang tak diduga-duga. Percayalah, Nak. Tidak ada balasan dari kasih
sayang Allah selain kebaikan dan kasih sayang yang jauh lebih besar lagi
daripada apa yang telah kita lakukan.”
“Itu
saja, bunda?”
“Tentu
saja tidak, sayang. Itu yang utamanya. Tapi seharusnya dengan begitu kita bisa
lebih mencintai antar sesama. Bukankah hanya mereka yang benar-benar mencintai
Tuhannya yang bisa benar-benar mencintai antar sesama. Dan bukankah Ayah pernah
cerita, siapa yang benar-benar mencintai Allah akan dicintai juga oleh sesama.”
“Makanya,
kita harus membangun hubungan yang baik antar sesama. Saling tolong menolong,
juga melakukan kebaikan yang sebanyak-banyaknya. Dengan begitu, kepekaan kita
akan semakin meningkat. Dengan begitu juga petunjuk dan pertolongan Allah akan
lebih cepat datang.”
“Putri,
bantuin bunda nyiapin makan malam dulu yuk, nanti ceritanya kita sambung lagi.”
“Oke
deh, Bunda.”
dan
ayah punya cerita tersendiri tentang ini. Nanti deh, kita sambung lagi
ceritanya. Selamat makan. Lho? :)
^_^
Kalian
boleh sepakat boleh enggak ya; bagiku, tak ada hal paling menyakitkan di dunia
ini selain dikecewakan. Apalagi,
kalau yang mengecewakan adalah orang yang benar-benar kita harapkan. Apalagi,
kalau yang bersangkutan adalah orang yang benar-benar kita andalkan. Apalagi,
kalau yang bersangkutan adalah orang yang benar-benar kita percayai. Apalagi,
kalau orang itu benar-benar sengaja banget buat mengecewakan kita. Apalagi,
kalau yang bersangkutan harusnya tak pantas melakukan kesalahan seperti itu.
Apalagi, kalau yang membuat kecewa itu enggak sadar kalau sedang mengecewakan
orang lain, enggak sadar kalau dengan perbuatannya banyak banget mendzolimi
orang lain. Huffh....
***
“Bisa
jadi Putri benar, kalau tak ada hal paling menyakitkan di dunia ini selain
dikecewakan. Sayangnya, sedikit yang menyadari bahwa kekecewaan itu perkara
hati. Artinya, apapan jenis kekecewaannya; yang paling bersalah sekaligus
dirugikan adalah pemilik hati yang merasa kecewa.”
“Kenapa
bisa begitu, Bunda?”
“Lihat
aja kondisi Putri sekarang; udah mukanya ditekuk gitu, bawaannya ngeluh melulu,
hatinya juga pasti lagi kesel, pake nyalah-nyalahin orang lain segala,
kerjaannya pada enggak beres, hidupnya jadi enggak tenang. Siapa yang rugi,
coba? Enggak tahu deh orang yang mengecewakan itu sekarang lagi ngapain,
mungkin jauh lebih tenang dan menikmati hidupnya daripada Putri.”
Idih,
si bunda paling bisa deh nyindir aku. Aku cuma cengengesan, mengiyakan dalam
hati perkataan bunda. Wajah bunda sudah bersahabat lagi, sudah berubah dari
muka pura-pura galaknya.
“Berarti
kita enggak boleh kecewa ya, Bunda?”
“Tentu
saja boleh, sayang. Selama kita punya hati, selama itu juga kita punya hak
untuk merasa kecewa. Catatannya, kekecewaan itu jangan sampai merusak diri
sendiri. Merusak hati dengan berbagai prasangka dan kebencian, juga merusak hubungan
antara orang yang mengecewakan dan dikecewakan. Cukuplah kekecewaan itu menjadi
pembelajaran untuk kita. Pembelajaran untuk berusaha sekuat mungkin agar tidak
mengecewakan yang lain, karena kita tahu bagaimana tidak enaknya dikecewakan.
Pembelajaran tentang ketidaksempurnaan manusia, juga pembelajaran tentang
sebuah penerimaan. Penerimaan terhadap segala kekurangan yang melekat pada
manusia.”
“Biarlah
kekecewaan itu menambah kesabaran kita, menguji seberapa kita menghormati dan
menghargai kemanusiaan, serendah apapun manusia itu. Juga mengajarkan betapa
tidak sederhananya sebuah kesalahan, apalagi proses maaf dan memaafkan. Biarkan
kekecewaan itu memahamkan sebenar-benarnya arti ketulusan, untuk juga membantu
memperbaiki kesalahan orang yang mengecewakan kita, agar yang bersangkutan
tidak mengulanginya lagi, menjadi lebih baik, juga tidak mengecewakan yang
lainnya.”
“Tapi
itu susah banget tahu enggak sih, Bun?”
“Iya,
bunda tahu. Sesuatu yang berhubungan dengan hati selalu saja rumit. Setidaknya
kita harus membiasakan diri untuk berdamai dengan hati kita, berdamai dengan
diri kita sendiri. Dengan begitu, kita bisa siap untuk berdamai dengan siapa
saja. Dengan begitu, kita bisa lebih ringan untuk memaafkan orang lain. Dengan
begitu kita bisa lebih bijaksana untuk menilai orang lain. Terkadang, kita suka
sekali menilai dan meributkan kesalahan orang lain, tapi lupa untuk menilai dan
meributkan kesalahan sendiri. Kita hanya mengingat keburukan orang lain, tapi
melupakan kebaikan yang pernah mereka lakukan. Padahal seharusnya, yang harus
kita ingat adalah keburukan kita dan kebaikan orang lain, bukan malah
sebaliknya.”
***
Sudah
pernah aku ceritakan sebelumnya bukan, kalau di keluargaku Bunda yang memiliki
kecerdasan emosional yang paling tinggi. Orang yang kurang cerdas secara
emosional, biasanya melupakan hal-hal yang rasional ketika emosinya tidak
stabil. Misalkan, kalau kita lagi kesel atau kecewa ada yang bawaannya pengen
marah melulu; ada yang lari dari kondisi; bahkan ada yang lari dari tugas dan
tanggungjawab. Lupa kita masih punya banyak tugas harus diselesaikan, lupa
kalau kita enggak nyelesain tugasnya bakalan banyak yang terdzolimi, lupa kalau
sikap kita juga bisa merepotkan orang lain.
Kalau
kalian sering mendengar ungkapan; dibalik laki-laki yang hebat selalu ada
wanita yang hebat, menurutku yang dimaksud dengan wanita hebat itu adalah
wanita dengan tingkat kecrerdasan emosional yang luar biasa. Soalnya, di sisi
yang lain juga, banyak laki-laki yang hancur disebabkan oleh wanita yang tidak
cerdas secara emosional; tidak tahu peran dan kedudukannya sebagai isteri;
malah menuntut ini-itu yang tidak pada tempatnya. Mau lebih jelas lagi, yuk
kita belajar dari beberapa bunda teladan sepanjang masa;
***
Aisyah
bisa jadi memiliki kapasitas intelektual yang jauh lebih baik daripada
Khadijah. Ah, bahkan katanya jika saja seluruh kecerdasan wanita dikumpulkan,
kecerdasan Aisyah masih lebih tinggi. Tentu saja itu hanya perumpamaan untuk menggambarkan
kecerdasan beliau. Toh sejarah mencatat dirinya sebagai orang ketiga terbanyak
yang meriwayatkan hadis. Di usianya yang belia sudah hafal Al-Quran, dan forum
keilmuannya merupakan yang tervaforit dikunjungi pasca kematian rasulullah.
Tetapi,
bisa jadi kecerdasan emsosional Khadijah lah yang membuat posisinya tidak
pernah tergantikan oleh Aisyah di hati rasulullah. Bahkan menjadikan Khadijah
sebagai perempuan yang paling dicemburui Aisyah; padahal waktu itu Khadijah
sudah meninggal.
Adalah
Khadijah, perempuan paling setia pendukung rasulullah. Perempuan pertama yang
mengimani ajaran rasulullah. Mendukung perjuangan rasul dengan segala harta dan
jiwanya. Yang menenangkan rasul ketika mendapatkan wahyu, juga yang menenangkan
dan menghibur rasulullah ketika mendapat cacian dan hinaan. Cerita Khadijah
dan rasulullah lebih banyak dipenuhi oleh episode-episode heroik, tentang
perjuangan, pengorbanan, tentu saja setulus-tulusnya cinta.
Bukan
berarti rasulullah tidak mengalami episode itu bersama Aisyah, hanya intensitas
dan kondisinya saja yang berbeda. Bahkan beberapa episode sejarah, menunjukkan
keunikan tersendiri dari pasangan Aisyah dan Rasulullah. Tapi sederhananya,
potongan episode itu juga menunjukkan keunggulan kapasitas kecerdasan emosional
Khadijah.
***
“Terus,
Putri harus gimana dong sekarang?”
“Berdamai
dengan diri sendiri, lalu berdamai dengan orang-orang yang mengecewakan Putri.”
“Berarti,
Putri juga harus berdamai dengan bunda dong?”
“Hah?”
Aku
tertawa melihat muka kaget bunda. Tentu saja aku bercanda. Dan langsung kabur
sebelum bunda membalas dengan cubitan atau lemparan bantalnya.
#diorama